Minggu, 25 Oktober 2009

Kabinet Ekonomi Pro Sektor Riil

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Dimuat di Seputar Indonesia, Kamis 22 Oktober 2009
Pasca presiden dan wakil presiden dilantik untuk masa jabatan 2009-2014, kini publik menunggu tokoh-tokoh yang akan diangkat menjadi menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II. Berdasarkan rencana, presiden akan mengumumkan kabinetnya pada Rabu pekan ini.

Salah satu yang menjadi sorotan dalam pembentukan kabinet kali ini adalah pos kementerian bidang perekonomian. Hal ini wajar, sebab tantangan pemerintahan ke depan adalah peningkatan aktivitas ekonomi, agar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Masalah ekonomi yang masih menjanggal dan menyentuh hajat hidup rakyat adalah kemiskinan dan pengangguran. Secara teoritis, pemerintah harus menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan agar persoalan kemiskinan dan pengangguran dapat teratasi.

Sejauh ini, prediksi kuat nama-nama calon menteri bidang ekonomi telah muncul baik dari kalangan lama maupun yang baru. Dari kalangan lama, terdapat Sri Mulyani dan Mari Elka Pangestu. Sementara itu, ada juga wajah-wajah baru, seperti Hatta Radjasa, MS Hidayat, Darwin Saleh, Mustafa Abubakar, dan Armida Alisjahbana. Para pengamat merespon positif dengan pengangkatan tokoh-tokoh tersebut, meski tetap ada kritikan mengenai kuatnya akomodasi kepentingan politik di tim ekonomi.

Sebagaimana diketahui, salah satu tugas tim ekonomi adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, sehingga dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Memang diakui, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif lebih tinggi dibanding negara-negara lain yang terkena dampak krisis ekonomi global, kecuali India dan China. Pemerintah memprediksikan pertumbuhan bisa mencapai 4,5 persen pada 2009 ini. Pada 2009, pemerintah optimis dapat mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen, sebagaimana janji presiden SBY dalam kampanye politiknya.

Bila pengangguran dan kemiskinan ingin berkurang secara signifikan, tugas tim ekonomi tidak hanya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, tapi juga pertumbuhan yang berkualitas. Pertumbuhan ini dapat dicapai bila pemerintah dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang menyerap tenaga kerja paling banyak, terutama sektor industri.

Masalahnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak didorong oleh sektor jasa yang kurang signifikan dalam penyerapan tenaga kerja. Misalnya saja, sektor keuangan tumbuh 11,7 pada 2007, menjadi 12,7 persen pada 2008. Sementara itu, sektor industri justru menurun dari 20,7 persen pada 2007 menjadi 16,5 persen pada 2008. Padahal, sektor industri menyerap tenaga kerja yang lebih banyak dibanding sektor keuangan. Pada 2008, sektor keuangan hanya menyerap 1,42 persen, sementara sektor industri menyerap 12,24 persen dari total penduduk yang bekerja.

Karena itu, tim ekonomi harus berfokus untuk meningkatkan aktivitas ekonomi pada sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, agar pengangguran dan kemiskinan dapat diatasi. Pemerintah tidak boleh terlena dengan kemajuan-kemajuan di sektor keuangan. Kita tahu, kemajuan sektor keuangan jauh meninggalkan sektor riil saat ini. Jasa keuangan, terutama perbankan meningkat pesat kapitalisasinya. Sementara itu, lembaga-lembaga keuangan, seperti asuransi, pasar modal, dan lain-lain juga menunjukkan peningkatan. Namun kemajuan di sektor finansial tersebut tidak serta merta berdampak pula pada kemajuan sektor riil. Karena itu, tugas berat tim ekonomi ke depan adalah mendorong terjadinya transmisi dari sektor finansial ke sektor riil. Bila sektor riil meningkat, nantinya penyerapan tenaga kerja juga akan meningkat, yang akhirnya berimplikasi pada peningkatakan kesejahteraan rakyat.

Senin, 19 Oktober 2009

Model Kabinet SBY-Boediono

Oleh Randi Kurniawan

Seputar Indonesia, Kamis 14 Oktober 2009
Tanggal 20 Oktober mendatang, Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof Boediono akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden RI periode 2009-2014. Tentu patut kita ucapkan selamat atas keberhasilan mereka mencapai jabatan pemerintahan paling penting di negeri ini. Namun tugas dan tantangan berat menanti, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Karena itu, dibutuhkan kecerdasan, kebijaksanaan, dan keberanian untuk menghadapi dan menyelesaikan segenap persoalan tersebut.

Tugas pertama presiden dan wapres terpilih adalah membentuk kabinet. Peran anggota kabinet tentunya sangat strategis, sebab janji-janji presiden dan wakil presiden akan direalisasikan oleh mereka. Meski pembentukan kabinet merupakan hak prerogatif presiden, namun keterwakilan kepentingan-kepentingan lain, terutama dari partai anggota koalisi, juga harus dipertimbangkan. Memang, idealnya orang-orang yang mengisi pos kabinet haruslah memiliki keahlian di bidang yang dibutuhkan dan tidak memiliki kepentingan politik tertentu. Tentu, kriteria demikian sulit ditemukan pada orang-orang yang berasal dari partai politik. Namun Presiden SBY tetap harus mengakomodasi kepentingan tersebut, di samping memilih orang-orang yang benar-benar tepat mengisi pos kabinet. Karena itu, penentuan komposisi kabinet yang tepat merupakan tantangan awal bagi presiden dan wapres terpilih.

Menurut penulis, lima tahun ke depan, pemerintahan SBY-Boediono menghadapi tantangan berat. Pemulihan ekonomi dari terpaan krisis merupakan pekerjaan yang tidak mudah dilaksanakan. Belum lagi dengan masalah kemiskinan dan pengangguran yang belum bisa diselesaikan. Kehadiran Prof Boediono selaku ahli ekonomi yang mumpuni tentu akan meningkatkan rasa optimis mengenai kemampuan pemerintah menyelesaikan masalah-masalah ekonomi yang menyangkut hajat hidup rakyat. Tapi, apakah pemerintah berhasil atau tidak, hanya waktu yang akan menentukan.

