Senin, 01 Februari 2010

Menunggu Akhir Kasus Century

Oleh Randi Kurniawan

Seputar Indonesia, 25 Januari 2010
Penyelidikan mengenai dugaan pelanggaran aturan dalam bailout Century masih berlangsung hingga saat ini. Panitia Khusus (Pansus) DPR diberikan waktu dua bulan untuk menyelesaikan persoalan ini. Berbagai pihak terkait sudah dipanggil, seperti Boediono, Sri Mulyani, Robert Tantular, pejabat LPS, pejabat BI, dan pengamat ekonomi. Mereka dimintai keterangan mengenai kasus bailout Century, dimana informasi tersebut dapat menjadi bahan DPR dalam mengambil keputusan. Kini, publik menunggu hasil Pansus.

Tentu saja, rakyat berharap agar kebenaran terungkap dalam kasus bailout Century ini. Pada dasarnya, pertanyaan yang akan dijawab berkisar pada kemungkinan ada atau tidaknya pelanggaran aturan dalam pengambilan kebijakan tersebut. Adapun pihak-pihak yang paling bertanggung jawab adalah anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) yang di dalamnya terdapat Menteri Keuangan Sri Mulyani, Wakil Presiden Boediono, dan pihak-pihak lainnya. Bila terdapat pelanggaran, maka pihak-pihak yang bertanggung jawab mesti diberikan sanksi sebagaimana aturan yang berlaku. Namun bila tidak terdapat pelanggaran, mereka tidak perlu disalahkan dan diberikan sanksi. Tentu saja, Pansus tidak bisa memberikan penilaian mengenai kemungkinan terjadinya dampak sistemik atau tidak sistemik bila bailout tidak dilakukan. Ini karena perdebatan tentang hal tersebut tidak bisa mencapai titik temu. Pihak pro dan kontra bailout berangkat dari pemahaman yang berbeda tentang keadaan perekonomian Indonesia saat bailout dilakukan, sehingga tidak mungkin ada keputusan yang tepat.

Meski diharapkan kebenaran segera terungkap, tidak bisa dimungkiri bahwa penyelidikan ini telah menguras energi yang tidak sedikit. Pihak-pihak terkait telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk menggelar dan menghadiri sidang-sidang pansus. Tidak bisa dimungkiri pula adanya beban psikologis yang dialami oleh pihak-pihak yang dianggap bersalah, di antaranya adalah Boediono dan Sri Mulyani. Padahal, mereka adalah tokoh kunci di pemerintahan yang tampaknya sulit untuk fokus lagi dalam menjalankan tugas-tugasnya sejak kasus ini muncul. Kalaupun mereka dapat bekerja sebagaimana mestinya, tapi stigma negatif rakyat terhadap kedua tokoh tersebut telah memunculkan beban psikologis yang cukup berat.

Akan tetapi, kebenaran harus tetap diungkap meski menyakitkan. Hal tersebutlah yang menjadi konsekuensi dari perbuatan yang melanggar aturan. Dalam konteks ini, bila kebijakan bailout Century dinyatakan melanggar aturan, pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam proses tersebut harus mendapatkan sanksi. Pansus memiliki peran paling penting dalam mengakhiri kasus ini sebab mereka memiliki hak untuk menyatakan bahwa pengambilan kebijakan Century melanggar aturan yang ada. Hanya saja, rakyat tetap tidak dapat percaya penuh kepada anggota Pansus sebab kasus Century ini sangat kental dengan nuansa politis. Apabila pengambilan kebijakan bailout Century dinyatakan melanggar aturan, tidak menutup kemungkinan akan muncul implikasi politik yang sangat besar. Pemerintahan yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono akan mendapatkan stigma negatif dari rakyat, sebab beberapa pembantunya sudah bermasalah sejak awal berjalannya pemerintahan. Oleh karena itu, jangan sampai kesepakatan politik yang menjadi akhir dari kasus Century ini, melainkan kebenaranlah yang mesti terungkap.[]

Strategi UMKM Menghadapi Perdagangan Bebas

Oleh Randi Kurniawan

Harian Jogja, 19 Januari 2010
Perdagangan bebas yang diberlakukan mulai 1 Januari 2010 telah memunculkan protes dari sejumlah pihak, terutama kalangan pengusaha. Pemberlakuan perdagangan bebas dinilai akan memberatkan pengusaha domestik, sebab produk mereka belum bisa bersaing dengan produk buatan China. Dalam rangka untuk melindungi industri domestik, tentu saja pemerintah tidak boleh tinggal diam. Namun pelaku usaha juga tidak boleh menunggu perlindungan pemerintah saja, melainkan harus berupaya meningkatkan daya saing produknya.

