Sabtu, 22 Agustus 2009

Membentengi Remaja dari Teroris

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Dimuat di Kompas Yogyakarta, Jumat, 21 Agustus 2009

Indonesia kembali terguncang dengan aksi bom bunuh diri yang diduga dilakukan oleh jaringan Noordin M Top. Uniknya, salah satu pelaku aksi teror tersebut masih berusia remaja. Kondisi ini menyiratkan, perkaderan dalam organisasi terorisme makin menunjukkan taringnya. Ini tak boleh dibiarkan sebab bila organisasi terorisme tersebut merekrut banyak kader muda, peluang munculnya aksi bom bunuh diri akan tinggi pula. Implikasinya, kita makin terancam oleh serangan teroris. Karena itu, kita harus memutus rantai perkaderan yang dibangun jaringan teroris dengan menjauhkan generasi muda dari pengaruh mereka.

Generasi muda atau remaja merupakan sasaran empuk bagi perkaderan organisasi terorisme. Wajar saja, sebab masa remaja merupakan masa di mana ide/paham baru bisa dengan mudah ditanam dalam pikiran mereka. Masa remaja juga ditandai dengan kepribadian yang masih labil. Mereka belum mempunyai prinsip diri yang cukup dan pegangan dalam membentengi diri dari ide/paham yang tidak benar. Dengan demikian, indoktrinasi berjalan sangat lancar, ditambah lagi dengan kemampuan para teroris dalam mendoktrin atau memprovokasi calon kader.

Pilihan terhadap calon kader juga tidak sembarangan. Remaja harus punya semangat tinggi dalam beragama. Indikator lain yang tidak terlalu penting tapi tetap berpengaruh adalah keadaan ekonomi remaja (keluarga). Remaja yang hidup dalam keadaan ekonomi yang layak, terlebih lagi bila sudah memiliki pekerjaan tetap, tidak rentan terhadap aktivitas-aktivitas yang cenderung tidak produktif tersebut. Sementara bagi yang hidup pas-pasan, terlebih lagi bila hidupnya tidak layak, derajat kerentanannya tinggi. Karekteristik orang yang terakhir mudah direkrut karena mereka tidak terlalu peduli dengan harta benda, serta cenderung bersikap pasrah terhadap kekuatan yang berasal dari luar.

Secara riil, keahlian merekrut remaja untuk melakukan aksi bom bunuh diri sudah terbukti. Dani Permana, remaja berusia 18 tahun, berani melakukan bom bunuh diri di Hotel JW Marriott. Ide/paham yang ditanamkan oleh para teroris ini berlandaskan pada salah satu agama, sehingga tak heran bila memunculkan semangat yang luar biasa tingginya. Hasilnya, setiap orang yang melakukan aksi bom bunuh diri beranggapan, aksi tersebut bukanlah kejahatan yang pantas memperoleh ganjaran negatif, melainkan pembelaan terhadap kebenaran yang pantas memperoleh ganjaran positif.

Dengan latar belakang demikian, jelaslah bahwa terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan mudahnya perekrutan remaja dalam kelompok teroris. Karena itu, bolehlah dikatakan bahwa mencegah keterlibatan remaja dalam aksi teror bukanlah pekerjaan yang mudah, tapi bukan pula pekerjaan yang mustahil diselesaikan. Syaratnya, segenap pihak harus menjalankan perannya masing-masing dalam menjauhkan remaja-remaja kita dari organisasi terorisme. Pemerintah, keluarga, dan lingkungan masyarakat merupakan aktor yang bisa mengambil andil dalam pencegahan ini. Masing-masing punya peran yang harus berjalan sebagaimana mestinya. Bila tidak demikian, hasilnya pun tidak akan optimal.

Keluarga (orang tua) berperan dalam memberikan pendidikan agama yang benar kepada anak-anaknya. Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak-anak untuk menuntut ilmu. Selain itu, dari bayi sampai remaja, sebagian besar waktu dihabiskan di rumah, sehingga kondisi keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak. Karena itu, selain memberikan pendidikan agama yang benar, juga diperlukan terciptanya kondisi yang memungkinkan anak-anak memiliki kepribadian positif, seperti penuh kasih sayang, hormat pada orang lain, dan lain-lain. Kepribadian ini akan membentengi anak-anak terhadap pengaruh ide/paham yang dapat memunculkan aktivitas-aktivitas yang merugikan orang lain.