Diakui, pembentukan tim ekonomi akan menjadi sorotan masyarakat, dunia usaha, dan pasar finansial. Hal ini wajar sebab tantangan berat ke depan adalah masalah ekonomi. Karena itu, orang-orang yang mengisi tim ekonomi haruslah dari kalangan profesional. Ada sejumlah pos kabinet yang termasuk di dalamnya, yakni Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri BUMN, Kepala Bappenas. Di luar tim ekonomi, ada sejumlah pos kabinet yang juga perlu diisi oleh kalangan profesional, seperti Menteri Hukum dan HAM, Menko Polhukam, Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri. Adapun pos-pos di luar yang disebutkan di atas, dapat diserahkan pada kader partai yang juga ahli di bidangnya.

Karena itu, model kabinet SBY-Boediono nantinya adalah model yang tetap mengakomodasi kepentingan partai, tapi pos kabinet strategis diserahkan kepada para profesional. Sementara itu, pos kabinet yang kurang strategis dapat diserahkan kepada kader partai yang juga ahli di bidangnya. Mengapa harus dibedakan? Dari awal, kita tahu betapa jatah menteri di kabinet yang berasal dari partai politik hanya merupakan upaya balas budi. Dukungan partai politik untuk pemenangan di pilpres serta dukungan di parlemen harus dibayar partai berkuasa dengan menempatkan kader partai pendukung di kabinet. Dengan demikian, sangat jelas bahwa penempatan mereka di kabinet adalah untuk mengakomodasi kepentingan partai di kabinet. Karena itu, biayanya terlalu mahal bila pos kementerian yang strategis diserahkan pada anggota kabinet dari kader partai.[]

Minggu, 11 Oktober 2009

Perbaikan pada Pengawasan

Oleh Randi Kurniawan

Harian Jogja, 6 Oktober 2009

Pemerintahan SBY telah memenuhi janjinya untuk meningkatkan gaji guru. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru sebagai tenaga pendidik. Bila kualitas guru meningkat, maka anak didik pun berpeluang besar meningkat kualitasnya. Salah satu insentif yang dapat mendorong guru meningkatkan kualitasnya adalah kenaikan gaji. Hal ini wajar, sebab bila guru sejahtera maka mereka akan fokus melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Karena itu, diharapkan dari adanya kebijakan ini, kualitas pendidikan nasional menjadi lebih baik.

Namun sebelum memperoleh kenaikan gaji, guru harus melalui proses sertifikasi. Masalahnya, tidak mudah memperoleh sertifikat sebagai guru profesional karena harus memenuhi persyaratan tertentu. Hal ini menjadi salah satu penyebab munculnya pelanggaran selama proses sertifikasi berlangsung, dimana muncul keinginan untuk memperoleh sertifikat tanpa harus bersusah payah. Pemalsuan dokumen sertifikasi merupakan modus yang kerap kali terjadi. Kondisi ini berpotensi mengacaukan tujuan dari adanya sertifikasi guru. Dengan kata lain, tidak ada peningkatan pada kualitas guru, sehingga kualitas murid pun tidak meningkat, dan pada akhirnya kualitas pendidikan nasional tidak meningkat pula. Kita tidak mengharapkan kondisi ini terjadi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008 tentang Guru, terdapat 10 syarat yang harus dipenuhi guru sebelum memperoleh sertifikat, yakni: kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Seperti yang dituliskan di atas, syarat-syarat yang ditentukan pemerintah kepada guru yang akan memperoleh sertifikat, memang tidaklah mudah. Namun hal ini wajar bila dibandingkan dengan kompensasi yang diterima guru. Pasal 14 ayat (1) UU Guru menyatakan bahwa setiap guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Dijelaskan pada pasal berikutnya bahwa penghasilan di atas kebutuhan minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.

Tentu saja tidak adil bila ada guru yang memperoleh sertifikat, tapi tidak melalui prosedur yang ditentukan. Karena itu, perlu dianalisis penyebab dari timbulnya pelanggaran tersebut, lalu menemukan solusinya. Menurut penulis, penyebab utama munculnya pelanggaran adalah lemahnya pengawasan pemerintah pusat. Memang pemerintah telah mengagendakan untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan sertifikasi ini. Tentu saja, tujuan utamanya adalah untuk mengetahui apakah pelaksanaan sertifikasi sudah sesuai prosedur standar yang telah ditetapkan ataukah malah menyimpang. Selain itu, ingin diketahui pula mengenai sejauh mana instansi menjalankan peran masing-masing. Terakhir, ingin diketahui dampak sertifikasi terhadap guru, kinerja sekolah dan hasil belajar siswa. Karena itu, bila masih terjadi pelanggaran dari proses ini, itu berarti bahwa pengawasan sertifikasi belum berjalan optimal. Pemerintah pusat perlu lebih proaktif dalam melakukan pengawasan agar maksud dari sertifikasi dapat tercapai. []

Jumat, 02 Oktober 2009

Dari Muhammad Sampai Pasar, dari UGM Sampai Portal

Oleh Lizamul Widad (Kabid Perkaderan dan PTK)

Subuh dua hari yang lalu menjadi subuh yang unik bagi Dalijo, saudaraku. Niat hendak pulang ke komisariat sehabis perjalanan jauh terhalang oleh peristiwa unik nan pantas untuk dibicarakan lebih lanjut. Rencana memotong jalan melalui D3 ekonomi-Masjid Kampus-Pertanian UGM sebelum mencapai komisariat dihalangi oleh keramaian di portal selatan jalan itu.

Sebenarnya keputusan melalui jalan itu memang logis karena portal-portal UGM dibuka sekitar pukul 04:30 pagi. Namun, tak dinyana, dengan melewati jalan tersebut, Dalijo justru terhambat oleh portal yang belum terbuka dan sedikit keramaian di sekitarnya. Ia menengok jam untuk memastikan keputusannya adalah benar. Karena merasa ada keganjilan yang terjadi ia pun ingin memastikan apa yang terjadi. Hasilnya, rasa miris, ingin tertawa, ungkapan setengah marah, keinginan misuhi UGM dan segala kecerdikan yang dilakukannya.

