Rabu, 02 Desember 2009

Hukum Dikuasai Kapital

Oleh Randi Kurniawan (Mantan Kabid Kajian dan Riset)

Seputar Indonesia, 28 November 2009
Presiden SBY mengakui bahwa reformasi di bidang hukum masih menjadi pekerjaan penting pemerintah yang belum terlaksana secara optimal. Akibatnya, wajah penegakan hukum di Indonesia masih mengecewakan rakyat. Tentu saja, rakyat mengharapkan penegakan hukum secara adil, tanpa pandang bulu.

Akhir-akhir ini, publik disuguhkan dengan fenomena tragis mengenai mandulnya institusi hukum dalam memproses secara hukum pihak-pihak yang diduga kuat terlibat dalam praktik korupsi. Publik menganggap bahwa absennya lembaga penegak hukum mengindikasikan betapa lemahnya lembaga tersebut bila berhadapan dengan para penjahat kelas kakap. Hal ini karena para penjahat tersebut mampu mempengaruhi proses hukum dengan menggunakan kapitalnya.

Menurut penulis, hukum kita tampaknya sudah dikuasai oleh kapital, sehingga orang-orang yang menguasai kapital dengan sendirinya akan membuat hukum berpihak kepadanya. Sementara itu, orang yang tidak memiliki kapital, dengan mudahnya akan terjerat sanksi hukum bila diduga terlibat dalam pelanggaran. Perbedaan perlakuan ini sangat kentara dalam penegakan hukum kita, dimana penguasa kapital mampu menyuap oknum penegak hukum untuk memenangkan kasusnya, atau menyetop agar kasus tersebut tidak sampai ke pengadilan. Kasus Anggodo merupakan fenomena aktual yang membuktikan pada kita bahwa pemilik kapital sudah menguasai hukum kita. Dia tampaknya kebal dengan sanksi hukum, sebab sampai saat ini belum ditahan oleh kepolisian meski diduga kuat terlibat dalam rekayasa penahanan Bibit – Chandra. Sementara kasus Minah, seorang petani yang diduga mencuri beberapa buah Kako, dengan mudahnya dapat dijerat sanksi hukum karena dia tidak memiliki kemampuan kapital untuk membela diri di depan hukum. Bila hukum kita sudah dikuasi oleh kapital, maka rakyat tidak bisa berharap banyak akan datangnya keadilan di depan hukum. Keadilan tersebut baru akan tercipta bila pemerintah melakukan reformasi di institusi penegak hukum, terutama Kepolisian dan Kejaksaan.

Kini, rakyat menuntut aksi pemerintah untuk melakukan reformasi di institusi penegak hukum. Memang dibutuhkan kerja keras pemerintah dalam melakukan aksi ini, sebab masalah di institusi tersebut sudah berakar kuat. Selain itu, godaan finansial yang didapatkan penegak hukum sangatlah besar, sebab mereka berhadapan dengan para pemilik kapital yang senantiasa bisa memenuhi kepentingan pragmatis mereka dalam waktu singkat. Godaan finansial ini, terutama kepada penegak hukum di tingkat bawah, sangat susah dihindari karena penegak hukum kita memang masih menghadapi kesulitan finansial. Dengan demikian, pemerintah perlu memperhatikan kesejahteraan para penegak hukum, terutama di tingkat bawah, agar mereka tidak tergoda lagi oleh suap.

Namun para penegak hukum di tingkat atas, yang notabene sudah sejahtera, ternyata kerap pula tergoda suap. Tentu saja, jumlah uang suapnya cukup fantastis dan jauh berbeda dengan jumlah uang suap penegak hukum di tingkat bawah. Kasus Anggodo membuktikan bahwa para petinggi hukum diduga kuat mendapat suap oleh pihak yang terlibat dalam kasus korupsi ini. Karena itu, perekrutan para pejabat teras di institusi penegak hukum perlu mendapat perhatian seirus. Para pejabat tinggi di institusi penegak hukum haruslah memiliki integritas, kejujuran, dan keberanian untuk membersihkan institusi tersebut dari berbagai bentuk tindakan pelanggaran hukum. Selain itu, petinggi institusi penegak hukum haruslah dipilih dari orang-orang yang memiliki rekam jejak yang baik dalam menegakkan hukum. Bila para pejabat tinggi institusi penegak hukum sudah tidak dapat disuap lagi, maka kita akan melihat para penjahat kelas kakap di negeri ini dapat diseret ke tahanan. []

Senin, 23 November 2009

Sarana Aspirasi Rakyat

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Dimuat di Seputar Indonesia, 20 November 2009
Kita tahu, pemimpin dipilih agar mereka dapat membawa kemaslahatan bagi rakyat. Tapi, apabila keadaan tersebut tidak tercapai, wajar bila muncul kekecewaan dan tuntutan agar pemimpin tersebut melakukan perubahan terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak memihak pada rakyat. Ekspresi kekecewaan dan tuntutan rakyat biasanya tersalurkan lewat berbagai cara, salah satunya adalah parlemen on line.

Adanya parlemen on line merupakan fenomena yang menarik dicermati akhir-akhir ini. Penahanan Bibit S Rianto dan Chandra Hamzah, di mana kedua tokoh tersebut dianggap mewakili hati nurani rakyat, dinilai bertentangan dengan aspirasi rakyat. Pun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap dikriminilasasi oleh lembaga penegak hukum lain, menimbulkan reaksi pemihakan pada KPK. Pemihakan tersebut terutama terlihat di dunia maya, melalui situs jejaring facebook. Tentu saja, sikap rakyat juga terwujud dalam aksi demonstrasi, dan lain-lain.

Fenomena parlemen on line ini tampaknya menarik karena dukungan rakyat dengan sangat mudahnya teridentifikasi hanya dengan menyatakan dukungan secara on line. Karena itu, sebagian rakyat merasa tidak perlu membuang energi dengan turun lapangan, sebagaimana yang dulu kerap dilakukan. Namun sekarang, aspirasi tersebut dapat tersampaikan hanya dengan duduk santai di depan komputer sambil berselancar di dunia maya.

Memang parlemen on line merupakan media yang menarik dan efisien dalam menyampaikan aspirasi. Akan tetapi, terlalu menyederhanakan masalah bila aspirasi di parlemen on line merupakan dasar dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Misalnya, penolakan terhadap penahanan Bibit dan Chandra diekspresikan melalui parlemen on line dengan facebook, yang sudah memiliki anggota lebih dari 1 juta orang. Bila pemerintah menangguhkan penahanan Bibit dan Chandra hanya berdasarkan dukungan yang ada di facebook, tentu kredibilitas pemerintah dipertanyakan. Kalau fenomena ini terus terjadi, tentu menjadi preseden buruk dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah di masa mendatang.

Namun bukan berarti rakyat tidak boleh menjadikan parlemen on line sebagai sarana penyampai aspirasi. Sebab, aspirasi melalui dunia maya bisa menjadi inspirasi bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan yang mestinya sesuai dengan keinginan rakyat. Walau tak ada jaminan bila sarana ini dapat efektif dalam menyampaikan aspirasi, tapi tak salah bila rakyat menggunakannya bila apa yang diharapkan bertentangan dengan yang dilakukan pemerintah. Lagi pula, anggota DPR yang diharapkan dapat menjadi pembela kepentingan rakyat, kerap kali justru bertentangan dengan hati nurani rakyat.

Karena itu, pemerintah tidak perlu acuh tak acuh terhadap aspirasi rakyat yang melalui parlemen on line. Pemerintah perlu berintrospeksi diri terhadap aspirasi tersebut, meski tetap harus mempertimbangkan secara matang sebelum mengambil kebijakan. []

Lanjutkan Pemberantasan Korupsi

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Dimuat di Seputar Indonesia, 10 November 2009


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang diuji. Dugaan kasus korupsi yang menimpa dua pimpinan nonaktif telah mencederai semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun kita sepakat bahwa praktik-praktik korupsi harus terus menerus diberantas hingga akhirnya ”lenyap” di bumi pertiwi ini. Selain itu, kewenangan KPK semestinya tidak dikurangi hanya karena kasus yang menimpa sejumlah pimpinannya.

Memang sudah menjadi tugas lembaga penegak hukum, terutama KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung untuk memberantas korupsi di Indonesia. Namun tampaknya lembaga tersebut kurang bersinergi dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terutama terlihat pada perseturuan antara kepolisian dan kejaksaan berhadapan dengan KPK. Akibatnya, rakyat awam berpandangan bahwa lembaga-lembaga tersebut saling berhadap-hadapan untuk melemahkan satu sama lain.

Padahal, justru yang terjadi adalah perseturuan antar pejabat teras di masing-masing lembaga. Mereka memiliki kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan institusinya. Tentu kita bingung dengan fenomena yang berkembang di media saat ini, di mana pejabat di masing-masing lembaga terutama kepolisian dan KPK menyatakan bahwa mereka bertindak sesuai dengan kewenangan masing-masing. Mereka pun menganggap bahwa lembaga lain melakukan praktik korupsi. Kapolri, dalam rapat kerja dengan DPR, mengatakan bahwa sejumlah pimpinan terlibat korupsi. Di sisi lain, pimpinan nonaktif KPK mengatakan tidak menerima uang dari siapa pun. Sebaliknya, KPK meyakini bahwa ada petinggi Polri yang terlibat dalam praktik korupsi. Bila KPK dan Kepolisian, serta Kejaksaan saling berseteru maka bagaimana nasibnya pemberantasan korupsi di Indonesia?

Meski berpotensi melemahkan semangat dan aksi pemberantasan korupsi, kita perlu tahu bahwa pimpinan KPK saat ini tetap menjalankan tugasnya, sehingga pemberantasan korupsi tetap berlanjut. Presiden telah bertindak tepat dengan mengganti pimpinan KPK yang diduga terlibat kasus pidana, yaitu Chandra Hamzah, Bibit Samad Rianto, dan Antasari Azhar. Para pimpinan nonaktif ini diganti oleh Tumpak H Panggabean, Mas Achmad Santosa, dan Waluyo. Adanya pimpinan baru ini tentu memunculkan optimisme bahwa KPK tetap memiliki taring untuk melakukan pemberantasan korupsi. Hanya saja, munculnya kasus ini berpotensi menjadi awal untuk mengerdilkan KPK, terutama bila para pimpinannya yang terlibat kasus tersebut memang terbukti bersalah. Adanya kewenangan berlebihan yang diberikan kepada KPK dinilai sebagai penyebab munculnya penyalahgunaan wewenang. Karena itu, ada tuntutan untuk mengurangi kewenangan KPK.

Memang kita tahu bahwa kekuasaan yang berlebihan berpeluang besar menjerumuskan orang yang mengembangnya pada penyalahgunaan. Barangkali hal ini memang terjadi pada pimpinan KPK. Namun, mengurangi kewenangan KPK dalam memberantas korupsi tentu bukanlah langkah yang tepat. Bagaimanapun, korupsi masih kita anggap sebagai kejahatan luar biasa dan menjadi musuh bersama, sehingga dibutuhkan lembaga yang kuat untuk memberantasnya. Justru, yang perlu dilakukan adalah bersama-sama mengawasi kinerja KPK. LSM, mahasiswa, dan rakyat secara umum harus bertindak bila memang ada indikasi bahwa pimpinan KPK tidak bekerja sebagaimana mestinya. []

Minggu, 25 Oktober 2009

Kabinet Ekonomi Pro Sektor Riil

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Dimuat di Seputar Indonesia, Kamis 22 Oktober 2009
Pasca presiden dan wakil presiden dilantik untuk masa jabatan 2009-2014, kini publik menunggu tokoh-tokoh yang akan diangkat menjadi menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II. Berdasarkan rencana, presiden akan mengumumkan kabinetnya pada Rabu pekan ini.

Salah satu yang menjadi sorotan dalam pembentukan kabinet kali ini adalah pos kementerian bidang perekonomian. Hal ini wajar, sebab tantangan pemerintahan ke depan adalah peningkatan aktivitas ekonomi, agar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Masalah ekonomi yang masih menjanggal dan menyentuh hajat hidup rakyat adalah kemiskinan dan pengangguran. Secara teoritis, pemerintah harus menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan agar persoalan kemiskinan dan pengangguran dapat teratasi.

Sejauh ini, prediksi kuat nama-nama calon menteri bidang ekonomi telah muncul baik dari kalangan lama maupun yang baru. Dari kalangan lama, terdapat Sri Mulyani dan Mari Elka Pangestu. Sementara itu, ada juga wajah-wajah baru, seperti Hatta Radjasa, MS Hidayat, Darwin Saleh, Mustafa Abubakar, dan Armida Alisjahbana. Para pengamat merespon positif dengan pengangkatan tokoh-tokoh tersebut, meski tetap ada kritikan mengenai kuatnya akomodasi kepentingan politik di tim ekonomi.

Sebagaimana diketahui, salah satu tugas tim ekonomi adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, sehingga dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Memang diakui, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif lebih tinggi dibanding negara-negara lain yang terkena dampak krisis ekonomi global, kecuali India dan China. Pemerintah memprediksikan pertumbuhan bisa mencapai 4,5 persen pada 2009 ini. Pada 2009, pemerintah optimis dapat mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen, sebagaimana janji presiden SBY dalam kampanye politiknya.