Pemerintah, selain “mengobati” aksi terorisme, juga berperan dalam mencegah terjadinya aksi teror. Bila ditilik salah satu latar belakang masalah di atas, jelaslah bahwa pemerintah berperan dalam meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi masyarakat, termasuk para remaja. Aktivitas ekonomi harus ditingkatkan agar mampu menyerap tenaga kerja yang menganggur, termasuk di dalamnya adalah para remaja yang belum memiliki pekerjaan layak. Berdasarkan data dari Kementerian Pemuda dan Olah Raga pada 2008, masih ada sekitar 19,5 persen dari total seluruh jumlah penduduk yang memiliki status pengangguran.

Lingkungan masyarakat juga berperan dalam mencegah terlibatnya remaja dalam aksi teror. Pengawasan keluarga terhadap anak-anaknya terbatas bila anaknya berada di luar rumah. Karena itu, dibutuhkan pengawasan dari lingkungan masyarakat terhadap perilaku remaja yang menampakkan ciri khas yang mencurigakan.

Bila ketiga aktor ini menjalankan perannya masing-masing, peluang terjeratnya remaja dalam kelompok teroris dapat diminimalisir. []

Kamis, 20 Agustus 2009

Memaknai Kemerdekaan

Oleh Randi Kurniawan

Benarkah kita sudah merdeka? Pertanyaan ini bisa jadi merupakan pertanyaan bodoh, tapi bisa pula menjadi pertanyaan cerdas. Dianggap bodoh karena jawaban dari pertanyaan tersebut sudah pasti bisa dijawab, bahkan oleh anak SD sekalipun. Namun bisa pula menjadi pertanyaan cerdas, sebab makna kemerdekaan yang dimaksud bisa jadi memiliki ukuran yang berbeda dibanding yang dipahami secara umum, sehingga pantas dipertanyakan.

Berangkat dari hal tersebut, penulis menggunakan pertanyaan di atas pada konteks yang kedua. Namun penulis tidak berpretensi bahwa siapapun orang yang bertanya demikian bisa dipastikan cerdas. Pertanyaan tersebut diniatkan untuk menjadi pertanyaan cerdas, bukan pertanyaan bodoh. Penulis yakin bahwa di satu sisi kita sudah merdeka, tapi di sisi lain, ternyata kita belum merdeka. Apa sisi-sisi itu?

Bung Karno, seperti dikutip HS Dillon, mengatakan bahwa kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia pada 1945 merupakan kemerdekaan di bidang politik. Artinya, kedaulatan Indonesia sebagai negara, memperoleh pengakuan baik secara de jure maupun de facto. Kemerdekaan tersebut merupakan berkah dari Allah SWT, sekaligus merupakan hasil perjuangan segenap rakyat Indonesia yang harus dibayar dengan harta, pikiran, tenaga, waktu, bahkan nyawa. Tentu kita patut mengingat jasa-jasa rakyat Indonesia yang telah berkorban demi meraih kemerdekaan.

Namun kemerdekaan itu, lagi-lagi dimaknai sebatas kemerdekaan politik. Bangsa Indonesia sudah tidak dijajah lagi oleh Belanda ataupun Jepang. Bangsa ini tidak perlu berjuang di medang perang karena memang sudah tidak ada peperangan militer lagi. Kini bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, yakni suatu bangsa yang bebas menentukan nasibnya sendiri. Namun apakah kemerdekaan itu cukup?

Cukup atau tidaknya capaian dari kemerdekaan tersebut sangat tergantung pada ukuran atau indikator apa yang kita gunakan dalam mengukur makna kemerdekaan. Dalam perspektif penulis, indikator kemerdekaan yang sesungguhnya, terlalu sempit bila hanya dimaknai sebagai kemerdekaan politik, melainkan kemerdekaan di berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial dan budaya, dan lain-lain.