Sesampainya di Komisariat, dia bercerita pada Fanani yang selanjutnya akan diceritakan kepada saya. Inti cerita dari fenomena di portal selatan dekat D3 ekonomi tersebut adalah kerja keras SKK UGM untuk membuka portal. Mereka menemukan portal yang dikunci oleh “pemilik lain” dengan rantai sebesar ibu jari tangan dan gemboknya segenggaman tangan. Melihat gelagat “pemilik lain” yang belum bangun dari tidurnya, linggis pun jadi alat SKK untuk membuka portal itu. Menurut mereka langkah itu akan cukup efektif walau harus menghabiskan banyak waktu dan keringat. Tapi yakinlah mereka merasa sangat santai karena di sekelilingnya ditemani, ditonton, dilihat, dan mugkin juga didoakan oleh masyarakat sekitar yang rela keluar rumah untuk menjadi bagian dari fenomena tersebut.

***

Dari Muhammad SAW untuk Abu Bakar As-Syiddiq


Sebelum membahas lebih lanjut fenomena di atas, mari kita ingat sedikit risalah yang menceritakan tentang Khalifatul Ula, Abu Bakar As-Syiddiq. Setelah beberapa lama sang khalifah melakukan semua pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah semasa hidupnya, ia pergi ke hadapan Siti Aisyah. Belau bertanya, “Apakah masih ada segala amalan Rasulullah yang belum dilaksanakan olehnya?”, Siti Aisyah menjawab,”Engkau sudah mengamalkan semua yang dilakukan oleh Rasulullah wahai Abu Bakar. Kecuali satu hal yaitu menyuapi seorang pengemis tua dan buta di sebuah pasar.”

Maka segera berangkatlah Abu Bakar ke tempat itu sambil sepotong roti yang nantinya akan disuapkan kepada pengemis tersebut. Sesampainya di sana, Abu Bakar sangat terkejut ketika ia mendapati keadaan sang pengemis. Pengemis itu memiliki perangai yang jelek. Suka menggunjing, menuduh, mengatakan yang tidak sebenarnya kepada setiap orang yang jalan di dekatnya. Lebih parah lagi karena semua hal yang di gunjingkan berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW. Ia bilang Muhammad penipu, pembohong, istrinya banyak dan ada dimana-mana. Padahal ia tidak mengetahuinya. Termasuk perihal telah berpulangnya rasulullah.

Kemudian tibalah saatnya Abu Bakar yang dipanggil oleh pengemis tersebut. Ia berkata, “Hai fulan, kemarilah. Kuberi tahu bahwa Muhammad itu pembohong, istrinya banyak,…..” Satu hal yang ada di benak Abu Bakar adalah bagaimana bisa rasulullah menyuapi makanan orang yang selalu menfitnahnya. Tidak hanya itu, rasulullah melakukannya setiap hari. Terdiamlah Khalifatullah ini. Di dalam kediaman itu pula ia memotong rotinya untuk disuapkan pada sang pengemis.

Respon si pengemis pun di luar dugaan. Ia meludahkan kembali makanan yang telah ada di mulutnya seraya berkata, “Siapa kamu? Kau bukan orang yang biasanya menyuapiku. Kemana orang yang setiap hari menyuapiku?” Abu Bakar menjawab, “Bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku bukan orang yang biasanya menyuapimu sedangkan engkau tidak dapat melihat?” Pengemis berkata, “Orang yang setiap hari menyuapiku dengan makanan tahu bahwa aku sudah tidak memiliki gigi yang kuat, ia mengunyahkan makananku hingga lembut sebelum memasukkan ke mulutku” Akhirnya Abu Bakar menjawab, “Orang yang setiap hari menyuapmu telah menginggal.”
Dengan hati berat pengemis pun bertanya siapakah nama orang itu dan dijawab oleh Abu Bakar namanya adalah Muhammad. Maka seketika itu pula sang pengemis langsung menyatakan beriman kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah sebelum akhirnya ia meninggal di pangkuan Abu Bakar As-Syiddiq.
***

UGM, Karang Malang, dan Kuningan


Keberadaan UGM dan berbagai perkampungan manusia di sekitarnya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sejarahnya, dinamika sosiologinya, proses penciptaan sistemnya bahkan sampai pada pola interaksinya. Kalau diandaikan sebagaimana idiom persuami-istrian miilik Emha Ainun Nadjib akan tampak kecocokan diantara keduanya. Seperti halnya persuami-istrian pada lelaki dan perempuan, alam diperistri oleh manusia selaku khalifah, dan pemerintah dipersuami oleh rakyatnya sebagai pelindung. Dalam kasus ini, UGM dan segala perangkatnya bertindak sebagai suami yang memiliki tanggung jawab penuh pada istri ar-rahmannya yaitu perkampungan disekitarnya. Tentu saja termasuk manusia-manusia yang tinggal di dalamnya. Maka dari itu, UGM selaku institusi pendidik memiliki tanggung jawab memahamkan, mengajarkan, mengarahkan, membenarkan mentransfer ilmu kepada mereka.

Dewasa ini, saya sangat yakin betul bahwa UGM sangat konsen terhadap isu-isu kesehatan, kelancaran kegiatan belajar-mengajar, keindahan tata letak, keamanan, kelestarian lingkungan dan ketatatertiban. Konsen itu salah satunya diwujudkan melalui pembuatan portal di beberapa titik di wilayah UGM. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah menjaga keamanan kampus, mengatur ketertiban dan mengelola kadar polusi yang cukup membeludak.

Namun kalau ujung-ujungnya adalah peristiwa penggembokan portal oleh orang yang tidak tahu juntrungannya seperti yang saya ceritakan di atas, apalah arti sebuah tata ketertiban, pengelolaan polusi, penjagaan keamaanan kampus. Langkah yang ditujukan untuk mengurangi permasalahan justru menimbulkan permasalahan baru.

Nampaknya UGM lupa pada pesan Muhammad SAW pada Abu Bakar. Pesan yang berskala luas juga berarti ditujukan pada umatnya. UGM juga lupa bagaimana Muhammad mengatasi pengemis yang setiap hari memakinya. Untuk itu mari ingatkan UGM bahwa Muhammad sebagai rasul yang membawa risalah menyampaikan risalahnya dengan menyentuhkan nilai-nilai risalah itu pada objeknya. Muhammad menyentuhkan nilai kasih sayang islam pada pengemis melalui suapan-suapan makanan setiap harinya. Muhammad menyentuhkan nilai toleransi islam pada pengemis dengan cara mendengarkan segala ocehannya. Muhammad tidak merubah nilai pada risalahnya. Muhammad tidak merubah islam agar bisa diterima oleh sang pengemis.