Bila pengangguran dan kemiskinan ingin berkurang secara signifikan, tugas tim ekonomi tidak hanya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, tapi juga pertumbuhan yang berkualitas. Pertumbuhan ini dapat dicapai bila pemerintah dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang menyerap tenaga kerja paling banyak, terutama sektor industri.

Masalahnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak didorong oleh sektor jasa yang kurang signifikan dalam penyerapan tenaga kerja. Misalnya saja, sektor keuangan tumbuh 11,7 pada 2007, menjadi 12,7 persen pada 2008. Sementara itu, sektor industri justru menurun dari 20,7 persen pada 2007 menjadi 16,5 persen pada 2008. Padahal, sektor industri menyerap tenaga kerja yang lebih banyak dibanding sektor keuangan. Pada 2008, sektor keuangan hanya menyerap 1,42 persen, sementara sektor industri menyerap 12,24 persen dari total penduduk yang bekerja.

Karena itu, tim ekonomi harus berfokus untuk meningkatkan aktivitas ekonomi pada sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, agar pengangguran dan kemiskinan dapat diatasi. Pemerintah tidak boleh terlena dengan kemajuan-kemajuan di sektor keuangan. Kita tahu, kemajuan sektor keuangan jauh meninggalkan sektor riil saat ini. Jasa keuangan, terutama perbankan meningkat pesat kapitalisasinya. Sementara itu, lembaga-lembaga keuangan, seperti asuransi, pasar modal, dan lain-lain juga menunjukkan peningkatan. Namun kemajuan di sektor finansial tersebut tidak serta merta berdampak pula pada kemajuan sektor riil. Karena itu, tugas berat tim ekonomi ke depan adalah mendorong terjadinya transmisi dari sektor finansial ke sektor riil. Bila sektor riil meningkat, nantinya penyerapan tenaga kerja juga akan meningkat, yang akhirnya berimplikasi pada peningkatakan kesejahteraan rakyat.

Senin, 19 Oktober 2009

Model Kabinet SBY-Boediono

Oleh Randi Kurniawan

Seputar Indonesia, Kamis 14 Oktober 2009
Tanggal 20 Oktober mendatang, Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof Boediono akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden RI periode 2009-2014. Tentu patut kita ucapkan selamat atas keberhasilan mereka mencapai jabatan pemerintahan paling penting di negeri ini. Namun tugas dan tantangan berat menanti, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Karena itu, dibutuhkan kecerdasan, kebijaksanaan, dan keberanian untuk menghadapi dan menyelesaikan segenap persoalan tersebut.

Tugas pertama presiden dan wapres terpilih adalah membentuk kabinet. Peran anggota kabinet tentunya sangat strategis, sebab janji-janji presiden dan wakil presiden akan direalisasikan oleh mereka. Meski pembentukan kabinet merupakan hak prerogatif presiden, namun keterwakilan kepentingan-kepentingan lain, terutama dari partai anggota koalisi, juga harus dipertimbangkan. Memang, idealnya orang-orang yang mengisi pos kabinet haruslah memiliki keahlian di bidang yang dibutuhkan dan tidak memiliki kepentingan politik tertentu. Tentu, kriteria demikian sulit ditemukan pada orang-orang yang berasal dari partai politik. Namun Presiden SBY tetap harus mengakomodasi kepentingan tersebut, di samping memilih orang-orang yang benar-benar tepat mengisi pos kabinet. Karena itu, penentuan komposisi kabinet yang tepat merupakan tantangan awal bagi presiden dan wapres terpilih.

Menurut penulis, lima tahun ke depan, pemerintahan SBY-Boediono menghadapi tantangan berat. Pemulihan ekonomi dari terpaan krisis merupakan pekerjaan yang tidak mudah dilaksanakan. Belum lagi dengan masalah kemiskinan dan pengangguran yang belum bisa diselesaikan. Kehadiran Prof Boediono selaku ahli ekonomi yang mumpuni tentu akan meningkatkan rasa optimis mengenai kemampuan pemerintah menyelesaikan masalah-masalah ekonomi yang menyangkut hajat hidup rakyat. Tapi, apakah pemerintah berhasil atau tidak, hanya waktu yang akan menentukan.

Diakui, pembentukan tim ekonomi akan menjadi sorotan masyarakat, dunia usaha, dan pasar finansial. Hal ini wajar sebab tantangan berat ke depan adalah masalah ekonomi. Karena itu, orang-orang yang mengisi tim ekonomi haruslah dari kalangan profesional. Ada sejumlah pos kabinet yang termasuk di dalamnya, yakni Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri BUMN, Kepala Bappenas. Di luar tim ekonomi, ada sejumlah pos kabinet yang juga perlu diisi oleh kalangan profesional, seperti Menteri Hukum dan HAM, Menko Polhukam, Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri. Adapun pos-pos di luar yang disebutkan di atas, dapat diserahkan pada kader partai yang juga ahli di bidangnya.

Karena itu, model kabinet SBY-Boediono nantinya adalah model yang tetap mengakomodasi kepentingan partai, tapi pos kabinet strategis diserahkan kepada para profesional. Sementara itu, pos kabinet yang kurang strategis dapat diserahkan kepada kader partai yang juga ahli di bidangnya. Mengapa harus dibedakan? Dari awal, kita tahu betapa jatah menteri di kabinet yang berasal dari partai politik hanya merupakan upaya balas budi. Dukungan partai politik untuk pemenangan di pilpres serta dukungan di parlemen harus dibayar partai berkuasa dengan menempatkan kader partai pendukung di kabinet. Dengan demikian, sangat jelas bahwa penempatan mereka di kabinet adalah untuk mengakomodasi kepentingan partai di kabinet. Karena itu, biayanya terlalu mahal bila pos kementerian yang strategis diserahkan pada anggota kabinet dari kader partai.[]

Minggu, 11 Oktober 2009

Perbaikan pada Pengawasan

Oleh Randi Kurniawan

Harian Jogja, 6 Oktober 2009

Pemerintahan SBY telah memenuhi janjinya untuk meningkatkan gaji guru. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru sebagai tenaga pendidik. Bila kualitas guru meningkat, maka anak didik pun berpeluang besar meningkat kualitasnya. Salah satu insentif yang dapat mendorong guru meningkatkan kualitasnya adalah kenaikan gaji. Hal ini wajar, sebab bila guru sejahtera maka mereka akan fokus melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Karena itu, diharapkan dari adanya kebijakan ini, kualitas pendidikan nasional menjadi lebih baik.

Namun sebelum memperoleh kenaikan gaji, guru harus melalui proses sertifikasi. Masalahnya, tidak mudah memperoleh sertifikat sebagai guru profesional karena harus memenuhi persyaratan tertentu. Hal ini menjadi salah satu penyebab munculnya pelanggaran selama proses sertifikasi berlangsung, dimana muncul keinginan untuk memperoleh sertifikat tanpa harus bersusah payah. Pemalsuan dokumen sertifikasi merupakan modus yang kerap kali terjadi. Kondisi ini berpotensi mengacaukan tujuan dari adanya sertifikasi guru. Dengan kata lain, tidak ada peningkatan pada kualitas guru, sehingga kualitas murid pun tidak meningkat, dan pada akhirnya kualitas pendidikan nasional tidak meningkat pula. Kita tidak mengharapkan kondisi ini terjadi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008 tentang Guru, terdapat 10 syarat yang harus dipenuhi guru sebelum memperoleh sertifikat, yakni: kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Seperti yang dituliskan di atas, syarat-syarat yang ditentukan pemerintah kepada guru yang akan memperoleh sertifikat, memang tidaklah mudah. Namun hal ini wajar bila dibandingkan dengan kompensasi yang diterima guru. Pasal 14 ayat (1) UU Guru menyatakan bahwa setiap guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Dijelaskan pada pasal berikutnya bahwa penghasilan di atas kebutuhan minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.

Tentu saja tidak adil bila ada guru yang memperoleh sertifikat, tapi tidak melalui prosedur yang ditentukan. Karena itu, perlu dianalisis penyebab dari timbulnya pelanggaran tersebut, lalu menemukan solusinya. Menurut penulis, penyebab utama munculnya pelanggaran adalah lemahnya pengawasan pemerintah pusat. Memang pemerintah telah mengagendakan untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan sertifikasi ini. Tentu saja, tujuan utamanya adalah untuk mengetahui apakah pelaksanaan sertifikasi sudah sesuai prosedur standar yang telah ditetapkan ataukah malah menyimpang. Selain itu, ingin diketahui pula mengenai sejauh mana instansi menjalankan peran masing-masing. Terakhir, ingin diketahui dampak sertifikasi terhadap guru, kinerja sekolah dan hasil belajar siswa. Karena itu, bila masih terjadi pelanggaran dari proses ini, itu berarti bahwa pengawasan sertifikasi belum berjalan optimal. Pemerintah pusat perlu lebih proaktif dalam melakukan pengawasan agar maksud dari sertifikasi dapat tercapai. []

Jumat, 02 Oktober 2009

Dari Muhammad Sampai Pasar, dari UGM Sampai Portal

Oleh Lizamul Widad (Kabid Perkaderan dan PTK)

Subuh dua hari yang lalu menjadi subuh yang unik bagi Dalijo, saudaraku. Niat hendak pulang ke komisariat sehabis perjalanan jauh terhalang oleh peristiwa unik nan pantas untuk dibicarakan lebih lanjut. Rencana memotong jalan melalui D3 ekonomi-Masjid Kampus-Pertanian UGM sebelum mencapai komisariat dihalangi oleh keramaian di portal selatan jalan itu.

Sebenarnya keputusan melalui jalan itu memang logis karena portal-portal UGM dibuka sekitar pukul 04:30 pagi. Namun, tak dinyana, dengan melewati jalan tersebut, Dalijo justru terhambat oleh portal yang belum terbuka dan sedikit keramaian di sekitarnya. Ia menengok jam untuk memastikan keputusannya adalah benar. Karena merasa ada keganjilan yang terjadi ia pun ingin memastikan apa yang terjadi. Hasilnya, rasa miris, ingin tertawa, ungkapan setengah marah, keinginan misuhi UGM dan segala kecerdikan yang dilakukannya.

Sesampainya di Komisariat, dia bercerita pada Fanani yang selanjutnya akan diceritakan kepada saya. Inti cerita dari fenomena di portal selatan dekat D3 ekonomi tersebut adalah kerja keras SKK UGM untuk membuka portal. Mereka menemukan portal yang dikunci oleh “pemilik lain” dengan rantai sebesar ibu jari tangan dan gemboknya segenggaman tangan. Melihat gelagat “pemilik lain” yang belum bangun dari tidurnya, linggis pun jadi alat SKK untuk membuka portal itu. Menurut mereka langkah itu akan cukup efektif walau harus menghabiskan banyak waktu dan keringat. Tapi yakinlah mereka merasa sangat santai karena di sekelilingnya ditemani, ditonton, dilihat, dan mugkin juga didoakan oleh masyarakat sekitar yang rela keluar rumah untuk menjadi bagian dari fenomena tersebut.

***

Dari Muhammad SAW untuk Abu Bakar As-Syiddiq


Sebelum membahas lebih lanjut fenomena di atas, mari kita ingat sedikit risalah yang menceritakan tentang Khalifatul Ula, Abu Bakar As-Syiddiq. Setelah beberapa lama sang khalifah melakukan semua pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah semasa hidupnya, ia pergi ke hadapan Siti Aisyah. Belau bertanya, “Apakah masih ada segala amalan Rasulullah yang belum dilaksanakan olehnya?”, Siti Aisyah menjawab,”Engkau sudah mengamalkan semua yang dilakukan oleh Rasulullah wahai Abu Bakar. Kecuali satu hal yaitu menyuapi seorang pengemis tua dan buta di sebuah pasar.”

Maka segera berangkatlah Abu Bakar ke tempat itu sambil sepotong roti yang nantinya akan disuapkan kepada pengemis tersebut. Sesampainya di sana, Abu Bakar sangat terkejut ketika ia mendapati keadaan sang pengemis. Pengemis itu memiliki perangai yang jelek. Suka menggunjing, menuduh, mengatakan yang tidak sebenarnya kepada setiap orang yang jalan di dekatnya. Lebih parah lagi karena semua hal yang di gunjingkan berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW. Ia bilang Muhammad penipu, pembohong, istrinya banyak dan ada dimana-mana. Padahal ia tidak mengetahuinya. Termasuk perihal telah berpulangnya rasulullah.

Kemudian tibalah saatnya Abu Bakar yang dipanggil oleh pengemis tersebut. Ia berkata, “Hai fulan, kemarilah. Kuberi tahu bahwa Muhammad itu pembohong, istrinya banyak,…..” Satu hal yang ada di benak Abu Bakar adalah bagaimana bisa rasulullah menyuapi makanan orang yang selalu menfitnahnya. Tidak hanya itu, rasulullah melakukannya setiap hari. Terdiamlah Khalifatullah ini. Di dalam kediaman itu pula ia memotong rotinya untuk disuapkan pada sang pengemis.