Dalam bidang ekonomi, kita masih berkubang di dalam sarang kemiskinan. Berdasarkan data BPS, pada Februari 2009, anak bangsa yang berada di bawah garis kemiskinan, yakni yang pengeluaran konsumsinya di bawah Rp 10.000 per hari masih berjumlah 32,5 juta jiwa. Bayangkan bila kita hidup dengan uang Rp 10.000, apakah kita bisa hidup dengan layak? Jawabnya, kemungkinan besar tidak. Kalau manusia belum bisa hidup layak, penulis anggap belum masuk dalam kategori merdeka. Mereka masih dijajah oleh penderitaan ekonomi. Tragis.
Di bidang sosial dan budaya, kita juga masih tercengkeram oleh dominasi budaya barat. Pemikiran-pemikiran dari barat mendominasi cara berpikir kita, bahkan ada anak bangsa yang cara berpikirnya lebih barat dibanding orang barat. Budaya-budaya barat kita anggap lebih unggul dibanding budaya lokal, sehingga kita cenderung menanggalkan identitas diri kita yang sesungguhnya. Uniknya, tercerabutnya kita dari identitas yang sesungguhnya, bukannya membawa kemajuan, tapi justru membawa keterbelakangan. Benarkah? Sebagian orang tidak setuju, terutama bagi kalangan yang terlalu melebih-lebihkan budaya barat. Orang seperti ini juga kerap kali menggunakan indikator-indikator kemajuan yang kita capai setelah mengabdi pada budaya barat, tanpa melihat ekses negatif dari pilihan tersebut. Namun apakah ini pilihan yang menarik? Tentu saja tidak, sebab pilihan tersebut telah mengantarkan kita pada suatu kondisi yang hampir sama dengan masa penjajahan sebelum tahun 1945. Mau tidak mau, kita harus memaknai kemerdekaan sebagai suatu pilihan untuk terbebas dari segala macam penindasan dan penjajahan, baik fisik maupun non fisik. Bila kita masih dijajah, tentu kita masih berada dalam keterbelakangan. Karena itu, tantangan ke depan adalah terbebas dari penjajahan non fisik tersebut. [Disampaikan pada Diskusi Rutin HMI Komisariat Ekonomi, Rabu, 19/8/2009]

Selasa, 18 Agustus 2009

Kinerja Dewan Mengecewakan

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Dimuat di Harian Jogja, 18 Agustus 2009

Elite politik yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPRD tampaknya makin tidak peduli dengan rakyat. Wajar saja bila pernyataan demikian muncul, sebab siapapun pastinya kecewa melihat kinerja dewan yang masih jauh dari harapan, terutama pada periode 2004-2009 ini. Akibatnya, pelayanan anggota dewan pada rakyat juga belum optimal.

Pada 31 Agusutus nanti, anggota DPR/DPRPD periode 2004-2009 akan mengakhiri masa tugasnya. Selama 5 tahun, mereka menjalankan amanah dari rakyat. Tapi, sudahkah mereka menjalankan tugasnya dengan optimal? Sudahkah mereka merealisasikan janji-janji kampanyenya? Penulis tidak berpretensi menjawab pertanyaan tersebut. Akan tetapi, penulis menganggap bahwa harapan rakyat kepada anggota dewan tampaknya belum tercapai.

Kita tahu, salah satu tugas elite politik yang duduk di parlemen, baik di tingkat pusat sampai daerah tingkat dua adalah menyusun dan menetapkan UU (tingkat pusat) atau perda (tingkat daerah). Adapun fungsi dari aturan tersebut adalah mengatur kehidupan masyarakat, baik aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Tentunya, sebagai manusia yang hidup berkelompok, keberadaan aturan main (peraturan formal) sangat dibutuhkan. Karena itu, rakyat menyerahkan kepada wakil-wakilnya di parlemen (termasuk juga eksekutif) untuk menyusun dan menetapkan peraturan formal tersebut. Rakyat memberikan amanah tersebut selama 5 tahun dengan harapan agar kedamaian dan kesejahteraan rakyat dapat tercapai.