Mari dibuat praktis seperti pada kasus UGM di atas. Saya ibaratkan UGM dalam artian Rektor dan perangkatnya, Dekan dan Perangkatnya, serta SKK sebagai penyampai risalah. UGM dalam artian nilai-nilai yang dijunjung, dianut dan dilakukan sebagai sebuah risalah. Masyarakat Karangmalang, Kuningan, Sagan, Karanggayam dan Karangwuni sebagai objek penyampaian risalah. Kalau memang rektorat ingin sebuah lingkungan yang aman, nyaman, dan sehat, sampaikanlah risalah itu tanpa merubah inti risalah. Sampaikan rasa aman, nyaman, sehat dalam nilai UGM tanpa merubah nilai-nilai tersebut. Tidak perlu merubah UGM dari kampus terbuka menjadi kampus tertutup dengan menambahkan pembatas-pembatas didalamnya hanya untuk mendapatkan pemahaman nilai aman, nyaman, dan sehat dari masyarakat sekitarnya.

Saya sangat yakin usaha UGM menyampaikan nilai aman, nyaman dan sehat melalui pembuatan portal-portal tersebut akan gagal karena masyarakat disekitar UGM tidak tersentuh oleh nilai-nilai itu apalagi memahami, menerima, dan merasakan nilai tersebut. Saya tunjukkan buktinya bahwa masyarakat tersebut belum merasakan nilai-nilai di atas. Pertama, masyarakat itu tidak mengerti nikmatnya sehat karena daerahnya menjadi endemik DB dan setiap tahunnya pasti ada korban DB. Kedua, mereka tidak mengerti nikmatnya “nyaman” karena di daerahnya gersang. Tidak ada pohon pun yang merindangi lingkungan mereka. Artinya, mereka sudah lupa akan arti kesejukan. Terakhir, mereka lupa akan nilai aman karena di benak mereka hanya ada rasa was-was. Yang terlintas di pikiran mereka adalah “Kapan UGM akan melakukan relokasi lagi? Jangan-jangan giliran saya jadi korban.”

Pada akhirnya, kata-kata orang-orang bijaklah yang akan menutup. siapapun dia alangkah baiknya jika berfikir positif dalam melakukan sebuah penilaian. Untuk itu, dari sini, penilaian mengenai salah-benar kebijakan UGM saya serahkan kepada pembaca tulisan ini. Termasuk pada solusi apa yang bisa diusulkan untuk membenahi polemik antara warga dan UGM. Penulis yakin ranah-ranah tersebut adalah ranah produktif, ranah imaginatif, dan ranah kreasi pembaca. (Wallahu a’lam bis shawaf)

(Ditulis, 30 September 2009)

Kepekaan dan Skeptisme Mahasiswa untuk Kekuasaan

Oleh Iqbal Kautsar (Staf Pers dan Pustaka)

Tinta sejarah telah mencatat, jika perjalanan bangsa Indonesia berkoneksi kuat dengan kontribusi mahasiswanya. Mulai dari inisiasi pergerakan nasional BudTinta sejarah telah mencatat, jika perjalanan bangsa Indonesia berkoneksi kuat dengan kontribusi mahasiswanya. Mulai dari inisiasi pergerakan nasional Budi Utomo sampai gerakan revolusioner penjungkalan rezim otoriter Soeharto, adalah hasil karya besar mahasiswa Indonesia. Tentu, tak habis sampai di situ saja dedikasi mahasiswa membangun kejayaan negeri ini. Mahasiswa era sekarang pun tetap harus berposisi sebagai kontrol kekuasaan, sejalan roda zaman yang terus berputar .

Sekarang, iklim demokrasi kian merasuk ke sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem pemerintahan telah semakin tertata sesuai dengan konsep good governance.Pun, terdapat pula mekanisme tersistematis dalam pemerintahan kita sehingga menjadikan Indonesia berprestasi sebagai salah satu negara paling demokratis di dunia.

Akan tetapi, adanya kondisi demikian, lantas tidak berarti kita percaya sepenuhnya pada kebijakan-kebijakan yang pemerintah ciptakan. Masih dimungkinkan banyak kebijakan yang tidak sesuai esensi kesejahteraan rakyat. Inilah ruang yang musti digunakan mahasiswa agar tetap meneguhkan perannya sebagai controller kekuasaan. Mahasiswa harus terus menjadi anjing penjaga yang setia mengawasi kebijakan pemerintah.

Untuk menjalankan perannya, tentu mahasiswa perlu melatih jiwa kepekaannya pada realitas yang muncul. Kepekaan atas fakta sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum menjadi hal tak terbantahkan untuk membangun kapabilitas mahasiswa dalam menganalisis produk-produk kekuasaan, apakah itu berpihak pada rakyat atau tidak. Arbi Sanit (1985) mengemukakan lima alasan mengapa mahasiswa harus menumbuhkan kepekaannya atas masalah-masalah kekuasaan.

Pertama, mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik sehingga berpersepektif lebih luas untuk bergerak di semua lapisan masyarakat. Kedua, mahasiswa adalah golongan yang cukup lama bergelut dengan dunia akademis dan telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara generasi muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik dan akulturasi sosial budaya yang tinggi di kalangan mahasiswa.

Keempat, mahasiswa adalah golongan yang akan memasuki lapisan atas dari struktur kekuasan dan ekonomi, serta memiliki privilege dalam masyarakat sebagai kelompok elit. Kelima, mahasiswa rentan terlibat dalam pemikiran, perbincangan, dan penelitian pelbagai masalah yang timbul di tengah sosialita masyarakat, yang memungkinkan mahasiswa tampil dalam forum yang selanjutnya diangkatnya ke jenjang karier sesuai dengan keahliannya.

Namun, tidak cukup peka saja, mahasiswa perlu juga skeptis dalam memandang berbagai kebijakan pemerintah. Skeptis adalah sikap tidak lekas percaya atas apa yang dilakukan pemerintah. Namun, skeptis di sini harus diarahkan pada profesional skeptisme. Maksudnya, ketidakpercayaan mahasiswa bukan berarti menganggap segala hal yang dibuat pemerintah buruk adanya. Mahasiswa secara aktif profesional harus menelusuri apa maksud kebijakan itu dikeluarkan dan bagaimana dampaknya jika kebijakan itu diluncurkan.