Respon si pengemis pun di luar dugaan. Ia meludahkan kembali makanan yang telah ada di mulutnya seraya berkata, “Siapa kamu? Kau bukan orang yang biasanya menyuapiku. Kemana orang yang setiap hari menyuapiku?” Abu Bakar menjawab, “Bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku bukan orang yang biasanya menyuapimu sedangkan engkau tidak dapat melihat?” Pengemis berkata, “Orang yang setiap hari menyuapiku dengan makanan tahu bahwa aku sudah tidak memiliki gigi yang kuat, ia mengunyahkan makananku hingga lembut sebelum memasukkan ke mulutku” Akhirnya Abu Bakar menjawab, “Orang yang setiap hari menyuapmu telah menginggal.”
Dengan hati berat pengemis pun bertanya siapakah nama orang itu dan dijawab oleh Abu Bakar namanya adalah Muhammad. Maka seketika itu pula sang pengemis langsung menyatakan beriman kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah sebelum akhirnya ia meninggal di pangkuan Abu Bakar As-Syiddiq.
***

UGM, Karang Malang, dan Kuningan


Keberadaan UGM dan berbagai perkampungan manusia di sekitarnya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sejarahnya, dinamika sosiologinya, proses penciptaan sistemnya bahkan sampai pada pola interaksinya. Kalau diandaikan sebagaimana idiom persuami-istrian miilik Emha Ainun Nadjib akan tampak kecocokan diantara keduanya. Seperti halnya persuami-istrian pada lelaki dan perempuan, alam diperistri oleh manusia selaku khalifah, dan pemerintah dipersuami oleh rakyatnya sebagai pelindung. Dalam kasus ini, UGM dan segala perangkatnya bertindak sebagai suami yang memiliki tanggung jawab penuh pada istri ar-rahmannya yaitu perkampungan disekitarnya. Tentu saja termasuk manusia-manusia yang tinggal di dalamnya. Maka dari itu, UGM selaku institusi pendidik memiliki tanggung jawab memahamkan, mengajarkan, mengarahkan, membenarkan mentransfer ilmu kepada mereka.

Dewasa ini, saya sangat yakin betul bahwa UGM sangat konsen terhadap isu-isu kesehatan, kelancaran kegiatan belajar-mengajar, keindahan tata letak, keamanan, kelestarian lingkungan dan ketatatertiban. Konsen itu salah satunya diwujudkan melalui pembuatan portal di beberapa titik di wilayah UGM. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah menjaga keamanan kampus, mengatur ketertiban dan mengelola kadar polusi yang cukup membeludak.

Namun kalau ujung-ujungnya adalah peristiwa penggembokan portal oleh orang yang tidak tahu juntrungannya seperti yang saya ceritakan di atas, apalah arti sebuah tata ketertiban, pengelolaan polusi, penjagaan keamaanan kampus. Langkah yang ditujukan untuk mengurangi permasalahan justru menimbulkan permasalahan baru.

Nampaknya UGM lupa pada pesan Muhammad SAW pada Abu Bakar. Pesan yang berskala luas juga berarti ditujukan pada umatnya. UGM juga lupa bagaimana Muhammad mengatasi pengemis yang setiap hari memakinya. Untuk itu mari ingatkan UGM bahwa Muhammad sebagai rasul yang membawa risalah menyampaikan risalahnya dengan menyentuhkan nilai-nilai risalah itu pada objeknya. Muhammad menyentuhkan nilai kasih sayang islam pada pengemis melalui suapan-suapan makanan setiap harinya. Muhammad menyentuhkan nilai toleransi islam pada pengemis dengan cara mendengarkan segala ocehannya. Muhammad tidak merubah nilai pada risalahnya. Muhammad tidak merubah islam agar bisa diterima oleh sang pengemis.

Mari dibuat praktis seperti pada kasus UGM di atas. Saya ibaratkan UGM dalam artian Rektor dan perangkatnya, Dekan dan Perangkatnya, serta SKK sebagai penyampai risalah. UGM dalam artian nilai-nilai yang dijunjung, dianut dan dilakukan sebagai sebuah risalah. Masyarakat Karangmalang, Kuningan, Sagan, Karanggayam dan Karangwuni sebagai objek penyampaian risalah. Kalau memang rektorat ingin sebuah lingkungan yang aman, nyaman, dan sehat, sampaikanlah risalah itu tanpa merubah inti risalah. Sampaikan rasa aman, nyaman, sehat dalam nilai UGM tanpa merubah nilai-nilai tersebut. Tidak perlu merubah UGM dari kampus terbuka menjadi kampus tertutup dengan menambahkan pembatas-pembatas didalamnya hanya untuk mendapatkan pemahaman nilai aman, nyaman, dan sehat dari masyarakat sekitarnya.

Saya sangat yakin usaha UGM menyampaikan nilai aman, nyaman dan sehat melalui pembuatan portal-portal tersebut akan gagal karena masyarakat disekitar UGM tidak tersentuh oleh nilai-nilai itu apalagi memahami, menerima, dan merasakan nilai tersebut. Saya tunjukkan buktinya bahwa masyarakat tersebut belum merasakan nilai-nilai di atas. Pertama, masyarakat itu tidak mengerti nikmatnya sehat karena daerahnya menjadi endemik DB dan setiap tahunnya pasti ada korban DB. Kedua, mereka tidak mengerti nikmatnya “nyaman” karena di daerahnya gersang. Tidak ada pohon pun yang merindangi lingkungan mereka. Artinya, mereka sudah lupa akan arti kesejukan. Terakhir, mereka lupa akan nilai aman karena di benak mereka hanya ada rasa was-was. Yang terlintas di pikiran mereka adalah “Kapan UGM akan melakukan relokasi lagi? Jangan-jangan giliran saya jadi korban.”

Pada akhirnya, kata-kata orang-orang bijaklah yang akan menutup. siapapun dia alangkah baiknya jika berfikir positif dalam melakukan sebuah penilaian. Untuk itu, dari sini, penilaian mengenai salah-benar kebijakan UGM saya serahkan kepada pembaca tulisan ini. Termasuk pada solusi apa yang bisa diusulkan untuk membenahi polemik antara warga dan UGM. Penulis yakin ranah-ranah tersebut adalah ranah produktif, ranah imaginatif, dan ranah kreasi pembaca. (Wallahu a’lam bis shawaf)

(Ditulis, 30 September 2009)

Kepekaan dan Skeptisme Mahasiswa untuk Kekuasaan

Oleh Iqbal Kautsar (Staf Pers dan Pustaka)

Tinta sejarah telah mencatat, jika perjalanan bangsa Indonesia berkoneksi kuat dengan kontribusi mahasiswanya. Mulai dari inisiasi pergerakan nasional BudTinta sejarah telah mencatat, jika perjalanan bangsa Indonesia berkoneksi kuat dengan kontribusi mahasiswanya. Mulai dari inisiasi pergerakan nasional Budi Utomo sampai gerakan revolusioner penjungkalan rezim otoriter Soeharto, adalah hasil karya besar mahasiswa Indonesia. Tentu, tak habis sampai di situ saja dedikasi mahasiswa membangun kejayaan negeri ini. Mahasiswa era sekarang pun tetap harus berposisi sebagai kontrol kekuasaan, sejalan roda zaman yang terus berputar .

Sekarang, iklim demokrasi kian merasuk ke sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem pemerintahan telah semakin tertata sesuai dengan konsep good governance.Pun, terdapat pula mekanisme tersistematis dalam pemerintahan kita sehingga menjadikan Indonesia berprestasi sebagai salah satu negara paling demokratis di dunia.

Akan tetapi, adanya kondisi demikian, lantas tidak berarti kita percaya sepenuhnya pada kebijakan-kebijakan yang pemerintah ciptakan. Masih dimungkinkan banyak kebijakan yang tidak sesuai esensi kesejahteraan rakyat. Inilah ruang yang musti digunakan mahasiswa agar tetap meneguhkan perannya sebagai controller kekuasaan. Mahasiswa harus terus menjadi anjing penjaga yang setia mengawasi kebijakan pemerintah.

Untuk menjalankan perannya, tentu mahasiswa perlu melatih jiwa kepekaannya pada realitas yang muncul. Kepekaan atas fakta sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum menjadi hal tak terbantahkan untuk membangun kapabilitas mahasiswa dalam menganalisis produk-produk kekuasaan, apakah itu berpihak pada rakyat atau tidak. Arbi Sanit (1985) mengemukakan lima alasan mengapa mahasiswa harus menumbuhkan kepekaannya atas masalah-masalah kekuasaan.

Pertama, mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik sehingga berpersepektif lebih luas untuk bergerak di semua lapisan masyarakat. Kedua, mahasiswa adalah golongan yang cukup lama bergelut dengan dunia akademis dan telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara generasi muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik dan akulturasi sosial budaya yang tinggi di kalangan mahasiswa.

Keempat, mahasiswa adalah golongan yang akan memasuki lapisan atas dari struktur kekuasan dan ekonomi, serta memiliki privilege dalam masyarakat sebagai kelompok elit. Kelima, mahasiswa rentan terlibat dalam pemikiran, perbincangan, dan penelitian pelbagai masalah yang timbul di tengah sosialita masyarakat, yang memungkinkan mahasiswa tampil dalam forum yang selanjutnya diangkatnya ke jenjang karier sesuai dengan keahliannya.

Namun, tidak cukup peka saja, mahasiswa perlu juga skeptis dalam memandang berbagai kebijakan pemerintah. Skeptis adalah sikap tidak lekas percaya atas apa yang dilakukan pemerintah. Namun, skeptis di sini harus diarahkan pada profesional skeptisme. Maksudnya, ketidakpercayaan mahasiswa bukan berarti menganggap segala hal yang dibuat pemerintah buruk adanya. Mahasiswa secara aktif profesional harus menelusuri apa maksud kebijakan itu dikeluarkan dan bagaimana dampaknya jika kebijakan itu diluncurkan.

Skeptisme memastikan mahasiswa untuk selalu mencari tahu lebih dalam terkait penciptaan kebijakan itu. Jadi, skeptisme menjadikan mahasiswa, ketika menjalankan aksi mengawasi pemerintah, agar didasarkan pada data-data hasil laku cari tahunya. Mahasiswa pun tidak lagi dengan mudahnya bereaksi mengkritik ataupun mendukung pemerintah hanya didasarkan guliran fakta-fakta mentah yang bisa saja timbul dibumbui intrik kepentingan golongan tertentu. Inilah metode yang sepatutnya dikembangkan mahasiswa dalam pengawasan pemerintahan, untuk memastikan kebijakan pemerintah benar-benar untuk kesejahteraan rakyat.

*) Artikel ini dimuat di Harian Seputar Indonesia, 15 September 2009i Utomo sampai gerakan revolusioner penjungkalan rezim otoriter Soeharto, adalah hasil karya besar mahasiswa Indonesia. Tentu, tak habis sampai di situ saja dedikasi mahasiswa membangun kejayaan negeri ini. Mahasiswa era sekarang pun tetap harus berposisi sebagai kontrol kekuasaan, sejalan roda zaman yang terus berputar .

Sekarang, iklim demokrasi kian merasuk ke sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem pemerintahan telah semakin tertata sesuai dengan konsep good governance.Pun, terdapat pula mekanisme tersistematis dalam pemerintahan kita sehingga menjadikan Indonesia berprestasi sebagai salah satu negara paling demokratis di dunia.

Akan tetapi, adanya kondisi demikian, lantas tidak berarti kita percaya sepenuhnya pada kebijakan-kebijakan yang pemerintah ciptakan. Masih dimungkinkan banyak kebijakan yang tidak sesuai esensi kesejahteraan rakyat. Inilah ruang yang musti digunakan mahasiswa agar tetap meneguhkan perannya sebagai controller kekuasaan. Mahasiswa harus terus menjadi anjing penjaga yang setia mengawasi kebijakan pemerintah.

Untuk menjalankan perannya, tentu mahasiswa perlu melatih jiwa kepekaannya pada realitas yang muncul. Kepekaan atas fakta sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum menjadi hal tak terbantahkan untuk membangun kapabilitas mahasiswa dalam menganalisis produk-produk kekuasaan, apakah itu berpihak pada rakyat atau tidak. Arbi Sanit (1985) mengemukakan lima alasan mengapa mahasiswa harus menumbuhkan kepekaannya atas masalah-masalah kekuasaan.

Pertama, mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik sehingga berpersepektif lebih luas untuk bergerak di semua lapisan masyarakat. Kedua, mahasiswa adalah golongan yang cukup lama bergelut dengan dunia akademis dan telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara generasi muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik dan akulturasi sosial budaya yang tinggi di kalangan mahasiswa.

Keempat, mahasiswa adalah golongan yang akan memasuki lapisan atas dari struktur kekuasan dan ekonomi, serta memiliki privilege dalam masyarakat sebagai kelompok elit. Kelima, mahasiswa rentan terlibat dalam pemikiran, perbincangan, dan penelitian pelbagai masalah yang timbul di tengah sosialita masyarakat, yang memungkinkan mahasiswa tampil dalam forum yang selanjutnya diangkatnya ke jenjang karier sesuai dengan keahliannya.

Namun, tidak cukup peka saja, mahasiswa perlu juga skeptis dalam memandang berbagai kebijakan pemerintah. Skeptis adalah sikap tidak lekas percaya atas apa yang dilakukan pemerintah. Namun, skeptis di sini harus diarahkan pada profesional skeptisme. Maksudnya, ketidakpercayaan mahasiswa bukan berarti menganggap segala hal yang dibuat pemerintah buruk adanya. Mahasiswa secara aktif profesional harus menelusuri apa maksud kebijakan itu dikeluarkan dan bagaimana dampaknya jika kebijakan itu diluncurkan.