Dalam implementasinya, tidaklah mudah menjalankan amanah ini. Peraturan Daerah (perda) yang dibuat anggota DPRD kerap kali tumpang tindih dengan aturan pemerintah pusat, sehingga pelaksanaannya kurang efektif. Selain itu, jumlah peraturan daerah yang berhasil dibuat lebih kecil dibanding yang diharapkan. Lebih parah lagi, sering kali muncul aturan yang tidak berpihak pada rakyat. Masalah-masalah ini menimbulkan dampak negatif pada rakyat, di samping karena rakyat makin acuh tak acuh terhadap anggota dewan, juga karena rakyat tidak mendapatkan aturan formal yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Sebetulnya, kinerja yang buruk bukan hanya terjadi di tingkat daerah, tapi juga di tingkat pusat. Data menunjukkan, dari target RUU sebanyak 282 yang akan dibahas pada periode ini, ternyata hanya bisa dicapai sebanyak 197 per 20 Juni 2009. Lebih miris lagi, sebagian besar RUU yang berhasil disahkan menjadi UU, ternyata terkait dengan otonomi daerah. Sementara UU yang berkenaan dengan penciptaan pemerintahan yang baik ataupun pemberantasan korupsi, menempati urutan paling bawah. Masalah yang menimpa anggota dewan ternyata lebih buruk lagi bila kita menilai perilaku korupsi yang masih saja merajalela selama periode 2004-2009 ini. Nah, kondisi anggota dewan inilah yang berpotensi menjadikan rakyat makin apatis dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, kita tidak perlu heran bila makin meningkat angka golongan putih setiap kali pemilu dilaksanakan.

Apapun yang terjadi di masa lalu, tentu tidak bisa dikembalikan lagi saat ini. Pada dasarnya, rakyat ingin agar anggota dewan bertanggung jawab atas kinerjanya yang buruk. Sayangnya, tidak ada mekanisme formal untuk hal tersebut, kecuali melalui pemilihan umum yang berlangsung 5 tahun sekali. Baru saja, rakyat sudah menentukan pilihannya. Semoga saja momentum tersebut dijadikan rakyat sebagai penghakiman terhadap elite politik yang selama ini berkinerja buruk. Kini, harapan ada pada anggota dewan baru agar menghasilkan kinerja optimal. Karena itu, ke depan, segenap rakyat, LSM dan mahasiswa harus mengawasi kinerja anggota dewan. Adanya kontrak politik sebetulnya dapat menjadi pengikat demi terbangunnya mekanisme kontrol dari rakyat kepada anggota dewan. Hanya saja, tidak banyak anggota dewan yang sudah dilantik berani menandatangi kontrak politik. Alasannya, kontrak yang serupa dengan itu sudah dilakukan saat pelantikan. Namun penulis menganggap tidak masalah bila anggota dewan menandatangi kontrak politik, yang sebagian isinya membahas tentang komitmen untuk melaksanakan semua janji-janji kampanye, serta bersedia mundur bila tidak mampu memenuhi janji-janji tersebut. Kini, rakyat membutuhkan anggota dewan yang berkarakter demikian. []

Senin, 17 Agustus 2009

Meminimalisasi Potensi Terorisme

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset)

Dimuat di Seputar Indonesia, Sabtu, 15 Agustus 2009

Indonesia tergolong negara yang sering menjadi sasaran aksi terorisme. Dapat dilihat, sudah beberapa kali terjadi aksi terorisme yang menewaskan puluhan atau bahkan ratusan nyawa. Sampai saat ini, sasaran teroris yang terakhir kali adalah Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott. Besar kemungkinan akan ada aksi-aksi berikutnya di masa yang akan datang. Uniknya, pihak yang melancarkan aksi teror ini tidak pernah secara eksplisit menyatakan motif di balik aksi mereka. Hal inilah yang menjadikan pekerjaan pemerintah relatif lebih sulit, sebab untuk menekan potensi terorisme, mau tak mau langkah pertama adalah menemukan alasan di balik aksi tersebut.

Kita tahu, setiap aksi terorisme disertai oleh alasan yang kuat, sebab aksi ini disertai dengan pengorbanan materi dan nyawa. Jadi, mustahil bila aksi ini hanya iseng-iseng dari kelompok tertentu. Menurut analisis penulis, terdapat dua alasan utama yang mendasari munculnya aksi terorisme. Pertama, dorongan ideologi. Hal ini berwujud pada kebencian terhadap pihak yang menindas kelompok mereka, serta pihak-pihak yang menghalangi usaha mereka untuk mencapai tujuan. Begitu penting arti ideologi dalam kehidupan mereka, sehingga nyawapun rela dikorbankan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Parahnya, gerakan ini bukan hanya berskala nasional, tapi sudah berskala internasional. Misalnya, kebencian Usama Bin Laden, yang mengaku mewakili umat Islam, terhadap Amerika Serikat (AS) mendorongnya untuk mengumandangkan perang bagi apapun dan siapapun yang berbau AS. Perang ini dilancarkan ke seluruh dunia melalui jaringan-jaringan yang tersebar di sejumlah negara.