Skeptisme memastikan mahasiswa untuk selalu mencari tahu lebih dalam terkait penciptaan kebijakan itu. Jadi, skeptisme menjadikan mahasiswa, ketika menjalankan aksi mengawasi pemerintah, agar didasarkan pada data-data hasil laku cari tahunya. Mahasiswa pun tidak lagi dengan mudahnya bereaksi mengkritik ataupun mendukung pemerintah hanya didasarkan guliran fakta-fakta mentah yang bisa saja timbul dibumbui intrik kepentingan golongan tertentu. Inilah metode yang sepatutnya dikembangkan mahasiswa dalam pengawasan pemerintahan, untuk memastikan kebijakan pemerintah benar-benar untuk kesejahteraan rakyat.

*) Artikel ini dimuat di Harian Seputar Indonesia, 15 September 2009i Utomo sampai gerakan revolusioner penjungkalan rezim otoriter Soeharto, adalah hasil karya besar mahasiswa Indonesia. Tentu, tak habis sampai di situ saja dedikasi mahasiswa membangun kejayaan negeri ini. Mahasiswa era sekarang pun tetap harus berposisi sebagai kontrol kekuasaan, sejalan roda zaman yang terus berputar .

Sekarang, iklim demokrasi kian merasuk ke sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem pemerintahan telah semakin tertata sesuai dengan konsep good governance.Pun, terdapat pula mekanisme tersistematis dalam pemerintahan kita sehingga menjadikan Indonesia berprestasi sebagai salah satu negara paling demokratis di dunia.

Akan tetapi, adanya kondisi demikian, lantas tidak berarti kita percaya sepenuhnya pada kebijakan-kebijakan yang pemerintah ciptakan. Masih dimungkinkan banyak kebijakan yang tidak sesuai esensi kesejahteraan rakyat. Inilah ruang yang musti digunakan mahasiswa agar tetap meneguhkan perannya sebagai controller kekuasaan. Mahasiswa harus terus menjadi anjing penjaga yang setia mengawasi kebijakan pemerintah.

Untuk menjalankan perannya, tentu mahasiswa perlu melatih jiwa kepekaannya pada realitas yang muncul. Kepekaan atas fakta sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum menjadi hal tak terbantahkan untuk membangun kapabilitas mahasiswa dalam menganalisis produk-produk kekuasaan, apakah itu berpihak pada rakyat atau tidak. Arbi Sanit (1985) mengemukakan lima alasan mengapa mahasiswa harus menumbuhkan kepekaannya atas masalah-masalah kekuasaan.

Pertama, mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik sehingga berpersepektif lebih luas untuk bergerak di semua lapisan masyarakat. Kedua, mahasiswa adalah golongan yang cukup lama bergelut dengan dunia akademis dan telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara generasi muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik dan akulturasi sosial budaya yang tinggi di kalangan mahasiswa.

Keempat, mahasiswa adalah golongan yang akan memasuki lapisan atas dari struktur kekuasan dan ekonomi, serta memiliki privilege dalam masyarakat sebagai kelompok elit. Kelima, mahasiswa rentan terlibat dalam pemikiran, perbincangan, dan penelitian pelbagai masalah yang timbul di tengah sosialita masyarakat, yang memungkinkan mahasiswa tampil dalam forum yang selanjutnya diangkatnya ke jenjang karier sesuai dengan keahliannya.

Namun, tidak cukup peka saja, mahasiswa perlu juga skeptis dalam memandang berbagai kebijakan pemerintah. Skeptis adalah sikap tidak lekas percaya atas apa yang dilakukan pemerintah. Namun, skeptis di sini harus diarahkan pada profesional skeptisme. Maksudnya, ketidakpercayaan mahasiswa bukan berarti menganggap segala hal yang dibuat pemerintah buruk adanya. Mahasiswa secara aktif profesional harus menelusuri apa maksud kebijakan itu dikeluarkan dan bagaimana dampaknya jika kebijakan itu diluncurkan.

Skeptisme memastikan mahasiswa untuk selalu mencari tahu lebih dalam terkait penciptaan kebijakan itu. Jadi, skeptisme menjadikan mahasiswa, ketika menjalankan aksi mengawasi pemerintah, agar didasarkan pada data-data hasil laku cari tahunya. Mahasiswa pun tidak lagi dengan mudahnya bereaksi mengkritik ataupun mendukung pemerintah hanya didasarkan guliran fakta-fakta mentah yang bisa saja timbul dibumbui intrik kepentingan golongan tertentu. Inilah metode yang sepatutnya dikembangkan mahasiswa dalam pengawasan pemerintahan, untuk memastikan kebijakan pemerintah benar-benar untuk kesejahteraan rakyat.

*) Artikel ini dimuat di Harian Seputar Indonesia, 15 September 2009

Menggairahkan (Lagi) Pers Mahasiswa

Oleh: Iqbal Kautsar
Staf Pers dan Pustaka HMI FEB UGM


Ketika pers-pers umum dibungkam oleh tangan-tangan lalim penguasa Orde Baru, masih ada pers mahasiswa yang setia sebagai pengontrol kekuasaan pemerintah.

Sejarah ketertutupan informasi pada masa itu pun jadinya tak segelap gulita dunia tanpa matahari. Ada pers mahasiswa yang hadir membawa pelita terang kebenaran atas segala kezaliman kekuasaan Orde Baru. Saking beraninya, tak terhitung lagi berapa banyak pers mahasiswa yang dibredel, ditutup, dan dibubarkan oleh penguasa Orde Baru. Aktivis-aktivisnya pun ditangkapi, dipenjarakan bahkan sampai sengaja dienyahkan dari muka bumi,alias dibunuh.