Skeptisme memastikan mahasiswa untuk selalu mencari tahu lebih dalam terkait penciptaan kebijakan itu. Jadi, skeptisme menjadikan mahasiswa, ketika menjalankan aksi mengawasi pemerintah, agar didasarkan pada data-data hasil laku cari tahunya. Mahasiswa pun tidak lagi dengan mudahnya bereaksi mengkritik ataupun mendukung pemerintah hanya didasarkan guliran fakta-fakta mentah yang bisa saja timbul dibumbui intrik kepentingan golongan tertentu. Inilah metode yang sepatutnya dikembangkan mahasiswa dalam pengawasan pemerintahan, untuk memastikan kebijakan pemerintah benar-benar untuk kesejahteraan rakyat.

*) Artikel ini dimuat di Harian Seputar Indonesia, 15 September 2009

Menggairahkan (Lagi) Pers Mahasiswa

Oleh: Iqbal Kautsar
Staf Pers dan Pustaka HMI FEB UGM


Ketika pers-pers umum dibungkam oleh tangan-tangan lalim penguasa Orde Baru, masih ada pers mahasiswa yang setia sebagai pengontrol kekuasaan pemerintah.

Sejarah ketertutupan informasi pada masa itu pun jadinya tak segelap gulita dunia tanpa matahari. Ada pers mahasiswa yang hadir membawa pelita terang kebenaran atas segala kezaliman kekuasaan Orde Baru. Saking beraninya, tak terhitung lagi berapa banyak pers mahasiswa yang dibredel, ditutup, dan dibubarkan oleh penguasa Orde Baru. Aktivis-aktivisnya pun ditangkapi, dipenjarakan bahkan sampai sengaja dienyahkan dari muka bumi,alias dibunuh.

Ini karena saat itu pers mahasiswa tetap teguh dengan idealismenya yang mengkritik dan menentang keras segala kebijakan pemerintah Orde Baru yang sama sekali tak berpihak pada kepentingan rakyat. Adapun contoh pers mahasiswa yang menjadi “korban” kediktatoran Orde Baru adalah Gelora Mahasiswa UGM. Kini masa-masa kelam itu telah sirna seiring lengsernya rezim Soeharto. Semenjak reformasi bergulir pada tahun 1998 atas inisiasi mahasiswa—di mana pers mahasiswa juga berperan besar di dalamnya, telah terjadi perubahan besar dalam hal kebebasan rakyat.

Sekarang rakyat bebas dan merdeka untuk mengekspresikan pendapat atas perilaku dan kinerja pemerintah, tanpa pengekangan apa pun dari penguasa. Seluruh elemen masyarakat pun bebas memfungsikan diri sebagai pihak pengontrol. Ini tentu merupakan pertanda baik karena semakin banyak yang mengawasi kekuasaan pemerintah, semakin kuat pulalah suatu negara mengarungi lautan demokrasi. Dinamika zaman yang telah berubah ini tentu harus diikuti dan diantisipasi pula oleh pers mahasiswa.

Kesetiaannya sebagai anjing penjaga atas segala ketidakberesan di masyarakat mesti dijaga erat-erat. Pers mahasiswa tak boleh kehilangan idealismenya sebagai pengontrol kekuasaan pemerintah. Namun, era keterbukaan informasi sekarang ini tak semuanya menguntungkan bagi pers mahasiswa. Malahan,bisa jadi sebagai suatu bumerang, yang membuat pers mahasiswa dalam fungsinya sebagai pengontrol kekuasaan pemerintah menjadi kerdil. Mengapa demikian?

Dengan melimpahnya kebebasan berpendapat dan informasi ini,tentu pers umum yang ditopang dengan dana dan sumber daya manusia yang melimpah akan lebih mampu menjadi corong rakyat untuk mengawasi pemerintah. Walau demikian,ini bukanlah kiamat bagi pers mahasiswa untuk tetap setia pada peran pengontrol. Pers mahasiswa harus menjadikan ini sebagai peluang untuk terus mengaktualisasi peran seiring perubahan zaman dengan cara-cara yang lebih berkembang.

Menurut hemat penulis, sebagai seorang penggiat pers mahasiswa, kegairahan pers mahasiswa agar terus menggeliat sebagai pengawas kekuasaan pemerintah dapat dikembangkan lagi dengan jalan menyajikan tulisan-tulisan kritisnya yang berbasis penelitian. Pers mahasiswa perlu mengembangkan karakter keilmuan dalam kegiatannya agar dirinya unik dan berbeda dengan pers umum ataupun lembaga kontrol lain.

Mahasiswa yang hidup dalam ranah akademis tentu akan lebih mafhum dengan konten dari kebijakan yang digelontorkan pemerintah. Lewat tulisan, pers mahasiswa bisa mengungkapkan ketidakberesan kebijakan pemerintah dengan dilandasi penelitian-penelitian keilmuan. Opini masyarakat pun akhirnya bisa digiring oleh pers mahasiswa ke dalam ruang kritis yang akademis dalam menanggapi kebijakan-kebijakan pemerintah.

*) artikel ini dimuat di rubrik Suara Mahasiswa, Koran Seputar Indonesia 26 September 2009

KPK, Korupsi, dan Kemajuan Ekonomi

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Seputar Indonesia, 29 September 2009

Dalam disiplin ilmu ekonomi, institusi memegang peran penting dalam mencapai kemajuan ekonomi. Berbagai studi menunjukkan, perbedaan institusi ekonomi akan menyebabkan perbedaan pada kemajuan ekonomi. Karena itu, institusi perlu didesain sedemikian rupa agar dapat mendukung kemajuan ekonomi.

Di Indonesia, institusi masih menghambat kemajuan ekonomi. Perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang terjadi di sejumlah lembaga pemerintahan menandakan betapa buruknya institusi kita. Padahal, hasil penelitian menunjukkan bahwa korupsi di beberapa negara memperlambat pertumbuhan ekonomi (Mauro, 1995). Dampak korupsi dapat dilihat pada enggannya para investor untuk menanamkan dananya, sebab khawatir terkena biaya yang tinggi (Ekonomi Biaya Tinggi).

Salah satu indikator yang digunakan investor adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dipublikasikan tiap tahun oleh Transparency International. Responden dari survei ini adalah para pebisnis dari hampir seluruh dunia. Bila IPK makin baik, investor makin tertarik untuk menanamkan modalnya. Sebaliknya, bila IPK makin buruk, investor makin tidak tertarik untuk berusaha di negara tersebut. Patut disyukuri, IPK Indonesia makin baik, di mana mengalami peningkatan dari 2,3 pada 2007 menjadi 2,6 pada 2008. Diharapkan, 2009 dapat mencapai angka 3.

Diakui, peningkatan IPK ini tidak terlepas dari peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi di Indonesia. Selama ini, KPK dianggap sebagai lembaga yang paling berhasil dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dibanding dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Sejumlah petinggi negara dan daerah sudah berhasil ditahan KPK, mulai dari bupati, gubernur, menteri, anggota DPR, dan pejabat tinggi lainnya. Tentu saja, salah satu manfaat yang akan diperoleh dari massifnya pemberantasan korupsi ini adalah kemajuan ekonomi yang tercermin pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Namun kita patut kecewa dengan adanya kasus yang menimpa para pimpinan KPK. Dua pimpinan KPK, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, diduga terlibat kasus penyuapan. Sebelumnya, pimpinan KPK lainnya yakni Antazari Azhar sudah mendekam di tahanan karena diduga terlibat kasus pembunuhan. Praktis, pimpinan KPK yang bisa bertugas hanya dua orang. Tentu saja, publik dikejutkan dengan kasus ini, sebab KPK yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat dalam memberantas korupsi, akhirnya berpotensi mandek karena sejumlah pimpinannya bermasalah.

Ancaman akan turunnya aksi pemberantasan korupsi di Indonesia ini memang patut diantisipasi. Pelemahan fungsi KPK menjadi pintu masuk terjadinya kondisi tersebut. Karena itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar KPK tetap menjadi lembaga yang kuat dalam memberantas korupsi. Pertama, masalah kepemimpinan di tubuh KPK harus diselesaikan. Kepolisian, sebagai pihak yang mengusut kasus ini, perlu kiranya bersikap profesional. Selama ini, tuduhan-tuduhan Polri terhadap dua pimpinan KPK tidak dapat dibuktikan. Padahal, status mereka sudah menjadi tersangka. Seyogianya, Polri harus menunjukkan bukti yang kuat sebelum menetapkan status pimpinan KPK ini. Kalau memang tidak terbukti, maka Polri harus mencabut status tersebut. Kedua, pemberantasan korupsi harus tetap berjalan meski sebagian pimpinan KPK terjerat kasus hukum. Pemberantasan korupsi dapat berjalan karena masih ada pimpinan KPK lainnya yang bisa menjalankan tugas, berupa pengambilan keputusan tertinggi. Ketiga, kiranya tidak dilakukan perubahan dalam kewenangan KPK. Fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada KPK tetap harus dipertahankan. Bila kewenangan ini dicabut, tentu akan melemahkan peran KPK dalam memberantas korupsi. Keempat, dukungan masyarakat sangat dibutuhkan, terutama kalangan mahasiswa, untuk tetap menjaga agar tugas-tugas KPK dalam memberantas korupsi dapat terus berjalan, serta kewenangan KPK tetap dipertahankan. Tentu saja, usaha ini diharapkan dapat meminimalisir tindakan korupsi, sehingga dapat mendorong kemajuan dalam perekonomian bangsa Indonesia. []

Memasarkan Kegiatan

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Suara Merdeka, 19 September 2009
Setiap bulan Ramadhan tiba, segenap umat Islam menyambutnya dengan gembira. Salah satu sebabnya, bulan ramadhan dapat dimanfaatkan untuk meng-upgrade dan meningkatkan derajat keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Selain berbagai aktivitas yang menjadi ciri khas bulan ramadhan, seperti ibadah puasa, tarawih, dan lain-lain, bulan ini diramaikan pula dengan beragam kegiatan yang bernuansa keIslaman, seperti diskusi, pengajian, dan lain-lain. Secara umum, kegiatan ini memperoleh sambutan positif dari masyarakat.
Mahasiswa merup
akan bagian dari masyarakat yang juga lekat dengan kegiatan-kegiatan yang bernuansa keIslaman pada bulan Ramadhan. Beberapa kegiatan yang kerap dilakukan adalah diskusi, pengajian, bedah buku, buka puasa yang diiringi dengan ceramah agama, dan lain-lain. Memang, sebagian besar kegiatan ini dilaksanakan di kampus, meski kadang-kadang dilaksanakan di luar kampus, seperti bakti sosial. Tentu saja, diharapkan kegiatan ini dapat melibatkan mahasiswa muslim dalam kuantitas yang cukup banyak, sehingga manfaat dari kegiatan ini dapat menyebar luas di kalangan mahasiswa.

Namun harapan tersebut tampaknya masih sulit diwujudkan. Berdasarkan pengamatan di kampus penulis, berbagai kegiatan bulan Ramadhan hanya diikuti oleh segelintir orang yang notabene juga aktif di organisasi dakwah kampus. Sementara itu, mahasiswa yang kadar keIslamannya masih kurang, justru tidak berminat mengikuti kegiatan tersebut. Menurut penulis, segmen ini mesti digarap oleh pelaksana kegiatan Ramadhan di kampus.

Bila yang mengikuti kegiatan Ramadhan di kampus masih segelintir orang saja, serta belum menjangkau mahasiswa yang juga kader keIslamannya kurang, bisa jadi bukan karena acaranya yang buruk, tapi karena strategi memasarkan kegiatan yang masih perlu diperbaiki. Selama ini, kegiatan-kegiatan di bulan ramadhan dipublikasikan lewat poster atau spanduk. Tentu metode ini tetap perlu dilakukan, sebagai sarana untuk menginformasikan kegiatan tersebut. Hanya saja, strategi itu masih kurang daya dorongnya untuk menarik minat mahasiswa. Strategi yang cukup bagus adalah penyampaian informasi secara langsung dan persuasif. Memang strategi ini menuntut keterlibatan yang lebih aktif dari pelaksana kegiatan, namun hasilnya kemungkinan besar dapat tercapai.

Memang tidak ada jaminan bahwa ketika mahasiswa mengikuti kegiatan Ramadhan di kampus, keimanan dan ketaqwaannya akan meningkat. Akan tetapi, bila mahasiswa mengikuti kegiatan tersebut, minimal sudah ada batu loncatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tentu saja, kontiniutas dari kegiatan-kegiatan tersebut, di luar bulan Ramadhan, juga penting dengan konsep acara yang berbeda, sehingga bisa memfasilitasi mahasiswa untuk senantiasa meng-uprade dan memperbaiki kualitas keimanan dan ketaqwaan. []

Membela Kepentingan Rakyat

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Seputar Indonesia, 18 September 2009

Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah perlu diawasi. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar pemerintah dapat menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan wewenang yang diamanahkan kepada mereka. Ketika pemerintah mengabaikan wewenang tersebut, serta tidak melaksanakan tugas-tugasnya secara optimal, maka pemerintah perlu “diingatkan” oleh pihak yang telah memilihnya.