Pada dasarnya, munculnya perdagangan bebas ditujukan untuk meningkatkan arus barang dan jasa. Secara teoritis, perdagangan bebas ditandai oleh nihilnya hambatan perdagangan, baik tarif maupun non tarif. Namun dalam dunia praktis, yang dianggap sebagai hambatan perdagangan hanya menyangkut tarif. Oleh karena itu, perdagangan bebas dapat dimaknai sebagai penghapusan tarif impor atau bea masuk barang dan jasa. Penghapusan tarif dinilai dapat menurunkan harga jual, sehingga konsumen dapat memperoleh barang dengan harga yang relatif murah. Hal ini dapat merangsang konsumen untuk meningkatkan konsumsi, sehingga dapat meningkatkan pendapatan nasional bagi negara eksportir.

Meski perdagangan bebas dapat menguntungkan bagi tiap negara yang terlibat, tapi terdapat asumsi yang mesti dipenuhi sebelum tujuan ini tercapai. Asumsi tersebut adalah adanya daya saing yang mumpuni antara pihak-pihak yang berdagang. Bila salah satu pihak berdaya saing tinggi, sedangkan pihak lainnya kurang berdaya saing, maka akan terjadi ketimpangan. Peningkatan arus barang dan jasa hanya terjadi pada negara yang memiliki daya saing tinggi, sementara negara yang berdaya saing rendah, hanya menjadi konsumen atau pasar. Oleh karena itu, suatu negara yang memutuskan akan mengadakan perdagangan bebas harus terlebih dahulu memiliki daya saing yang tidak kalah dengan negara lain.

Berangkat dari konsep ini, kita dapat menganalisis persoalan yang terjadi di Indonesia pasca diberlakukannya zona perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Pada umumnya, pengusaha domestik menyadari ketidakmampuannya bersaing dengan pengusaha China. Salah satu bukti kuantitatifnya adalah defisit perdagangan Indonesia dengan China yang mencapai USD 3,61 miliar pada 2008. Oleh karena itu, dikhawatirkan industri domestik akan melemah pasca diberlakukannya perdagangan bebas, dimana pengusaha domestik tidak menjadi tuan di negeri sendiri, tapi justru menjadi penonton. Namun tampaknya pemerintah tetap menaruh perhatian dalam melindungi industri domestik yang memang belum bisa bersaing. Langkah ini dilakukan dengan diadakannya penyesuaian tarif pada produk-produk yang belum bisa bersaing, perbaikan infrastruktur, pengadaan regulasi yang mendukung aktivitas produksi, dan lain-lain.

Namun pelaku usaha, khususnya bidang UMKM, juga tidak boleh hanya berharap datangnya bantuan pemerintah. Pelaku usaha juga harus berupaya keras untuk meningkatkan daya saing. Menurut penulis, terdapat sejumlah langkah yang dapat dilakukan dalam meningkatkan daya saing. Pertama, terus menerus memacu inovasi dan kreativitas. Kekuatan dari suatu produk adalah diferensiasi, yaitu adanya keunikan yang terkandung di dalamnya. Dengan adanya keunikan, maka konsumen akan tertarik untuk membelinya. Sementara itu, pesaing belum tentu mampu untuk menciptakan produk yang sejenis. Oleh karena itu, adanya inovasi dan kreativitas akan menghasilkan produk yang diminati oleh konsumen. Kedua, menguatkan permodalan. Kerap kali suatu usaha tidak mencapai skala ekonomis hanya karena alasan ketidakcukupan modal. Suatu usaha yang mencapai skala ekonomis menunjukkan kondisi dimana biaya rata-rata mencapai titik minimum. Biasanya, pelaku usaha yang memiliki modal yang kuat, dapat mencapai skala ekonomis, sehingga harga per unit barang bisa lebih murah dibanding kondisi yang tidak mencapai skala ekonomis. Para pelaku usaha yang belum mencapai skala ekonomis karena alasan modal, tentu mesti memanfaatkan berbagai fasilitas pendanaan yang saat ini sudah digalakkan oleh pemerintah melalui bank-bank pemerintah. []