Ini karena saat itu pers mahasiswa tetap teguh dengan idealismenya yang mengkritik dan menentang keras segala kebijakan pemerintah Orde Baru yang sama sekali tak berpihak pada kepentingan rakyat. Adapun contoh pers mahasiswa yang menjadi “korban” kediktatoran Orde Baru adalah Gelora Mahasiswa UGM. Kini masa-masa kelam itu telah sirna seiring lengsernya rezim Soeharto. Semenjak reformasi bergulir pada tahun 1998 atas inisiasi mahasiswa—di mana pers mahasiswa juga berperan besar di dalamnya, telah terjadi perubahan besar dalam hal kebebasan rakyat.

Sekarang rakyat bebas dan merdeka untuk mengekspresikan pendapat atas perilaku dan kinerja pemerintah, tanpa pengekangan apa pun dari penguasa. Seluruh elemen masyarakat pun bebas memfungsikan diri sebagai pihak pengontrol. Ini tentu merupakan pertanda baik karena semakin banyak yang mengawasi kekuasaan pemerintah, semakin kuat pulalah suatu negara mengarungi lautan demokrasi. Dinamika zaman yang telah berubah ini tentu harus diikuti dan diantisipasi pula oleh pers mahasiswa.

Kesetiaannya sebagai anjing penjaga atas segala ketidakberesan di masyarakat mesti dijaga erat-erat. Pers mahasiswa tak boleh kehilangan idealismenya sebagai pengontrol kekuasaan pemerintah. Namun, era keterbukaan informasi sekarang ini tak semuanya menguntungkan bagi pers mahasiswa. Malahan,bisa jadi sebagai suatu bumerang, yang membuat pers mahasiswa dalam fungsinya sebagai pengontrol kekuasaan pemerintah menjadi kerdil. Mengapa demikian?

Dengan melimpahnya kebebasan berpendapat dan informasi ini,tentu pers umum yang ditopang dengan dana dan sumber daya manusia yang melimpah akan lebih mampu menjadi corong rakyat untuk mengawasi pemerintah. Walau demikian,ini bukanlah kiamat bagi pers mahasiswa untuk tetap setia pada peran pengontrol. Pers mahasiswa harus menjadikan ini sebagai peluang untuk terus mengaktualisasi peran seiring perubahan zaman dengan cara-cara yang lebih berkembang.

Menurut hemat penulis, sebagai seorang penggiat pers mahasiswa, kegairahan pers mahasiswa agar terus menggeliat sebagai pengawas kekuasaan pemerintah dapat dikembangkan lagi dengan jalan menyajikan tulisan-tulisan kritisnya yang berbasis penelitian. Pers mahasiswa perlu mengembangkan karakter keilmuan dalam kegiatannya agar dirinya unik dan berbeda dengan pers umum ataupun lembaga kontrol lain.

Mahasiswa yang hidup dalam ranah akademis tentu akan lebih mafhum dengan konten dari kebijakan yang digelontorkan pemerintah. Lewat tulisan, pers mahasiswa bisa mengungkapkan ketidakberesan kebijakan pemerintah dengan dilandasi penelitian-penelitian keilmuan. Opini masyarakat pun akhirnya bisa digiring oleh pers mahasiswa ke dalam ruang kritis yang akademis dalam menanggapi kebijakan-kebijakan pemerintah.

*) artikel ini dimuat di rubrik Suara Mahasiswa, Koran Seputar Indonesia 26 September 2009

KPK, Korupsi, dan Kemajuan Ekonomi

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Seputar Indonesia, 29 September 2009

Dalam disiplin ilmu ekonomi, institusi memegang peran penting dalam mencapai kemajuan ekonomi. Berbagai studi menunjukkan, perbedaan institusi ekonomi akan menyebabkan perbedaan pada kemajuan ekonomi. Karena itu, institusi perlu didesain sedemikian rupa agar dapat mendukung kemajuan ekonomi.

Di Indonesia, institusi masih menghambat kemajuan ekonomi. Perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang terjadi di sejumlah lembaga pemerintahan menandakan betapa buruknya institusi kita. Padahal, hasil penelitian menunjukkan bahwa korupsi di beberapa negara memperlambat pertumbuhan ekonomi (Mauro, 1995). Dampak korupsi dapat dilihat pada enggannya para investor untuk menanamkan dananya, sebab khawatir terkena biaya yang tinggi (Ekonomi Biaya Tinggi).

Salah satu indikator yang digunakan investor adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dipublikasikan tiap tahun oleh Transparency International. Responden dari survei ini adalah para pebisnis dari hampir seluruh dunia. Bila IPK makin baik, investor makin tertarik untuk menanamkan modalnya. Sebaliknya, bila IPK makin buruk, investor makin tidak tertarik untuk berusaha di negara tersebut. Patut disyukuri, IPK Indonesia makin baik, di mana mengalami peningkatan dari 2,3 pada 2007 menjadi 2,6 pada 2008. Diharapkan, 2009 dapat mencapai angka 3.

Diakui, peningkatan IPK ini tidak terlepas dari peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi di Indonesia. Selama ini, KPK dianggap sebagai lembaga yang paling berhasil dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dibanding dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Sejumlah petinggi negara dan daerah sudah berhasil ditahan KPK, mulai dari bupati, gubernur, menteri, anggota DPR, dan pejabat tinggi lainnya. Tentu saja, salah satu manfaat yang akan diperoleh dari massifnya pemberantasan korupsi ini adalah kemajuan ekonomi yang tercermin pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Namun kita patut kecewa dengan adanya kasus yang menimpa para pimpinan KPK. Dua pimpinan KPK, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, diduga terlibat kasus penyuapan. Sebelumnya, pimpinan KPK lainnya yakni Antazari Azhar sudah mendekam di tahanan karena diduga terlibat kasus pembunuhan. Praktis, pimpinan KPK yang bisa bertugas hanya dua orang. Tentu saja, publik dikejutkan dengan kasus ini, sebab KPK yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat dalam memberantas korupsi, akhirnya berpotensi mandek karena sejumlah pimpinannya bermasalah.