Dalam disiplin ilmu ekonomi, dikenal istilah principal agent problem. Istilah ini merujuk pada suatu kondisi dimana agent bertindak tidak sesuai dengan harapan principal. Sebelum agent dipilih oleh principal untuk melaksanakan tugas tertentu, terlebih dahulu dibuat kesepakatan bahwa agent akan bertindak sesuai dengan keinginan principal. Kasus ini kerap terjadi di lingkungan bisnis, dimana pemilik perusahaan memberikan kewenangan kepada orang lain untuk mengoperasikan perusahaan, dengan tujuan untuk memaksimumkan manfaat yang diterima pemilik perusahaaan. Untuk meminimalisir penyimpangan tersebut, pemilik perusahaan harus mengawasi manajer.

Namun principal agent problem bukan hanya terjadi dalam lingkup bisnis, tapi juga dalam bidang politik. Pemerintah, terutama eksekutif dapat disebut agent, sementara rakyat dapat disebut principal. Rakyat memilih pemerintah agar mereka dapat bertindak sesuai dengan keinginan mereka. Di sisi lain, terlebih dahulu para calon pemimpin berjanji untuk membela kepentingan rakyat ketika mereka sudah terpilih nantinya. Namun, kerap kali janji-janji tersebut tidak dipenuhi, bahkan kerap kali bertindak untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Karena itu, untuk meminimalisir penyimpangan yang dilakukan pemerintah, rakyat juga harus mengawasi jalannya pemerintahan. Namun sebagian besar rakyat Indonesia masih minim dalam pendidikan politik, sehingga acuh tak acuh terhadap pengawasan pemerintah. Rakyat lebih mementingkan urusan ekonomi ketimbang urusan politik. Wajar bila hal ini terjadi, karena hampir setengah dari rakyat Indonesia masih berkubang dalam jurang kemiskinan.

Di sinilah mahasiswa harus berperan. Mereka harus menjadi wakil rakyat dalam mengawasi pemerintah. Mahasiswa perlu mengawasi pemerintah dalam menjalankan program-programnya serta bersikap kritis pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Namun sikap kritis yang ditunjukkan tidak sekedar asal menolak apa saja yang datang dari pemerintah, tapi dengan mempertimbangkan secara akal sehat. Bagaimanapun, tujuan dari sebuah kebijakan adalah membawa kemaslahatan bagi rakyat banyak. Bila manfaat dari sebuah kebijakan hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, maka pemerintah telah menyimpang dari amanah yang diberikan. Mementingkan kepentingan kelompok tertentu menandakan bahwa pemerintah tidak berpihak pada rakyat. Nah, bila keadaan ini terjadi, mahasiswa harus berperan aktif untuk mendobrak penyimpangangan-penyimpangan tersebut. Namun, di sisi lain, mahasiswa tetap harus menyadari tugasnya sebagai seorang akademisi yang belajar di perguruan tinggi. Mereka tidak boleh lupa tugas-tugasnya sebagai seorang mahasiswa. Bila tugas tersebut terbengkalai, justru ini menandakan bahwa mahasiswa tidak akan mampu secara konsisten membela kepentingan rakyat. Sebab, bagaimana mungkin seseorang bisa secara konsisten memperjuangkan kepentingan orang lain, sementara dirinya sendiri tidak terurus dengan baik. Karena itu, mahasiswa yang aktif bergulat dengan wacana dan gerakan yang terkait dengan pengawasan pemerintah mesti menyeimbangkan secara proporsional antara kepentingan kuliah dengan kepentingan untuk membela kepentingan rakyat, terutama rakyat kecil.[]

Mengisi Pos Kabinet

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Seputar Indonesia, 3 September 2009

Dukungan suara sekitar 60 persen kepada pasangan SBY-Boediono merupakan modal utama pemerintahan baru dalam menyusun dan melaksanakan berbagai program kerja selama 5 tahun ke depan. Dalam pelaksanaan program tersebut, para menteri memegang peran penting karena keberadaan mereka ditujukan untuk membantu presiden dalam merealisasikan janji-janji saat kampanye.

Bila menteri gagal menjalankan tugasnya, program kerja tidak akan berjalan optimal sehingga kecil kemungkinan target pemerintahan dapat tercapai. Di sisi lain, bila menteri sukses dalam menjalankan perannya, tentu peluang untuk mencapai target pemerintahan makin besar. Karena itu, para calon menteri yang akan mengisi pos kabinet haruslah orang tepat yang ditempatkan pada posisi yang tepat pula. Di sisi lain, meskipun seseorang ahli pada bidang tertentu, tapi tidak ditempatkan sesuai dengan kebutuhan pos kabinet yang akan diisi, besar kemungkinan yang akan diperoleh adalah kegagalan. Kasus pemilihan menteri pada periode sebelumnya menandakan masih adanya orang yang ditempatkan pada bidang tertentu yang bukan keahliannya. Akibatnya, tidak lama setelah pemerintahan baru berjalan, muncul reshuffle kabinet. Perubahan posisi kabinet ini tentu berpotensi memunculkan ketidakstabilan, bisa pada bidang ekonomi atau politik. Sebab, besar kemungkinan terjadi perubahan kebijakan sebagai akibat dari adanya pergantian menteri.

Karena itu, pertimbangan matang harus dikedepankan sebelum presiden menentukan orang-orang yang akan membantunya. Selain pertimbangan kalkulasi politik, tentu yang lebih utama adalah kompetensi. Hanya saja, realitas menunjukkan bahwa pertimbangan kalkulasi politik kelihatannya lebih dominan. Hal ini terlihat pada manuver politik SBY yang berniat menggandeng hampir seluruh partai pemenang pemilu legislatif, termasuk PDI-P dan Golkar. Kita tahu, Golkar dan PDI-P berpeluang menjadi partai oposisi. Hanya saja, SBY menginginkan agar kedua partai besar ini masuk dalam pemerintahan. Salah satu tawarannya adalah kursi kabinet.

Selain itu, tentu saja partai-partai pendukung pasangan SBY-Boediono diberikan kursi di kabinet. Boleh dibilang, kursi kabinet ini merupakan kompensasi atas dukungan dalam pemenangan pemilihan presiden, serta sebagai pengikat dukungan dalam menjalankan pemerintahan selama 5 tahun ke depan. Dukungan ini tampak di parlemen, di mana wakil-wakil dari partai pemerintah dan pendukungnya memberikan dukungan kepada keputusan-keputusan eksekutif yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tidak bisa dimungkiri, transaksi politik demikian kerap terjadi dalam dinamika pemerintahan kita. Hanya saja, perlu diterapkan strategi khusus agar pengisian pos kabinet tetap mengedepankan kompetensi, bukan pertimbangan kalkulasi politik. Diakui, kader-kader partai pun banyak yang berkualitas. Tidak selamanya kader partai yang menjadi menteri gagal menjalankan tugasnya. Karena itu, pemilihan menteri dari kader partai yang benar-benar kompeten di bidang yang dibutuhkan, merupakan salah satu solusi. Di sini, partai pendukung pemerintah juga harus tahu diri. Kader-kader yang direkomendasikan haruslah merupakan orang yang ahli di bidang yang dibutuhkan, bukan karena pertimbangan tingkat kedudukan di partai tersebut. Sebab, belum tentu petinggi partai memiliki keahlian sesuai dengan yang dibutuhkan di pos kementerian[]

Sabtu, 22 Agustus 2009

Membentengi Remaja dari Teroris

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Dimuat di Kompas Yogyakarta, Jumat, 21 Agustus 2009

Indonesia kembali terguncang dengan aksi bom bunuh diri yang diduga dilakukan oleh jaringan Noordin M Top. Uniknya, salah satu pelaku aksi teror tersebut masih berusia remaja. Kondisi ini menyiratkan, perkaderan dalam organisasi terorisme makin menunjukkan taringnya. Ini tak boleh dibiarkan sebab bila organisasi terorisme tersebut merekrut banyak kader muda, peluang munculnya aksi bom bunuh diri akan tinggi pula. Implikasinya, kita makin terancam oleh serangan teroris. Karena itu, kita harus memutus rantai perkaderan yang dibangun jaringan teroris dengan menjauhkan generasi muda dari pengaruh mereka.

Generasi muda atau remaja merupakan sasaran empuk bagi perkaderan organisasi terorisme. Wajar saja, sebab masa remaja merupakan masa di mana ide/paham baru bisa dengan mudah ditanam dalam pikiran mereka. Masa remaja juga ditandai dengan kepribadian yang masih labil. Mereka belum mempunyai prinsip diri yang cukup dan pegangan dalam membentengi diri dari ide/paham yang tidak benar. Dengan demikian, indoktrinasi berjalan sangat lancar, ditambah lagi dengan kemampuan para teroris dalam mendoktrin atau memprovokasi calon kader.

Pilihan terhadap calon kader juga tidak sembarangan. Remaja harus punya semangat tinggi dalam beragama. Indikator lain yang tidak terlalu penting tapi tetap berpengaruh adalah keadaan ekonomi remaja (keluarga). Remaja yang hidup dalam keadaan ekonomi yang layak, terlebih lagi bila sudah memiliki pekerjaan tetap, tidak rentan terhadap aktivitas-aktivitas yang cenderung tidak produktif tersebut. Sementara bagi yang hidup pas-pasan, terlebih lagi bila hidupnya tidak layak, derajat kerentanannya tinggi. Karekteristik orang yang terakhir mudah direkrut karena mereka tidak terlalu peduli dengan harta benda, serta cenderung bersikap pasrah terhadap kekuatan yang berasal dari luar.

Secara riil, keahlian merekrut remaja untuk melakukan aksi bom bunuh diri sudah terbukti. Dani Permana, remaja berusia 18 tahun, berani melakukan bom bunuh diri di Hotel JW Marriott. Ide/paham yang ditanamkan oleh para teroris ini berlandaskan pada salah satu agama, sehingga tak heran bila memunculkan semangat yang luar biasa tingginya. Hasilnya, setiap orang yang melakukan aksi bom bunuh diri beranggapan, aksi tersebut bukanlah kejahatan yang pantas memperoleh ganjaran negatif, melainkan pembelaan terhadap kebenaran yang pantas memperoleh ganjaran positif.

Dengan latar belakang demikian, jelaslah bahwa terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan mudahnya perekrutan remaja dalam kelompok teroris. Karena itu, bolehlah dikatakan bahwa mencegah keterlibatan remaja dalam aksi teror bukanlah pekerjaan yang mudah, tapi bukan pula pekerjaan yang mustahil diselesaikan. Syaratnya, segenap pihak harus menjalankan perannya masing-masing dalam menjauhkan remaja-remaja kita dari organisasi terorisme. Pemerintah, keluarga, dan lingkungan masyarakat merupakan aktor yang bisa mengambil andil dalam pencegahan ini. Masing-masing punya peran yang harus berjalan sebagaimana mestinya. Bila tidak demikian, hasilnya pun tidak akan optimal.

Keluarga (orang tua) berperan dalam memberikan pendidikan agama yang benar kepada anak-anaknya. Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak-anak untuk menuntut ilmu. Selain itu, dari bayi sampai remaja, sebagian besar waktu dihabiskan di rumah, sehingga kondisi keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak. Karena itu, selain memberikan pendidikan agama yang benar, juga diperlukan terciptanya kondisi yang memungkinkan anak-anak memiliki kepribadian positif, seperti penuh kasih sayang, hormat pada orang lain, dan lain-lain. Kepribadian ini akan membentengi anak-anak terhadap pengaruh ide/paham yang dapat memunculkan aktivitas-aktivitas yang merugikan orang lain.

Pemerintah, selain “mengobati” aksi terorisme, juga berperan dalam mencegah terjadinya aksi teror. Bila ditilik salah satu latar belakang masalah di atas, jelaslah bahwa pemerintah berperan dalam meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi masyarakat, termasuk para remaja. Aktivitas ekonomi harus ditingkatkan agar mampu menyerap tenaga kerja yang menganggur, termasuk di dalamnya adalah para remaja yang belum memiliki pekerjaan layak. Berdasarkan data dari Kementerian Pemuda dan Olah Raga pada 2008, masih ada sekitar 19,5 persen dari total seluruh jumlah penduduk yang memiliki status pengangguran.

Lingkungan masyarakat juga berperan dalam mencegah terlibatnya remaja dalam aksi teror. Pengawasan keluarga terhadap anak-anaknya terbatas bila anaknya berada di luar rumah. Karena itu, dibutuhkan pengawasan dari lingkungan masyarakat terhadap perilaku remaja yang menampakkan ciri khas yang mencurigakan.

Bila ketiga aktor ini menjalankan perannya masing-masing, peluang terjeratnya remaja dalam kelompok teroris dapat diminimalisir. []

Kamis, 20 Agustus 2009

Memaknai Kemerdekaan

Oleh Randi Kurniawan

Benarkah kita sudah merdeka? Pertanyaan ini bisa jadi merupakan pertanyaan bodoh, tapi bisa pula menjadi pertanyaan cerdas. Dianggap bodoh karena jawaban dari pertanyaan tersebut sudah pasti bisa dijawab, bahkan oleh anak SD sekalipun. Namun bisa pula menjadi pertanyaan cerdas, sebab makna kemerdekaan yang dimaksud bisa jadi memiliki ukuran yang berbeda dibanding yang dipahami secara umum, sehingga pantas dipertanyakan.