Manfaatkan Pemulihan Ekonomi Global

Oleh Randi Kurniawan

Seputar Indonesia, 11 Januari 2010
Kondisi ekonomi pada 2010 diperkirakan lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Perkiraan ini disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah pulihnya ekonomi global dari hantaman krisis. Namun mampukah Indonesia memanfaatkan peluang pemulihan ekonomi global untuk meningkatkan aktivitas ekonomi domestik?

Tahun 2009 dapat dianggap sebagai titik klimaks dampak krisis global terhadap ekonomi domestik. Hal ini tercermin pada indikator makroekonomi, terutama pertumbuhan ekonomi. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2009 mencapai 4,3%, dimana angka ini lebih rendah dibanding 2008 dan 2007, berturut-turut 6,1% dan 6,3%. Namun pemerintah menargetkan pertumbuhan sebesar 5,5% pada 2010. Ini berarti, ekonomi domestik berpeluang besar kembali bergeliat, setidaknya sama dengan kondisi pra krisis.

Berkaca pada kondisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ekonomi global memiliki pengaruh besar terhadap ekonomi domestik, yang bertransmisi melalui jalur perdagangan dan jalur finansial. Di jalur finansial, dampak krisis global mewujud pada terjadinya penarikan dana oleh investor asing yang memiliki kesulitan likuiditas, serta makin terhambatnya pembiayaan ekonomi oleh institusi finansial. Sementara di jalur perdagangan, dampak krisis mewujud pada lemahnya arus perdagangan barang dan jasa, sehingga berpengaruh pada melemahnya sektor riil. Berdasarkan data Bank Dunia, selama Juli 2008 – Februari 2009, nilai ekspor turun sebesar 43%. Namun sumbangan ekspor bersih pada Produk Domestik Bruto (PDB) tetap positif, sebab pada saat yang sama, nilai impor turun sebesar 56%.

Secara umum, pemulihan ekonomi global akan berdampak positif bagi ekonomi domestik. Dampak ini juga bertransmisi melalui jalur finansial dan jalur perdagangan. Di jalur finansial, dampak pemulihan ekonomi global mewujud pada meningkatnya arus modal masuk ke sektor keuangan domestik, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Peningkatan arus modal masuk ini disebabkan oleh melemahnya nilai tukar dolar AS dan rendahnya suku bunga AS. Karena itu, para investor mencari alternatif investasi yang lebih menguntungkan, salah satunya di pasar keuangan Indonesia. Memang dana jangka pendek perlu diperhatikan oleh otoritas moneter sebab bisa keluar masuk secara cepat, sehingga mempengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah. Berbeda dengan dana jangka panjang, dimana dana ini dapat menjadi sumber pembiayaan bagi sektor usaha dan pemerintah melalui pasar uang atau pasar modal. Dana ini dapat menjadi salah satu stimulus untuk menggerakkan perekonomian, melalui belanja pemerintah dan investasi swasta.

Sementara itu, transmisi di jalur perdagangan terlihat pada meningkatnya arus perdagangan. Pemulihan ekonomi global ditandai dengan pulihnya harga dan volume komoditas ekspor. Pada saat krisis, nilai ekspor turun drastis karena adanya penurunan harga. Namun saat ekonomi sudah pulih, harga komoditas kembali meningkat, sehingga para eksportir dapat menikmati keuntungan yang lebih. Selain itu, menggeliatnya perekonomian global dapat meningkatkan kembali permintaan terhadap produk ekspor Indonesia. Berdasarkan data Bank Dunia, selama Februari 2009 – Agustus 2009, nilai ekspor kembali meningkat sebesar 48%. Peningkatan ini masih bisa terjadi bila ekonomi global sudah benar-benar pulih.