Ancaman akan turunnya aksi pemberantasan korupsi di Indonesia ini memang patut diantisipasi. Pelemahan fungsi KPK menjadi pintu masuk terjadinya kondisi tersebut. Karena itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar KPK tetap menjadi lembaga yang kuat dalam memberantas korupsi. Pertama, masalah kepemimpinan di tubuh KPK harus diselesaikan. Kepolisian, sebagai pihak yang mengusut kasus ini, perlu kiranya bersikap profesional. Selama ini, tuduhan-tuduhan Polri terhadap dua pimpinan KPK tidak dapat dibuktikan. Padahal, status mereka sudah menjadi tersangka. Seyogianya, Polri harus menunjukkan bukti yang kuat sebelum menetapkan status pimpinan KPK ini. Kalau memang tidak terbukti, maka Polri harus mencabut status tersebut. Kedua, pemberantasan korupsi harus tetap berjalan meski sebagian pimpinan KPK terjerat kasus hukum. Pemberantasan korupsi dapat berjalan karena masih ada pimpinan KPK lainnya yang bisa menjalankan tugas, berupa pengambilan keputusan tertinggi. Ketiga, kiranya tidak dilakukan perubahan dalam kewenangan KPK. Fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada KPK tetap harus dipertahankan. Bila kewenangan ini dicabut, tentu akan melemahkan peran KPK dalam memberantas korupsi. Keempat, dukungan masyarakat sangat dibutuhkan, terutama kalangan mahasiswa, untuk tetap menjaga agar tugas-tugas KPK dalam memberantas korupsi dapat terus berjalan, serta kewenangan KPK tetap dipertahankan. Tentu saja, usaha ini diharapkan dapat meminimalisir tindakan korupsi, sehingga dapat mendorong kemajuan dalam perekonomian bangsa Indonesia. []

Memasarkan Kegiatan

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Suara Merdeka, 19 September 2009
Setiap bulan Ramadhan tiba, segenap umat Islam menyambutnya dengan gembira. Salah satu sebabnya, bulan ramadhan dapat dimanfaatkan untuk meng-upgrade dan meningkatkan derajat keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Selain berbagai aktivitas yang menjadi ciri khas bulan ramadhan, seperti ibadah puasa, tarawih, dan lain-lain, bulan ini diramaikan pula dengan beragam kegiatan yang bernuansa keIslaman, seperti diskusi, pengajian, dan lain-lain. Secara umum, kegiatan ini memperoleh sambutan positif dari masyarakat.
Mahasiswa merup
akan bagian dari masyarakat yang juga lekat dengan kegiatan-kegiatan yang bernuansa keIslaman pada bulan Ramadhan. Beberapa kegiatan yang kerap dilakukan adalah diskusi, pengajian, bedah buku, buka puasa yang diiringi dengan ceramah agama, dan lain-lain. Memang, sebagian besar kegiatan ini dilaksanakan di kampus, meski kadang-kadang dilaksanakan di luar kampus, seperti bakti sosial. Tentu saja, diharapkan kegiatan ini dapat melibatkan mahasiswa muslim dalam kuantitas yang cukup banyak, sehingga manfaat dari kegiatan ini dapat menyebar luas di kalangan mahasiswa.

Namun harapan tersebut tampaknya masih sulit diwujudkan. Berdasarkan pengamatan di kampus penulis, berbagai kegiatan bulan Ramadhan hanya diikuti oleh segelintir orang yang notabene juga aktif di organisasi dakwah kampus. Sementara itu, mahasiswa yang kadar keIslamannya masih kurang, justru tidak berminat mengikuti kegiatan tersebut. Menurut penulis, segmen ini mesti digarap oleh pelaksana kegiatan Ramadhan di kampus.

Bila yang mengikuti kegiatan Ramadhan di kampus masih segelintir orang saja, serta belum menjangkau mahasiswa yang juga kader keIslamannya kurang, bisa jadi bukan karena acaranya yang buruk, tapi karena strategi memasarkan kegiatan yang masih perlu diperbaiki. Selama ini, kegiatan-kegiatan di bulan ramadhan dipublikasikan lewat poster atau spanduk. Tentu metode ini tetap perlu dilakukan, sebagai sarana untuk menginformasikan kegiatan tersebut. Hanya saja, strategi itu masih kurang daya dorongnya untuk menarik minat mahasiswa. Strategi yang cukup bagus adalah penyampaian informasi secara langsung dan persuasif. Memang strategi ini menuntut keterlibatan yang lebih aktif dari pelaksana kegiatan, namun hasilnya kemungkinan besar dapat tercapai.

Memang tidak ada jaminan bahwa ketika mahasiswa mengikuti kegiatan Ramadhan di kampus, keimanan dan ketaqwaannya akan meningkat. Akan tetapi, bila mahasiswa mengikuti kegiatan tersebut, minimal sudah ada batu loncatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tentu saja, kontiniutas dari kegiatan-kegiatan tersebut, di luar bulan Ramadhan, juga penting dengan konsep acara yang berbeda, sehingga bisa memfasilitasi mahasiswa untuk senantiasa meng-uprade dan memperbaiki kualitas keimanan dan ketaqwaan. []

Membela Kepentingan Rakyat

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Seputar Indonesia, 18 September 2009

Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah perlu diawasi. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar pemerintah dapat menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan wewenang yang diamanahkan kepada mereka. Ketika pemerintah mengabaikan wewenang tersebut, serta tidak melaksanakan tugas-tugasnya secara optimal, maka pemerintah perlu “diingatkan” oleh pihak yang telah memilihnya.

Dalam disiplin ilmu ekonomi, dikenal istilah principal agent problem. Istilah ini merujuk pada suatu kondisi dimana agent bertindak tidak sesuai dengan harapan principal. Sebelum agent dipilih oleh principal untuk melaksanakan tugas tertentu, terlebih dahulu dibuat kesepakatan bahwa agent akan bertindak sesuai dengan keinginan principal. Kasus ini kerap terjadi di lingkungan bisnis, dimana pemilik perusahaan memberikan kewenangan kepada orang lain untuk mengoperasikan perusahaan, dengan tujuan untuk memaksimumkan manfaat yang diterima pemilik perusahaaan. Untuk meminimalisir penyimpangan tersebut, pemilik perusahaan harus mengawasi manajer.