Berangkat dari hal tersebut, penulis menggunakan pertanyaan di atas pada konteks yang kedua. Namun penulis tidak berpretensi bahwa siapapun orang yang bertanya demikian bisa dipastikan cerdas. Pertanyaan tersebut diniatkan untuk menjadi pertanyaan cerdas, bukan pertanyaan bodoh. Penulis yakin bahwa di satu sisi kita sudah merdeka, tapi di sisi lain, ternyata kita belum merdeka. Apa sisi-sisi itu?

Bung Karno, seperti dikutip HS Dillon, mengatakan bahwa kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia pada 1945 merupakan kemerdekaan di bidang politik. Artinya, kedaulatan Indonesia sebagai negara, memperoleh pengakuan baik secara de jure maupun de facto. Kemerdekaan tersebut merupakan berkah dari Allah SWT, sekaligus merupakan hasil perjuangan segenap rakyat Indonesia yang harus dibayar dengan harta, pikiran, tenaga, waktu, bahkan nyawa. Tentu kita patut mengingat jasa-jasa rakyat Indonesia yang telah berkorban demi meraih kemerdekaan.

Namun kemerdekaan itu, lagi-lagi dimaknai sebatas kemerdekaan politik. Bangsa Indonesia sudah tidak dijajah lagi oleh Belanda ataupun Jepang. Bangsa ini tidak perlu berjuang di medang perang karena memang sudah tidak ada peperangan militer lagi. Kini bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, yakni suatu bangsa yang bebas menentukan nasibnya sendiri. Namun apakah kemerdekaan itu cukup?

Cukup atau tidaknya capaian dari kemerdekaan tersebut sangat tergantung pada ukuran atau indikator apa yang kita gunakan dalam mengukur makna kemerdekaan. Dalam perspektif penulis, indikator kemerdekaan yang sesungguhnya, terlalu sempit bila hanya dimaknai sebagai kemerdekaan politik, melainkan kemerdekaan di berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial dan budaya, dan lain-lain.

Dalam bidang ekonomi, kita masih berkubang di dalam sarang kemiskinan. Berdasarkan data BPS, pada Februari 2009, anak bangsa yang berada di bawah garis kemiskinan, yakni yang pengeluaran konsumsinya di bawah Rp 10.000 per hari masih berjumlah 32,5 juta jiwa. Bayangkan bila kita hidup dengan uang Rp 10.000, apakah kita bisa hidup dengan layak? Jawabnya, kemungkinan besar tidak. Kalau manusia belum bisa hidup layak, penulis anggap belum masuk dalam kategori merdeka. Mereka masih dijajah oleh penderitaan ekonomi. Tragis.
Di bidang sosial dan budaya, kita juga masih tercengkeram oleh dominasi budaya barat. Pemikiran-pemikiran dari barat mendominasi cara berpikir kita, bahkan ada anak bangsa yang cara berpikirnya lebih barat dibanding orang barat. Budaya-budaya barat kita anggap lebih unggul dibanding budaya lokal, sehingga kita cenderung menanggalkan identitas diri kita yang sesungguhnya. Uniknya, tercerabutnya kita dari identitas yang sesungguhnya, bukannya membawa kemajuan, tapi justru membawa keterbelakangan. Benarkah? Sebagian orang tidak setuju, terutama bagi kalangan yang terlalu melebih-lebihkan budaya barat. Orang seperti ini juga kerap kali menggunakan indikator-indikator kemajuan yang kita capai setelah mengabdi pada budaya barat, tanpa melihat ekses negatif dari pilihan tersebut. Namun apakah ini pilihan yang menarik? Tentu saja tidak, sebab pilihan tersebut telah mengantarkan kita pada suatu kondisi yang hampir sama dengan masa penjajahan sebelum tahun 1945. Mau tidak mau, kita harus memaknai kemerdekaan sebagai suatu pilihan untuk terbebas dari segala macam penindasan dan penjajahan, baik fisik maupun non fisik. Bila kita masih dijajah, tentu kita masih berada dalam keterbelakangan. Karena itu, tantangan ke depan adalah terbebas dari penjajahan non fisik tersebut. [Disampaikan pada Diskusi Rutin HMI Komisariat Ekonomi, Rabu, 19/8/2009]

Selasa, 18 Agustus 2009

Kinerja Dewan Mengecewakan

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Dimuat di Harian Jogja, 18 Agustus 2009

Elite politik yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPRD tampaknya makin tidak peduli dengan rakyat. Wajar saja bila pernyataan demikian muncul, sebab siapapun pastinya kecewa melihat kinerja dewan yang masih jauh dari harapan, terutama pada periode 2004-2009 ini. Akibatnya, pelayanan anggota dewan pada rakyat juga belum optimal.

Pada 31 Agusutus nanti, anggota DPR/DPRPD periode 2004-2009 akan mengakhiri masa tugasnya. Selama 5 tahun, mereka menjalankan amanah dari rakyat. Tapi, sudahkah mereka menjalankan tugasnya dengan optimal? Sudahkah mereka merealisasikan janji-janji kampanyenya? Penulis tidak berpretensi menjawab pertanyaan tersebut. Akan tetapi, penulis menganggap bahwa harapan rakyat kepada anggota dewan tampaknya belum tercapai.

Kita tahu, salah satu tugas elite politik yang duduk di parlemen, baik di tingkat pusat sampai daerah tingkat dua adalah menyusun dan menetapkan UU (tingkat pusat) atau perda (tingkat daerah). Adapun fungsi dari aturan tersebut adalah mengatur kehidupan masyarakat, baik aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Tentunya, sebagai manusia yang hidup berkelompok, keberadaan aturan main (peraturan formal) sangat dibutuhkan. Karena itu, rakyat menyerahkan kepada wakil-wakilnya di parlemen (termasuk juga eksekutif) untuk menyusun dan menetapkan peraturan formal tersebut. Rakyat memberikan amanah tersebut selama 5 tahun dengan harapan agar kedamaian dan kesejahteraan rakyat dapat tercapai.

Dalam implementasinya, tidaklah mudah menjalankan amanah ini. Peraturan Daerah (perda) yang dibuat anggota DPRD kerap kali tumpang tindih dengan aturan pemerintah pusat, sehingga pelaksanaannya kurang efektif. Selain itu, jumlah peraturan daerah yang berhasil dibuat lebih kecil dibanding yang diharapkan. Lebih parah lagi, sering kali muncul aturan yang tidak berpihak pada rakyat. Masalah-masalah ini menimbulkan dampak negatif pada rakyat, di samping karena rakyat makin acuh tak acuh terhadap anggota dewan, juga karena rakyat tidak mendapatkan aturan formal yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Sebetulnya, kinerja yang buruk bukan hanya terjadi di tingkat daerah, tapi juga di tingkat pusat. Data menunjukkan, dari target RUU sebanyak 282 yang akan dibahas pada periode ini, ternyata hanya bisa dicapai sebanyak 197 per 20 Juni 2009. Lebih miris lagi, sebagian besar RUU yang berhasil disahkan menjadi UU, ternyata terkait dengan otonomi daerah. Sementara UU yang berkenaan dengan penciptaan pemerintahan yang baik ataupun pemberantasan korupsi, menempati urutan paling bawah. Masalah yang menimpa anggota dewan ternyata lebih buruk lagi bila kita menilai perilaku korupsi yang masih saja merajalela selama periode 2004-2009 ini. Nah, kondisi anggota dewan inilah yang berpotensi menjadikan rakyat makin apatis dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, kita tidak perlu heran bila makin meningkat angka golongan putih setiap kali pemilu dilaksanakan.

Apapun yang terjadi di masa lalu, tentu tidak bisa dikembalikan lagi saat ini. Pada dasarnya, rakyat ingin agar anggota dewan bertanggung jawab atas kinerjanya yang buruk. Sayangnya, tidak ada mekanisme formal untuk hal tersebut, kecuali melalui pemilihan umum yang berlangsung 5 tahun sekali. Baru saja, rakyat sudah menentukan pilihannya. Semoga saja momentum tersebut dijadikan rakyat sebagai penghakiman terhadap elite politik yang selama ini berkinerja buruk. Kini, harapan ada pada anggota dewan baru agar menghasilkan kinerja optimal. Karena itu, ke depan, segenap rakyat, LSM dan mahasiswa harus mengawasi kinerja anggota dewan. Adanya kontrak politik sebetulnya dapat menjadi pengikat demi terbangunnya mekanisme kontrol dari rakyat kepada anggota dewan. Hanya saja, tidak banyak anggota dewan yang sudah dilantik berani menandatangi kontrak politik. Alasannya, kontrak yang serupa dengan itu sudah dilakukan saat pelantikan. Namun penulis menganggap tidak masalah bila anggota dewan menandatangi kontrak politik, yang sebagian isinya membahas tentang komitmen untuk melaksanakan semua janji-janji kampanye, serta bersedia mundur bila tidak mampu memenuhi janji-janji tersebut. Kini, rakyat membutuhkan anggota dewan yang berkarakter demikian. []

Senin, 17 Agustus 2009

Meminimalisasi Potensi Terorisme

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Dimuat di Seputar Indonesia, Sabtu, 15 Agustus 2009

Indonesia tergolong negara yang sering menjadi sasaran aksi terorisme. Dapat dilihat, sudah beberapa kali terjadi aksi terorisme yang menewaskan puluhan atau bahkan ratusan nyawa. Sampai saat ini, sasaran teroris yang terakhir kali adalah Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott. Besar kemungkinan akan ada aksi-aksi berikutnya di masa yang akan datang. Uniknya, pihak yang melancarkan aksi teror ini tidak pernah secara eksplisit menyatakan motif di balik aksi mereka. Hal inilah yang menjadikan pekerjaan pemerintah relatif lebih sulit, sebab untuk menekan potensi terorisme, mau tak mau langkah pertama adalah menemukan alasan di balik aksi tersebut.

Kita tahu, setiap aksi terorisme disertai oleh alasan yang kuat, sebab aksi ini disertai dengan pengorbanan materi dan nyawa. Jadi, mustahil bila aksi ini hanya iseng-iseng dari kelompok tertentu. Menurut analisis penulis, terdapat dua alasan utama yang mendasari munculnya aksi terorisme. Pertama, dorongan ideologi. Hal ini berwujud pada kebencian terhadap pihak yang menindas kelompok mereka, serta pihak-pihak yang menghalangi usaha mereka untuk mencapai tujuan. Begitu penting arti ideologi dalam kehidupan mereka, sehingga nyawapun rela dikorbankan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Parahnya, gerakan ini bukan hanya berskala nasional, tapi sudah berskala internasional. Misalnya, kebencian Usama Bin Laden, yang mengaku mewakili umat Islam, terhadap Amerika Serikat (AS) mendorongnya untuk mengumandangkan perang bagi apapun dan siapapun yang berbau AS. Perang ini dilancarkan ke seluruh dunia melalui jaringan-jaringan yang tersebar di sejumlah negara.

Sejumlah pihak berpendapat Noordin M Top cs yang melakukan aksinya di Indonesia, merupakan jaringan dari Usama Bin Laden. Dengan kata lain, bila Noordin M Top melakukan aksinya di Indonesia, bisa diprediksi bahwa yang menjadi sasaran adalah apapun dan siapapun yang berbau AS, sebab aksi ini dilandasi oleh kebencian terhadap AS. Kasus pengeboman di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott dapat menguatkan argument tersebut. Bila demikian halnya, maka tugas pemerintah adalah memperketat keamanan, terutama yang menyangkut sasaran aksi terorisme ini.

Selain dorongan ideologi, aksi terorisme dapat pula terjadi karena alasan ekonomi. Tekanan ekonomi yang dialami oleh teroris, terutama bagi orang yang melakukan bom bunuh diri, bisa menjadi latar belakang dipilihnya jalan untuk mengakhiri hidup. Kita tahu, modus operandi dari aksi-aksi terorisme adalah bom bunuh diri. Orang-orang yang melakukan aksi bom bunuh diri, terlebih dahulu didoktrin dengan ajaran-ajaran yang membenarkan aksi tersebut. Peranan orang yang melakukan bom bunuh diri ini sangatlah penting, sebab merekalah yang berkorban paling besar. Bila jaringan ini tidak bisa merekrut orang-orang yang bersedia melakukan aksi tersebut, niscaya eksistensinya akan lenyap. Namun, alasan ekonomi ini tidak selalu berbentuk tekanan yang dialami oleh pelaku, terutama yang melakukan bunuh diri, melainkan dapat pula berupa kesedihan terhadap masihnya banyak orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ini dianggap sebagai kegagalan pemerintah, yang menganut sistem ekonomi, yang tampaknya tidak membuat rakyat sejahtera. Latar belakang tersebut merupakan salah satu alasan gerakan teroris berbalik melawan pihak-pihak yang menyebabkan ketertindasan rakyat.

Diakui, kita tidak bisa meredam potensi yang pertama, tapi kita tetap bisa meredam potensi yang kedua. Caranya adalah dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Ini memang menjadi tugas berat pemerintah, untuk mengangkat 32,5 juta rakyat Indonesia yag hidup di bawah garis kemiskinan menuju kehidupan yang layak. Namun tetap diakui, terorisme belum tentu selesai bila urusan ekonomi sudah terpenuhi, tapi paling tidak salah satu potensinya nsudah diminimalkan. []

Rabu, 12 Agustus 2009

Anggaran Penanggulangan Kemiskinan

Oleh Randi Kurniawan
Kabid Kajian dan Riset

Dimuat di Sindo, Rabu, 5 Agustus 2009

Pada senin (3/8), Presiden SBY menyampaikan pidato kenegaraan di gedung MPR/DPR mengenai RAPBN 2010. Dalam pidato tersebut, SBY menjadikan pemeliharaan kesejahteraan rakyat, serta pelaksanaan sistem perlindungan sosial sebagai salah satu prioritas pembangunan dan anggaran. Pada tahun 2010, anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dialokasikan sebesar Rp 36,1 triliun.