Memang tidak bisa dimungkiri, kondisi ekonomi global berpengaruh pada ekonomi domestik. Perbedaan pengaruh antara satu negara dengan negara lain hanya terletak pada derajat pengaruhnya. Dapat dianggap, memburuknya ekonomi global hanya berpengaruh kecil terhadap ekonomi domestik. Sebaliknya, bila kondisi ekonomi global sudah pulih, tentu setiap negara bisa mendulang manfaat dari keadaan tersebut. Karena itu, yang perlu dilakukan setelah ekonomi global pulih adalah mendulang manfaat sebesar-besarnya, baik melalui jalur perdagangan maupun jalur finansial. Pemanfaatan peluang ini dapat menjadi salah satu sarana untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi domestik. []

Meningkatkan Daya Saing

Oleh Randi Kurniawan

Seputar Indonesia, 4 Januari 2010
Perdagangan bebas tampaknya menjadi kebutuhan bagi negara-negara di dunia. Artinya, tiap negara berkeinginan membuka diri terhadap arus lalu lintas barang dan jasa internasional. Hanya saja, persoalan terletak pada waktu pelaksanaannya. Sebab, negara yang belum siap bersaing, pasti akan dirugikan. Hal inilah yang menimbulkan kontroversi saat pemerintah Indonesia menyetujui perdagangan bebas dengan China yang dimulai pada 1 Januari 2010. Pada umumnya, kalangan pengusaha Indonesia belum siap menghadapi perdagangan bebas dengan China.

Telah umum diketahui, perdagangan bebas akan mendatangkan manfaat bagi negara yang terlibat. Secara makro, perdagangan bebas akan meningkatkan volume dan nilai perdagangan. Ini terjadi karena hambatan perdagangan, baik tarif maupun non tarif, dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan. Secara teoritis, makin kecil hambatan perdagangan, makin tinggi pula lalu lintas perdagangan barang dan jasa. Ini terjadi karena harga-harga produk tersebut juga makin rendah, sehingga mendorong kenaikan permintaan konsumen dari berbagai negara.

Namun perdagangan bebas juga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi negara yang terlibat. Dampak negatif ini timbul bila suatu negara memiliki daya saing yang relatif rendah. Bila daya saing rendah, negara tersebut justru akan menjadi konsumen ketimbang menjadi produsen. Dengan kata lain, negara tersebut akan lebih banyak mengimpor ketimbang mengekspor. Akibatnya, produksi domestik akan berkurang, lalu pengangguran akan naik karena terjadi penurunan permintaan tenaga kerja. Tentu saja, setiap negara tidak ingin mendapatkan dampak negatif dari perdagangan bebas, sehingga mereka berupaya meningkatkan daya saing.

Telah umum diketahui, hampir setiap negara memiliki produk-produk yang strategis. Produk tersebut diharapkan berdaya saing tinggi, sehingga bila diperdagangkan dalam keadaan bebas hambatan, volume dan nilainya akan meningkat. Hanya saja, dalam kasus perdagangan China-Indonesia, beberapa produk seperti baja dan tekstil, merupakan produk strategis di kedua negara, sehingga akan terjadi persaingan sengit bila diadakan perdagangan bebas. Kemungkinan besar salah satu di antaranya akan kalah bersaing. Inilah yang dikhawatirkan oleh pengusaha-pengusaha di Indonesia. Karena itu, mereka meminta pemerintah untuk menunda waktu pelaksanaan perdagangan bebas ini.

Kekhawatiran pengusaha Indonesia, khususnya yang memiliki kesamaan produk dengan pengusaha China, memang dapat dimaklumi. Pasalnya, tanpa ada perdagangan bebas pun, pengusaha Indonesia sudah kesulitan menghadapi produk China. Terbukti, produk-produk China telah membanjiri pasar Indonesia. Bagi konsumen di Indonesia, produk-produk China menjadi pilihan karena dianggap relatif murah, meski kualitasnya tidak lebih baik dari kualitas produk Indonesia.