Namun principal agent problem bukan hanya terjadi dalam lingkup bisnis, tapi juga dalam bidang politik. Pemerintah, terutama eksekutif dapat disebut agent, sementara rakyat dapat disebut principal. Rakyat memilih pemerintah agar mereka dapat bertindak sesuai dengan keinginan mereka. Di sisi lain, terlebih dahulu para calon pemimpin berjanji untuk membela kepentingan rakyat ketika mereka sudah terpilih nantinya. Namun, kerap kali janji-janji tersebut tidak dipenuhi, bahkan kerap kali bertindak untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Karena itu, untuk meminimalisir penyimpangan yang dilakukan pemerintah, rakyat juga harus mengawasi jalannya pemerintahan. Namun sebagian besar rakyat Indonesia masih minim dalam pendidikan politik, sehingga acuh tak acuh terhadap pengawasan pemerintah. Rakyat lebih mementingkan urusan ekonomi ketimbang urusan politik. Wajar bila hal ini terjadi, karena hampir setengah dari rakyat Indonesia masih berkubang dalam jurang kemiskinan.

Di sinilah mahasiswa harus berperan. Mereka harus menjadi wakil rakyat dalam mengawasi pemerintah. Mahasiswa perlu mengawasi pemerintah dalam menjalankan program-programnya serta bersikap kritis pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Namun sikap kritis yang ditunjukkan tidak sekedar asal menolak apa saja yang datang dari pemerintah, tapi dengan mempertimbangkan secara akal sehat. Bagaimanapun, tujuan dari sebuah kebijakan adalah membawa kemaslahatan bagi rakyat banyak. Bila manfaat dari sebuah kebijakan hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, maka pemerintah telah menyimpang dari amanah yang diberikan. Mementingkan kepentingan kelompok tertentu menandakan bahwa pemerintah tidak berpihak pada rakyat. Nah, bila keadaan ini terjadi, mahasiswa harus berperan aktif untuk mendobrak penyimpangangan-penyimpangan tersebut. Namun, di sisi lain, mahasiswa tetap harus menyadari tugasnya sebagai seorang akademisi yang belajar di perguruan tinggi. Mereka tidak boleh lupa tugas-tugasnya sebagai seorang mahasiswa. Bila tugas tersebut terbengkalai, justru ini menandakan bahwa mahasiswa tidak akan mampu secara konsisten membela kepentingan rakyat. Sebab, bagaimana mungkin seseorang bisa secara konsisten memperjuangkan kepentingan orang lain, sementara dirinya sendiri tidak terurus dengan baik. Karena itu, mahasiswa yang aktif bergulat dengan wacana dan gerakan yang terkait dengan pengawasan pemerintah mesti menyeimbangkan secara proporsional antara kepentingan kuliah dengan kepentingan untuk membela kepentingan rakyat, terutama rakyat kecil.[]

Mengisi Pos Kabinet

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Seputar Indonesia, 3 September 2009

Dukungan suara sekitar 60 persen kepada pasangan SBY-Boediono merupakan modal utama pemerintahan baru dalam menyusun dan melaksanakan berbagai program kerja selama 5 tahun ke depan. Dalam pelaksanaan program tersebut, para menteri memegang peran penting karena keberadaan mereka ditujukan untuk membantu presiden dalam merealisasikan janji-janji saat kampanye.

Bila menteri gagal menjalankan tugasnya, program kerja tidak akan berjalan optimal sehingga kecil kemungkinan target pemerintahan dapat tercapai. Di sisi lain, bila menteri sukses dalam menjalankan perannya, tentu peluang untuk mencapai target pemerintahan makin besar. Karena itu, para calon menteri yang akan mengisi pos kabinet haruslah orang tepat yang ditempatkan pada posisi yang tepat pula. Di sisi lain, meskipun seseorang ahli pada bidang tertentu, tapi tidak ditempatkan sesuai dengan kebutuhan pos kabinet yang akan diisi, besar kemungkinan yang akan diperoleh adalah kegagalan. Kasus pemilihan menteri pada periode sebelumnya menandakan masih adanya orang yang ditempatkan pada bidang tertentu yang bukan keahliannya. Akibatnya, tidak lama setelah pemerintahan baru berjalan, muncul reshuffle kabinet. Perubahan posisi kabinet ini tentu berpotensi memunculkan ketidakstabilan, bisa pada bidang ekonomi atau politik. Sebab, besar kemungkinan terjadi perubahan kebijakan sebagai akibat dari adanya pergantian menteri.

Karena itu, pertimbangan matang harus dikedepankan sebelum presiden menentukan orang-orang yang akan membantunya. Selain pertimbangan kalkulasi politik, tentu yang lebih utama adalah kompetensi. Hanya saja, realitas menunjukkan bahwa pertimbangan kalkulasi politik kelihatannya lebih dominan. Hal ini terlihat pada manuver politik SBY yang berniat menggandeng hampir seluruh partai pemenang pemilu legislatif, termasuk PDI-P dan Golkar. Kita tahu, Golkar dan PDI-P berpeluang menjadi partai oposisi. Hanya saja, SBY menginginkan agar kedua partai besar ini masuk dalam pemerintahan. Salah satu tawarannya adalah kursi kabinet.

Selain itu, tentu saja partai-partai pendukung pasangan SBY-Boediono diberikan kursi di kabinet. Boleh dibilang, kursi kabinet ini merupakan kompensasi atas dukungan dalam pemenangan pemilihan presiden, serta sebagai pengikat dukungan dalam menjalankan pemerintahan selama 5 tahun ke depan. Dukungan ini tampak di parlemen, di mana wakil-wakil dari partai pemerintah dan pendukungnya memberikan dukungan kepada keputusan-keputusan eksekutif yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tidak bisa dimungkiri, transaksi politik demikian kerap terjadi dalam dinamika pemerintahan kita. Hanya saja, perlu diterapkan strategi khusus agar pengisian pos kabinet tetap mengedepankan kompetensi, bukan pertimbangan kalkulasi politik. Diakui, kader-kader partai pun banyak yang berkualitas. Tidak selamanya kader partai yang menjadi menteri gagal menjalankan tugasnya. Karena itu, pemilihan menteri dari kader partai yang benar-benar kompeten di bidang yang dibutuhkan, merupakan salah satu solusi. Di sini, partai pendukung pemerintah juga harus tahu diri. Kader-kader yang direkomendasikan haruslah merupakan orang yang ahli di bidang yang dibutuhkan, bukan karena pertimbangan tingkat kedudukan di partai tersebut. Sebab, belum tentu petinggi partai memiliki keahlian sesuai dengan yang dibutuhkan di pos kementerian[]