Kita tahu, instrumen utama pemerintah dalam mempengaruhi aspek kehidupan berbangsa dan bernegara adalah APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Namun aspek kehidupan yang dipengaruhi bukan hanya ekonomi, tapi juga aspek-aspek lain, seperti politik, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, dan lain-lain. Karena itu, APBN harus dicermati agar instrumen ini bisa bermanfaat bagi rakyat.

Salah satu tujuan APBN adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, sebagaimana tujuan bangsa yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yakni menciptakan kesejahteraan umum. Tujuan ini dapat dicapai dengan pengalokasian anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tinggi rendahnya anggaran yang dialokasikan pemerintah akan menjadi indikator keseriusan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah adalah melalui program-program seperti PNPM Mandiri, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Namun bukan berarti program-program tersebut telah berhasil menanggulangi kemiskinan secara optimal. Berdasarkan data BPS, angka kemiskinan per Maret 2008 sebesar 34,98 juta jiwa. Berselang satu tahun kemudian yakni pada Maret 2009, pemerintah berhasil menekan angka kemiskinan menjadi 32,53 juta jiwa. Ini berarti, hanya sebanyak 2,43 juta penduduk miskin yang berhasil terbebas dari kategori miskin. Dengan demikian, masalah kemiskinan masih merupakan pekerjaan berat bagi pemerintah, sehingga wajar bila dijadikan sebagai prioritas pembangunan dan anggaran oleh pemerintah.

Penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat diakui bukan pekerjaan mudah. Namun ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah agar kebijakan ini bisa berhasil secara optimal. Pertama, pemerintah perlu melakukan kebijakan fiskal ekspansif, terutama melalui pembangunan infrastruktur. Dalam jangka pendek, pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Sementara itu, dalam jangka panjang, tersedianya infrastruktur secara memadai dapat memperlancar arus barang dan modal manusia sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi. Konsekuensinya, keterbatasan dana bukan lagi masalah bila pemerintah ingin menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas anggaran.

Kedua, penyerapan anggaran pemerintah, terutama di tingkat pemerintah daerah (pemda) harus optimal. Kita tahu, salah satu tugas utama pemda adalah menyediakan fasilitas pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, serta menanggulangi kemiskinan melalui program-program yang sesuai dengan karakteristik kemiskinan di daerah masing-masing. Karena karakteristik kemiskinan yang berbeda setiap daerah, maka program-program penanggulangannya pun harus berbeda-beda, tidak boleh disamakan. Karena itu, pemda punya peran penting untuk menanggulangi kemiskinan di daerahnya masing-masing dengan menggunakan anggaran yang terdapat di APBD. Hanya saja, masalah yang kerap dihadapi pemda adalah penyerapan anggaran belum mencapai optimal. Pada 2008, tercatat sekitar Rp 50 triliun anggaran dari seluruh pemda yang tidak diserap. Padahal, anggaran tersebut mestinya diserap untuk menyediakan fasilitas-fasilitas publik di daerah, dan menanggulangi kemiskinan bagi daerah-daerah yang memiliki penduduk miskin relatif banyak.

Nah, bila langkah-langkah ini dilakukan, penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat akan berjalan optimal, meski tetap diperlukan kerja keras untuk merealisasikannya. []

Pembangunan Masyarakat untuk Kesejahteraan

Oleh Iqbal Kautsar
Staf Pers dan Pustaka

Dimuat di SINDO, Selasa, 11 Agustus 2009

KESEJAHTERAAN rakyat merupakan tujuan utama bagi suatu pemerintah untuk merancang dan melaksanakan program-program kerjanya.Kesejahteraan rakyat akan bisa dicapai jikalau program-program yang ada menitikberatkan keberpihakannya kepada rakyat.

Tentu upaya untuk mencapai itu perlu dimulai dari hal-hal yang dasar. Menurut penulis, pembangunan manusianya haruslah menjadi titik tolak dasar untuk program-program yang diarahkan pada pencapaian kesejahteraan rakyat ini. Berkaca pada realitas Indonesia,kualitas manusia Indonesia masihlah berada dalam kategori menengah bawah.

Bagaimana mungkin akan mampu berupaya mencapai kesejahteraan jika kualitas masyarakatnya saja rendah? Dari data Human Development Index (HDI) 2006 yang dikeluarkan pada akhir 2008, Indonesia berada di peringkat 107 dari 179 negara di dunia.Dibandingkan negara-negara ASEAN, Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand,dan Filipina.

Menarik dicermati jika mengaitkan Nota Keuangan RAPBN 2010 yang disampaikan Presiden SBY awal Agustus lalu dengan upaya peningkatan pembangunan manusia Indonesia. Program-program pembangunan manusia Indonesia tercakup dalam dua poin utama, yaitu bidang pendidikan dan kesehatan.Kedua bidang inilah yang perlu diprioritaskan dalam upayanya menciptakan kesejahteraan rakyat.

Pada Nota Keuangan RAPBN 2010, anggaran pendidikan ditawarkan sekitar Rp200 triliun, artinya telah mencapai 20% yang sejalan dengan amanat konstitusi. Akan tetapi, dengan dana sebesar itu, apakah ada jaminan pendidikan kita akan meningkat? Pengalaman pada 2009 ini, dengan anggaran pendidikan 20%, ternyata pendidikan kita belum menunjukkan peningkatan berarti dibandingkan sebelumnya.

Pendidikan gratis yang didengung-dengungkan pemerintah ternyata malah menimbulkan polemik dalam masyarakat. Masyarakat pun menjadi tidak semangat dan antusias dalam menanggapi program-program pemerintah ini. Dalam hal kesehatan,upaya peningkatan nya juga mendapat perhatian dari pemerintah seiring meningkatnya anggaran kesehatan di RAPBN 2010.

Departemen kesehatan mendapatkan alokasi Rp20,8 triliun yang akan difokuskan untuk peningkatan kualitas dan perluasan pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat. Namun, anggaran sebesar itu masihlah terlampau kecil untuk menjadikan lebih dari 220 juta rakyat Indonesia sehat secara ideal.Menurut WHO, idealnya anggaran kesehatan minimal mencapai 5% dari PDB suatu negara.

Untuk Indonesia,anggaran kesehatannya masih jauh dari ideal,hanya sebesar kurang dari 1% PDB. Dengan kondisi anggaran yang terbatas ini, tentu kita tidak akan mampu menciptakan manusia Indonesia yang berkualitas.Pembangunan manusia Indonesia pada akhirnya akan terhambat oleh keterbatasan anggaran kesehatan.

Padahal,kita tahu bersama bahwa biaya menciptakan kesehatan yang ideal tidaklah murah. Akhirnya, menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakatnya. Upaya penciptaan kesejahteraan tidak akan terlepas pada komitmennya dalam membangun manusia secara ideal dan berkualitas.

Pemerintah perlu menyadari hal ini bahwa terlalu banyak berorientasi ekonomi bukanlah suatu hal yang relevan dalam peningkatan kesejahteraan.Maka, mulailah dari pembangunan manusianya untuk mencapai kesejahteraan rakyat![]

Sabtu, 08 Agustus 2009

Lomba Penulisan Esai tentang Jepang

Suka dan tertarik dengan segala hal yang berbau Jepang? The Japan Foundation mengundang para mahasiswa yang menyukai pengetahuan umum tentang Negeri Sakura tersebut untuk mengikuti lomba penulisan esai.
Bertema “Jepang di Mata Orang Indonesia”, kegiatan ini diperuntukkan bagi mahasiswa warga negara Indonesia yang berusia berusia antara 18 dan 23 tahun. Peserta harus mengirimkan karya esainya berbentuk print-out dan soft copy dengan format CD.
Namun, bukan hanya uang yang akan menjadi penyemangat mengikuti lomba. Panitia juga akan memilih lima karya terbaik untuk dikumpulkan dan diterbitkan dalam sebuah buku. Buku terbitan The Japan Foundation ini kemudian akan dibagikan ke berbagai perpustakaan dan taman bacaan di seluruh Indonesia.
Bagi yang tertarik, karya tulis harus dikirimkan ke The Japan Foundation di Gedung Summitmas I Lantai 3 di Jalan Jenderal Sudirman Kavling 61-62, Jakarta kode pos 12190 atas nama Dipo Siahaan. Karya diterima paling lambat pada 5 Oktober 2009. Pemenang akan diumumkan pada 6 November 2009 di Aula The Japan Foundation, Jakarta.
Informasi lebih lanjut bisa menghubungi Dipo melalui email dipo@jpf.or.id atau telepon di 021-5201266.

Lomba Resensi Buku

Panitia lomba menulis resensi buku "Jurnalisme Masa Kini" karya Nurudin, Rajawali Pers, Jakarta, 2009 mengundang masyarakat umum untuk mengikuti lomba:
Syarat-syarat:
1.Terbuka untuk umum.
2.Naskah yang dilombakan harus pernah dimuat di media cetak Indonesia antara bulan Juli-September 2009.
3.Akan dipilih 3 pemenang oleh dewan Juri.
4.Keputusan dewan Juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat menyurat berkaitan dengan lomba.
5.Pengumuman pemenang akan diumumkan sekitar bulan Oktober-Nopember 2009.
Pemenang akan mendapatkan:
1.a. Juara I mendapatkan honorarium Rp. 300.000,-
b. Juara II mendapat honorarium Rp. 200.000,-
c. Juara III mendapat honorarium Rp. 100.000,-
2.Juara juga akan mendapatkan piagam penghargaan.
3.Hak cipta tulisan resensi ada pada penulis masing-masing.
4.Hadiah akan dikirim ke alamat pemenang.
Kirimkan karya Anda ke:
Panitia Penulisan Resensi Buku:
Jalan Ulil Abshar no. 47, Mulyoagung, Dau, Malang 65151
Dengan melampirkan:
1.Bukti naskah resensi asli yang sudah dimuat di media cetak.
2.Menyertakan alamat lengkap, nomor telepon, e-mail dan nomor rekening.