Dengan adanya perdagangan bebas, tentu harga produk-produk China akan lebih murah lagi dibanding sebelumnya. Keadaan inilah yang akan dihadapi oleh pengusaha Indonesia karena kesepakatan waktu pelaksanaan perdagangan bebas sangat sulit ditunda. Karena itu, pengusaha dan pemerintah harus bahu membahu menghadapi perdagangan bebas ini. Pemerintah harus memberikan dukungan berupa regulasi yang dapat memudahkan pengusaha dalam menjalankan aktivitas bisnis, seperti regulasi ketenagakerjaan, perpajakan, dan lain-lain. Ketersediaan infrastruktur pendukung, juga sangat mendesak untuk dipenuhi, karena diperlukan untuk meningkatkan efisiensi. Sementara itu, pengusaha juga harus memikirkan cara-cara efektif untuk meningkatkan pangsa pasarnya, melalui efisiensi penggunaan input produksi dan penggunaan strategi pemasaran yang baru sehingga dapat memperoleh pelanggan-pelanggan baru baik domestik maupun internasional. []

Jumat, 22 Januari 2010

Harus Penuhi Asumsi

Oleh Randi Kurniawan (Mantan Kabid Kajian dan Riset)

Suara Merdeka, 19 Desember 2009
Menteri Pendidikan Nasional mengusulkan penggabungan Ujian Nasional (UN) dengan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Salah tujuannya adalah menciptakan efisiensi dalam pelaksanaan ujian. Namun usulan ini memperoleh reaksi pro dan kontra dari masyarakat. Agar pro dan kontra ini tidak berlarut-larut, Depdiknas sebaiknya tidak perlu lagi mewacanakan usulan tersebut. Kalau memang nanti diperlukan, kendala-kendalanya harus diatasi dari sekarang.

Menurut penulis, masih sangat sulit untuk merealisasikan ide tersebut. Pasalanya, suprastruktur pendidikan di Indonesia masih belum siap. Kita tahu, pelaksanaan UN masih diselimuti dengan berbagai persoalan, terutama menyangkut validitas hasil. UN yang dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan siswa terhadap materi, tidak terlalu valid karena prosesnya kerap kali mendapat intervensi dari sekolah. Terkadang intervensi ini dianggap wajar oleh pimpinan sekolah karena tidak ingin mendapat predikat buruk bila ada anak didiknya yang tidak lulus. Bahkan, Kepala Dinas Pendidikan di daerah pun tidak ingin mendapatkan predikat buruk bila tingkat kelulusan UN di daerahnya rendah. Kalau validitasnya diragukan, maka tentu tidak layak bila hasil UN ini dijadikan sebagai penentu utama untuk memasuki dunia perguruan tinggi.

Selain validitas hasil UN, alasan lain yang menyulitkan penggabungan UN dengan SNMPTN adalah perbedaan tujuan antara UN dengan SNMPTN. UN dimaksudkan untuk mengevaluasi pencapaian siswa SLTA atau sederajat, sementara SNMPTN dimaksudkan untuk menyeleksi lulusan SLTA yang ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Tentu saja, tingkat kesulitan soal-soal pada kedua ujian tersebut berbeda, dimana tingkat kesulitan UN lebih rendah dibanding SNMPTN. Karena itu, tidak wajar bila dua hal yang memiliki tujuan berbeda digabung menjadi satu. Kalaupun dimungkinkan, maka hasil penggabungan tersebut haruslah mencakup kedua tujuan yang diinginkan.

Berdasarkan analis di atas, penggabungan UN dengan SNMPTN dapat berlangsung optimal bila dipenuhi beberapa asumsi. Pertama, hasil UN dapat dijamin validitasnya. Artinya, hasil UN memang dapat menunjukkan kemampuan siswa dalam menguasai materi yang diujikan. Dengan demikian, siswa yang memiliki hasil UN tinggi, dapat dipastikan lebih pintar dibanding siswa yang memiliki hasil UN rendah. Kedua, standar kesulitan soal antara UN dan SNMPTN harulah sama. Dengan demikian, siswa yang berkeinginan untuk melanjutkan perguruan tinggi memang dapat dinilai kemampuannya berdasarkan hasil UN. Memang, PTN tetap perlu melakukan seleksi internal. Akan tetapi, seleksi tersebut tidak lagi menyangkut kecerdasan intelektual, melainkan kecerdasan emosional, seperti psikotes. Karena itu, bila Depdiknas ingin menggabung UN dengan SNMPTN, lebih baik berusaha keras untuk memenuhi dua asumsi di atas, ketimbang berwacana. []