Minggu, 02 Agustus 2009

Lomba Karya Ilmiah Bank Indonesia

Latar Belakang
Sistem keuangan memiliki peran yang sangat strategis dalam perekonomian, yakni melakukan fungsi intermediasi, transmisi kebijakan moneter, penyedia instrumen keuangan, pengelolaan aset (wealth management), sumber pembiayaan sektor riil, serta sistem pembayaran dan setelmen (Hadad, 2009). Sistem keuangan yang terdiri atas unsur-unsur pasar, instrumen, pelaku, peraturan dan regulasi, serta kontrol dan pengawasan dalam menjalankan fungsinya, memerlukan landasan hukum yang efektif, peraturan yang memadai, dan secara politis independen agar memiliki kredibilitas, reputasi dan dapat dipercaya (Arani,2009).
Terjadinya krisis keuangan di berbagai belahan dunia terutama sejak tahun 1990 menelan biaya yang sangat besar baik secara sosial maupun politik. Hal ini mengakibatkan muncul fungsi baru yang menjadi perhatian utama bank sentral mengenai pentingnya menjaga stabilitas sistem keuangan. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa stabilitas sistem keuangan dan perekonomian memiliki korelasi yang positif. Selain itu, dalam menghadapi krisis keuangan bank sentral memiliki peran strategis untuk memitigasi terjadinya instabilitas sistem keuangan. Melalui instrumen dan kebijakan yang dimiliki, bank sentral dapat segera mengurangi tekanan likuiditas sehingga mempercepat pemulihan kepercayaan masyarakat, dan menetapkan kebijakan yang tepat atas dasar hasil monitoring dan suveillance terhadap sistem keuangan. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, pada tahun 2003 Bank Indonesia menetapkan misi berupa “mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang berkesinambungan”.
Pengalaman krisis membuktikan bahwa semakin kompleks dan terintegrasinya sistem keuangan mengandung konsekuensi semakin meningkatnya risiko di sistem keuangan yang bersifat sistemik. Kegagalan sistem keuangan pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan perekonomian. Dengan demikian, merupakan tantangan bagi Bank Indonesia dalam pencapaian misinya dimaksud. Sehubungan dengan hal itu, dengan tujuan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat khususnya akademisi dan masyarakat umum untuk berperan aktif dalam pengembangan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia menyelenggarakan lomba karya ilmiah dengan tema “Stabilitas Sistem Keuangan dan Tantangan Peran Bank Indonesia ke Depan”. Adapun peserta dapat memilih sub tema yang terkait dengan :
1. Stabilitas Sistem Keuangan dan Struktur Sistem Keuangan
2. Stabilitas Sistem Keuangan dan Pengembangan Sistem Deteksi Dini
3. Stabilitas Sistem Keuangan dan Sistem Pengawasan
Ketentuan Lomba
1. Peserta terbuka untuk masyarakat umum, baik perorangan maupun kelompok. Perlombaan ini tertutup bagi karyawan Bank Indonesia dan pihak yang terafiliasi dengan Bank Indonesia.
2. Naskah asli, bukan saduran/terjemahan, dan merupakan hasil pemikiran penulis sendiri atau kelompok yang belum pernah dipublikasikan di media massa.
3. Judul bebas sepanjang mengacu pada tema.
4. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
5. Tulisan paper harus mengikuti petunjuk penulisan yang disyaratkan panitia.
6. Peserta lomba diwajibkan mengisi formulir registrasi dan pernyataan keaslian karya ilmiah, sebagaimana terlampir.
7. Karya ilmiah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Diharuskan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.
8. Karya ilmiah dikirimkan dalam bentuk softcopy (file pdf dan MS word) dan dalam bentuk hardcopy sebanyak 1 (satu) eksemplar, beserta CV, formulir registrasi dan pernyataan keaslian karya ilmiah (terlampir) dalam 1 amplop tertutup dan dipojok kiri atas ditulis Lomba Karya Ilmiah SSK 2009.
9. Tata cara penyampaian karya ilmiah tersebut di atas adalah sebagai berikut :
- Dalam bentuk softcopy (file pdf dan word) paling lambat 14 September 2009 dapat dikirimkan ke alamat email: dpnp.bssk@gmail.com.
- Dalam bentuk hardcopy melalui pos paling lambat tanggal 14 September 2009 (cap pos) atau di antar langsung paling lambat tanggal 14 September 2009 pukul 16.00, ke alamat :
Panitia Lomba Karya Ilmiah SSK 2009
BIRO STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia
Gedung A, Lt. 9, JI. M.H. Thamrin No.2
Jakarta Pusat, 10350
10. Beberapa hasil riset terkait topik Stabilitas Sistem Keuangan dapat dilihat di:
http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Perbankan+Stabilitas+Keuangan
http://w4.stern.nyu.edu/news/news.cfm?doc_id=101000
http://www.cepr.org/pubs/new-dps/dplist.asp?dpno=6984.asp
11. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi lkissk09@bi.go.id
Petunjuk Penulisan
1. Tulisan adalah orisinil dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya baik pada publikasi internal maupun eksternal.
2. Tulisan dibatasi maksimum 25 halaman, spasi 1, font Times New Roman ukuran 12.
3. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation.
4. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi ditulis dalam Bahasa Inggris dan sebaliknya.
5. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal of Economic Literature (JEL). Klasifikasi JEL dapat dilihat pada : http://www.aeaweb.org/journal/jel_class_system.html
6. Penulisan paper mengikuti garis besar sistematika sebagai berikut:
I. Latar Belakang
II. Landasan Teori (Literature Review)
III. Metodologi dan Data
IV.Hasil Analisa
V. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Penambahan judul bab maupun sub bab atas sistematika tersebut di atas dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
I. Bab
I.1. Sub Bab
I.1.1. Sub Sub Bab
7. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote.
Contoh:
…Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2004 diperkirakan sebesar 4,2-4,7 persen (Bank Indonesia, 2004).
…Dalam model ekonometrinya, Cox dan Japelli (1993, hal.201) menggunakan variabel boneka-laten yang hanya dapat terobservasi jika permintaan kredit konsumsi adalah positif dan rumah tangga tidak memiliki kendala kredit.
8. Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut:
a. Publikasi buku: John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch. 1940. Business Forecasting. New Jersey: Prentice Hall. hal. 330-332.
b. Artikel dalam jurnal: Duca, John V. dan Stuart S. Rosenthal. 1992. Borrowing Constraints, Household Debt, and Racial Discrimination in Loan Markets. Journal of Financial Intermediation, hal. 3, 77-103.
c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K. 1995. “Empirical Research on Nominal Exchange Rates”, dalam Gene Grossman dan Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, hal. 1689-1729.
d. Kertas kerja (working papers): Kremer, Michael dan Daniel Chen. 2000. Income Distribution Dynamics with Endogenous Fertility. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper No. 7530.
e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Magri, S. 2002. Italian households’ debt: determinants of demand and supply. Mimeo. Rome: Bank of Italy.
f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Alan W. Heston. 1997. Penn World Table, Version 5.6. http://pwt.econ.unpenn.edu/
g. Artikel di Koran, majalah, dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. April 12, 1993. “Killed by Kindness.” Newsweek, hal. 50-56.
Penentuan Pemenang dan Penghargaan
1. Dewan Juri adalah wakil dari akademisi.
2. Kriteria penjurian antara lain kesesuaian riset yang dilakukan dengan topik yang dipilih, metodologi riset yang digunakan, sistematika penulisan, penguasaan masalah dan rekomendasi kebijakan.
3. Bank Indonesia akan mengundang maksimum 8 (delapan) finalis untuk melakukan presentasi kepada dewan juri.
4. Bank Indonesia akan menanggung biaya transportasi dan akomodasi di wilayah Indonesia bagi finalis yang terpilih (maksimal 2 orang peserta bagi peserta kelompok).
5. Keputusan akhir pemenang setelah finalis mempresentasikan karyanya.
6. Keputusan Dewan Juri bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat.
7. Pemenang akan diumumkan melalui website BI, dan pemenang juga akan dihubungi melalui e-mail, surat atau telepon.
8. Hak cipta karya ilmiah yang telah dikirimkan tetap menjadi hak cipta penulis, namun Bank Indonesia berhak menyimpan salinan karya ilmiah sebagai arsip.
9. Hak cipta karya ilmiah pemenang tetap menjadi hak cipta penulis, namun Bank Indonesia berhak mempublikasikannya.
Hadiah
Bank Indonesia menyediakan total hadiah senilai Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)* bagi para penulis karya ilmiah terbaik berikut trofi dan sertifikat dengan rincian sebagai berikut :
- Pemenang I Rp. 40.000.000,-
- Pemenang II Rp. 25.000.000,-
- Pemenang III Rp. 15.000.000,-
- 2 ( dua) Pemenang Nominasi Utama @ Rp. 10.000.000,-
* Pajak Hadiah ditanggung pemenang

Kompetisi Esai Mahasiswa

Ajang Kompetisi Esai Mahasiswa 2009 dengan tema “Menjadi Indonesia” yang digelar oleh Tempo Institute dalam rangka memperingati delapan windu Indonesia merdeka diperpanjang tenggat waktunya yaitu sampai dengan 30 September 2009 (Cap Pos). Berikut ini adalah informasi lebih lengkap mengenai Kompetisi Esai Mahasiswa 2009:

Kompetisi Esai Mahasiswa 2009

Nasionalisme hanyalah kata-kata kosong sampai kita mengisinya dengan gagasan, sikap kritis, pengalaman, dan harapan.

Kompetisi Esai untuk Mahasiswa 2009 “Menjadi Indonesia” digelar TEMPO INSTITUTE dalam rangka memperingati delapan windu Indonesia merdeka.

TEMA: “Nasionalisme di Mata Saya”

Pastikan memulai esaimu dengan menggambarkan kondisi lokal. Berikut ini contoh sudut pandang yang bisa dipilih:

1. BUDAYA
Budaya adalah keseluruhan sistem sosial masyarakat. Bagaimana membangun Indonesia yang punya kebanggaan, keteguhan, tidak rendah diri, malu korupsi?

2. EKONOMI
2009 adalah tahun ekonomi kreatif. Bagaimana menjadikan ekonomi kreatif sebagai bagian dari mendefinisikan kembali nasionalisme secara mutakhir?

3. KEPEMIMPINAN
Nilai-nilai kepemimpinan, terutama melayani masyarakat, dewasa ini tidak mendapat tempat yang baik. Apa yang mestinya dilakukan kaum muda yang nota bene adalah pemimpin masa depan?

4. SOSIAL
Indonesia adalah negara yang bhinneka. Namun, belakangan ini kebanggaan pada keragaman perlahan terkikis. Apa yang bisa kamu lakukan untuk menumbuhkan kembali kebanggaan akan keragaman?

PESERTA:
Mahasiswa program D3, S1.

DEWAN JURI:
Terdiri dari akademisi, budayawan, aktivis sosial dari berbagai kalangan.

MENTOR:
Peserta dipersilakan berdiskusi, konsultasi, dengan mentor yang disediakan panitia.

PERSYARATAN:

* Panjang esai 5—10 halaman kuarto, spasi ganda.
* Belum pernah dipublikasikan.
* Dikirimkan kepada panitia melalui surat elektronik ke:
menjadi-indonesia@mail.tempo.co.id
* Dikirimkan via pos ke alamat sekretariat “Menjadi Indonesia”, Jalan Proklamasi 72, Jakarta 10320.

KRITERIA PENILAIAN

* Mengemukakan gagasan kreatif yang memberi kontribusi bagi masyarakat.
* Orisinalitas gagasan mendapat porsi penilaian lebih dibanding keindahan tata bahasa.

TENGGAT DIPERPANJANG SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009 (CAP POS)

HADIAH:
Pemenang I: Laptop dan uang tunai Rp 6.000.000
Pemenang II: Laptop dan uang tunai Rp 4.000.000
Pemenang III: Laptop dan uang tunai Rp 2.000.000

Pengumuman pemenang: 10 Oktober 2009. Dua puluh peserta terbaik akan mendapat kesempatan mengikuti “Kemah Menulis” di Jakarta, Oktober 2009.

KONTAK:
Ikhwanul Huda (Iwan)
021-3916160 ext. 220
HP. 021-98371997

INFO LENGKAP: http://www.tempoinstitute.org

Kabinet SBY-Boediono

Oleh Randi Kurniawan
(Sekretaris Umum HMI Ekonomi UGM)

Dimuat di Seputar Indonesia, 28 Juli 2009
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil perhitungan suara pemilihan presiden 2009. Hasilnya, SBY-Boediono menempati urutan pertama dengan perolehan suara 60,8 persen, sementara Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto menempati urutan kedua dan ketiga dengan perolehan suara masing-masing 26,79 persen dan 12,41 persen. Dengan hasil ini, SBY memenangkan pilpres dengan satu putaran saja. Kemenangan ini membuktikan legitimasi yang sangat besar dari rakyat untuk SBY-Boediono. Ini merupakan modal yang besar bagi SBY dalam memimpin bangsa ini 5 tahun ke depan.

Setelah terpilih, tugas presiden adalah menentukan orang-orang yang menduduki kursi kabinet. Dalam politik, penentuan menteri ini sangat penting sebab mereka lah yang nantinya menerjemahkan janji-janji presiden dalam bentuk program-program konkret. Dengan kata lain, keberhasilan SBY dalam memimpin bangsa ini selama 5 tahun ke depan sangat tergantung pada keberhasilan menteri-menterinya menerjemahkan visi dan misi yang disampaikan saat kampanye. Karena itu, wajar bila pemilihan menteri ditentukan sepenuhnya oleh presiden, di mana dapat dipilih orang yang tepat sesuai dengan kriteria yang diinginkan.

Namun, ternyata pembentukan kabinet tidak bisa tidak harus dikompromikan dengan partai-partai yang mengusungnya menjadi presiden. Kita tahu, SBY-Boediono didukung sejumlah partai politik yang lolos ke parlemen. Koalisi ini ditujukan untuk memenangkan pasangan SBY-Boediono, serta mendukung pemerintahan/eksekutif di parlemen sampai 2014 nanti. Bila pasangan ini menang, wajar bila kader-kader partai pendukung dimasukkan dalam kabinet, sebagai salah satu strategi presiden untuk tetap mengikat dukungan partai koalisi pemerintahan. Dukungan ini ditujukan untuk memudahkan disetujui kebijakan-kebijakan pemerintah yang sering kali dihadang parlemen karena pertimbangan politik praktis. Bila pendukung pemerintah di parlemen lebih besar dibanding yang tidak mendukung, dipastikan lebih mudah bagi pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak.

Namun kelemahannya, menteri yang berasal dari partai politik biasanya tidak menjalankan tugasnya secara optimal, karena dihadang berbagai kepentingan, terutama bila mereka menempati posisi yang memunculkan banyak vested interest, misalnya di bidang ekonomi. Posisi tersebut, seperti menteri keuangan, perindustrian, pertanian, perdagangan, serta meneg BUMN. Selain itu, posisi seperti menteri pertahanan juga seyogianya tidak diisi oleh partai politik, melainkan dari kalangan profesional yang kompeten di bidang tersebut. Kalau toh ada dari kalangan partai yang mumpuni pula, sebaiknya juga tetap diserahkan pada kalangan non-partai, sebab kepentingan politik praktis tidak boleh dimasukkan dalam pengambilan kebijakan di kementrian tersebut. Ini dimaksudkan untuk menghindari pencitraan politik dari golongan tertentu dengan pengambilan kebijakan-kebijakan yang populis, tapi mengabaikan rasionalitas kebijakan.

Karena itu, untuk urusan-urusan yang memunculkan vested interest yang besar, seyogianya diserahkan pada kalangan profesional yang kompeten, berintegritas, serta memiliki loyalitas. Kalangan profesional yang dipilih mestinya pula merupakan orang-orang yang punya pengetahuan politik, serta memiliki kemampuan negosiasi dan membentuk jaringan di parlemen. Sebab, kalangan profesional yang memiliki hubungan baik dengan anggota dewan, serta diakui keahliannya oleh publik, bisa mereduksi pertentangan antara kepentingan politik praktis dengan kepentingan kementrian itu sendiri dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan publik, bukan kepentingan golongan politik tertentu. []