Mengoptimalkan Pengelolaan Objek Wisata

Oleh Randi Kurniawan (Mantan Kabid Kajian dan Riset)

Harjo, 15 Desember 2009
Suatu keunggulan tersendiri bila terdapat objek wisata di suatu daerah. Pasalnya, keberadaan objek wisata tersebut dapat meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat, serta meningkatkan penerimaan pemerintah melalui pajak dan retribusi. Tak heran bila pemerintah, baik skala nasional maupun lokal, berlomba-lomba memperkenalkan objek wisata kepada para wisatawan, baik asing maupun domestik. Sebab, makin banyak kunjungan wisatawan ke wilayah tersebut, maka makin besar pula manfaat yang diperoleh.

Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang memiliki keunggulan pariwisata. Daerah ini menawarkan berbagai macam objek wisata, seperti budaya, belanja, kuliner, dan lain-lain. Keanekaragaman objek wisata ini merupakan potensi untuk menarik para wisatawan agar mereka berkunjung ke daerah tersebut. Akan tetapi, potensi tersebut tidak mendatangkan manfaat yang optimal bila pemerintah tidak mengelola objek wisata dengan baik.

Pengeloaan ini diperlukan karena persaingan antar daerah dalam menarik wisatawan makin tinggi. Saat ini, wisatawan memiliki pilihan objek wisata yang makin banyak. Tentu saja, mereka akan mengunjungi daerah yang menawarkan jasa terbaik pada objek tertentu. Dulu, Yogyakarta dikenal paling unggul dalam objek wisata kebudayaan. Namun daerah-daerah lain juga mengembangkan wisata budaya untuk menarik para wisatawan. Karena itu, pemerintah perlu melakukan reformasi pengelolaan objek wisata agar jumlah wisatawan bisa meningkat dari tahun ke tahun.

Tahun 2010, pemerintah Kota Jogja menargetkan 2 juta wisatawan yang berkunjung ke objek-objek wisata yang terdapat di kota pelajar ini. Sebagaimana diketahui, objek wisata yang terkenal di Kota Jogja adalah Malioboro, Taman Sari, Keraton, dan Kebun Binatang Gembira Loka, dan Taman Pintar. Apakah target ini dapat tercapai? Bila mengamati kinerja pemerintah dalam mengelola objek wisata, muncul rasa pesimis akan tercapainya target ini. Satu contoh adalah pengelolaan kawasan Malioboro. Saat ini, Malioboro makin tidak bersahabat dengan para wisatawan, sebab estetika atau keindahannya makin berkurang.

Berkaca pada kondisi ini, pemerintah Kota Jogja harus melakukan reformasi pengelolaan objek wisata. Pertama, harus ada kesesuaian gerak antar instansi pemerintah. Tanggung jawab untuk menarik perhatian para wisatawan, tentu tidak hanya dibebankan pada dinas pariwisata, tapi juga dinas-dinas terkait, seperti perhubungan, kebersihan, dan lain-lain. Adanya koordinasi antar instansi akan menciptakan pengelolaan wisata yang efektif dan efisien.

Kedua, pemerintah perlu berkolaborasi dengan pihak swasta dalam mengelola objek wisata. Kita tahu, kerap kali masalah kekurangan anggaran dijadikan alasan bagi pemerintah untuk tidak mengelola objek wisata tertentu secara optimal. Padahal, objek wisata tersebut berpotensi mendatangkan manfaat ekonomi bagi pemerintah bila dikelola dengan baik. Untuk menyiasati masalah ini, pemerintah bisa mengajak swasta untuk mengelola objek wisata. Tentu saja, pemerintah perlu menerapkan aturan main yang menguntungkan kedua belah pihak.

Bila langkah-langkah ini dilakukan, pemerintah dan masyarakat Jogja pada umumnya dapat menikmati manfaat dari adanya berbagai objek wisata di kota pelajar ini.

Perbaikan Alokasi Anggaran

Oleh Randi Kurniawan (Mantan Kabid Kajian dan Riset)

Harjo, 8 Desember 2009
Rencana pemerintah menaikkan gaji pokok Pengawai Negeri Sipil (PNS) sebesar 5% pada 2010, disinyalir akan berdampak positif bagi perekonomian terutama karena daya beli masyarakat meningkat. Namun kebijakan tersebut tetap perlu memperhatikan kemampuan anggaran pemerintah agar tidak mengorbankan pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

Pasalnya, alokasi anggaran pemerintah ditujukan untuk berbagai tujuan, seperti pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan lain-lain. Bila salah satu pos pengeluaran meningkat, sedangkan pendapatan tidak naik, akan mengakibatkan turunnya nominal anggaran pada pos pengeluaran lain. Karena itu, bila pemerintah ingin meningkatkan salah satu pos pengeluaran, langkah yang dapat ditempuh ada dua, yakni mengurangi nominal anggaran di pos pengeluaran lain dan/atau meningkatkan pendapatan. Selain dua cara tersebut, pemerintah juga dapat meningkatkan utang, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Hanya saja, cara ini kerap kali menimbulkan kontroversi di mata masyarakat, sehingga ada baiknya bila dihindari oleh pemerintah.

Dalam hal ini, bila pemerintah ingin menaikkan gaji PNS, maka pendapatan harus naik sebesar tambahan kenaikan gaji tersebut. Pun, pemerintah juga bisa mengurangi nominal anggaran di pos pengeluaran lain sebesar tambahan gaji tersebut. Bila kenaikan gaji ini ditanggung pemerintah pusat, sebenarnya persoalannya tidak terlalu rumit, sebab ada banyak pos pendapatan yang bisa ditingkatkan dan ada berbagai pos pengeluaran yang mungkin bisa dikurangi atau dihemat. Tentu saja, persoalan akan lebih rumit bila kenaikan gaji ini ditanggung pemerintah daerah (pemda) dalam APBD. Alasanya, sumber-sumber pendapatan daerah tidak terlalu banyak, serta tidak merata antar suatu daerah dengan lain. Selain itu, pos-pos pengeluaran dalam anggaran pemda tidak sebanyak anggaran pemerintah pusat, sehingga kemampuan untuk berhemat juga relatif rendah. Masalahnya, beban kenaikan gaji ini rencananya akan ditanggung pemda. Tentu saja, keadaan ini berpotensi menimbulkan masalah dalam anggaran pemda.

Kalau dicermati, pendapatan daerah lebih banyak tergantung dari anggaran pemerintah pusat, melalui Dana Alokasi Umum (DAU) atau dana transfer yang berjumlah sekitar 60% – 70% dari total pendapatan daerah. Adapun Pendapatan Asli Daerah (PAD), persentasenya masih relatif kecil, yakni sekitar 20%. Karena itu, bila APBD yang menanggung kenaikan gaji pegawai, maka salah satu solusinya adalah meningkatkan dana transfer pusat ke daerah. Namun dana transfer dari pusat ke daerah masih diselimuti dengan masalah rendahnya penyerapan anggaran. Hampir setiap tahun selalu ada sisa hasil anggaran atau dana yang tidak dialokasikan pemda dengan nominal yang cukup besar. Pada 2008, anggaran yang tidak dialokasikan mencapai Rp 45 triliun. Ironisnya, utang pemerintah pusat bertambah dengan nominal Rp 50 triliun pada tahun yang sama.

Ini berarti, kenaikan gaji pengawai sebetulnya bisa ditanggung oleh pemda bila alokasi anggaran yang berasal dari DAU bisa dioptimalkan. Kalaupun tambahan DAU diperlukan, makanya sifatnya hanya menutupi kekurangan dan jumlahnya tidak terlalu besar. Karena itu, selain diperlukan kenaikan dana transfer dari pusat ke daerah (kalau diperlukan), pemerintah daerah juga perlu menyusun anggaran dengan benar agar pengeluaran yang direncanakan tidak jauh berbeda dengan pengeluaran yang sebenarnya. Dengan demikian, tidak akan terjadi lagi dana-dana yang tidak terpakai setelah periode anggaran berjalan. []