Sejumlah pihak berpendapat Noordin M Top cs yang melakukan aksinya di Indonesia, merupakan jaringan dari Usama Bin Laden. Dengan kata lain, bila Noordin M Top melakukan aksinya di Indonesia, bisa diprediksi bahwa yang menjadi sasaran adalah apapun dan siapapun yang berbau AS, sebab aksi ini dilandasi oleh kebencian terhadap AS. Kasus pengeboman di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott dapat menguatkan argument tersebut. Bila demikian halnya, maka tugas pemerintah adalah memperketat keamanan, terutama yang menyangkut sasaran aksi terorisme ini.

Selain dorongan ideologi, aksi terorisme dapat pula terjadi karena alasan ekonomi. Tekanan ekonomi yang dialami oleh teroris, terutama bagi orang yang melakukan bom bunuh diri, bisa menjadi latar belakang dipilihnya jalan untuk mengakhiri hidup. Kita tahu, modus operandi dari aksi-aksi terorisme adalah bom bunuh diri. Orang-orang yang melakukan aksi bom bunuh diri, terlebih dahulu didoktrin dengan ajaran-ajaran yang membenarkan aksi tersebut. Peranan orang yang melakukan bom bunuh diri ini sangatlah penting, sebab merekalah yang berkorban paling besar. Bila jaringan ini tidak bisa merekrut orang-orang yang bersedia melakukan aksi tersebut, niscaya eksistensinya akan lenyap. Namun, alasan ekonomi ini tidak selalu berbentuk tekanan yang dialami oleh pelaku, terutama yang melakukan bunuh diri, melainkan dapat pula berupa kesedihan terhadap masihnya banyak orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ini dianggap sebagai kegagalan pemerintah, yang menganut sistem ekonomi, yang tampaknya tidak membuat rakyat sejahtera. Latar belakang tersebut merupakan salah satu alasan gerakan teroris berbalik melawan pihak-pihak yang menyebabkan ketertindasan rakyat.

Diakui, kita tidak bisa meredam potensi yang pertama, tapi kita tetap bisa meredam potensi yang kedua. Caranya adalah dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Ini memang menjadi tugas berat pemerintah, untuk mengangkat 32,5 juta rakyat Indonesia yag hidup di bawah garis kemiskinan menuju kehidupan yang layak. Namun tetap diakui, terorisme belum tentu selesai bila urusan ekonomi sudah terpenuhi, tapi paling tidak salah satu potensinya nsudah diminimalkan. []

Rabu, 12 Agustus 2009

Anggaran Penanggulangan Kemiskinan

Oleh Randi Kurniawan
Kabid Kajian dan Riset

Dimuat di Sindo, Rabu, 5 Agustus 2009

Pada senin (3/8), Presiden SBY menyampaikan pidato kenegaraan di gedung MPR/DPR mengenai RAPBN 2010. Dalam pidato tersebut, SBY menjadikan pemeliharaan kesejahteraan rakyat, serta pelaksanaan sistem perlindungan sosial sebagai salah satu prioritas pembangunan dan anggaran. Pada tahun 2010, anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dialokasikan sebesar Rp 36,1 triliun.

Kita tahu, instrumen utama pemerintah dalam mempengaruhi aspek kehidupan berbangsa dan bernegara adalah APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Namun aspek kehidupan yang dipengaruhi bukan hanya ekonomi, tapi juga aspek-aspek lain, seperti politik, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, dan lain-lain. Karena itu, APBN harus dicermati agar instrumen ini bisa bermanfaat bagi rakyat.

Salah satu tujuan APBN adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, sebagaimana tujuan bangsa yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yakni menciptakan kesejahteraan umum. Tujuan ini dapat dicapai dengan pengalokasian anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tinggi rendahnya anggaran yang dialokasikan pemerintah akan menjadi indikator keseriusan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah adalah melalui program-program seperti PNPM Mandiri, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Namun bukan berarti program-program tersebut telah berhasil menanggulangi kemiskinan secara optimal. Berdasarkan data BPS, angka kemiskinan per Maret 2008 sebesar 34,98 juta jiwa. Berselang satu tahun kemudian yakni pada Maret 2009, pemerintah berhasil menekan angka kemiskinan menjadi 32,53 juta jiwa. Ini berarti, hanya sebanyak 2,43 juta penduduk miskin yang berhasil terbebas dari kategori miskin. Dengan demikian, masalah kemiskinan masih merupakan pekerjaan berat bagi pemerintah, sehingga wajar bila dijadikan sebagai prioritas pembangunan dan anggaran oleh pemerintah.

Penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat diakui bukan pekerjaan mudah. Namun ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah agar kebijakan ini bisa berhasil secara optimal. Pertama, pemerintah perlu melakukan kebijakan fiskal ekspansif, terutama melalui pembangunan infrastruktur. Dalam jangka pendek, pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Sementara itu, dalam jangka panjang, tersedianya infrastruktur secara memadai dapat memperlancar arus barang dan modal manusia sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi. Konsekuensinya, keterbatasan dana bukan lagi masalah bila pemerintah ingin menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas anggaran.

Kedua, penyerapan anggaran pemerintah, terutama di tingkat pemerintah daerah (pemda) harus optimal. Kita tahu, salah satu tugas utama pemda adalah menyediakan fasilitas pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, serta menanggulangi kemiskinan melalui program-program yang sesuai dengan karakteristik kemiskinan di daerah masing-masing. Karena karakteristik kemiskinan yang berbeda setiap daerah, maka program-program penanggulangannya pun harus berbeda-beda, tidak boleh disamakan. Karena itu, pemda punya peran penting untuk menanggulangi kemiskinan di daerahnya masing-masing dengan menggunakan anggaran yang terdapat di APBD. Hanya saja, masalah yang kerap dihadapi pemda adalah penyerapan anggaran belum mencapai optimal. Pada 2008, tercatat sekitar Rp 50 triliun anggaran dari seluruh pemda yang tidak diserap. Padahal, anggaran tersebut mestinya diserap untuk menyediakan fasilitas-fasilitas publik di daerah, dan menanggulangi kemiskinan bagi daerah-daerah yang memiliki penduduk miskin relatif banyak.

Nah, bila langkah-langkah ini dilakukan, penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat akan berjalan optimal, meski tetap diperlukan kerja keras untuk merealisasikannya. []

Pembangunan Masyarakat untuk Kesejahteraan

Oleh Iqbal Kautsar
Staf Pers dan Pustaka

Dimuat di SINDO, Selasa, 11 Agustus 2009

KESEJAHTERAAN rakyat merupakan tujuan utama bagi suatu pemerintah untuk merancang dan melaksanakan program-program kerjanya.Kesejahteraan rakyat akan bisa dicapai jikalau program-program yang ada menitikberatkan keberpihakannya kepada rakyat.

Tentu upaya untuk mencapai itu perlu dimulai dari hal-hal yang dasar. Menurut penulis, pembangunan manusianya haruslah menjadi titik tolak dasar untuk program-program yang diarahkan pada pencapaian kesejahteraan rakyat ini. Berkaca pada realitas Indonesia,kualitas manusia Indonesia masihlah berada dalam kategori menengah bawah.

Bagaimana mungkin akan mampu berupaya mencapai kesejahteraan jika kualitas masyarakatnya saja rendah? Dari data Human Development Index (HDI) 2006 yang dikeluarkan pada akhir 2008, Indonesia berada di peringkat 107 dari 179 negara di dunia.Dibandingkan negara-negara ASEAN, Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand,dan Filipina.

Menarik dicermati jika mengaitkan Nota Keuangan RAPBN 2010 yang disampaikan Presiden SBY awal Agustus lalu dengan upaya peningkatan pembangunan manusia Indonesia. Program-program pembangunan manusia Indonesia tercakup dalam dua poin utama, yaitu bidang pendidikan dan kesehatan.Kedua bidang inilah yang perlu diprioritaskan dalam upayanya menciptakan kesejahteraan rakyat.

Pada Nota Keuangan RAPBN 2010, anggaran pendidikan ditawarkan sekitar Rp200 triliun, artinya telah mencapai 20% yang sejalan dengan amanat konstitusi. Akan tetapi, dengan dana sebesar itu, apakah ada jaminan pendidikan kita akan meningkat? Pengalaman pada 2009 ini, dengan anggaran pendidikan 20%, ternyata pendidikan kita belum menunjukkan peningkatan berarti dibandingkan sebelumnya.

Pendidikan gratis yang didengung-dengungkan pemerintah ternyata malah menimbulkan polemik dalam masyarakat. Masyarakat pun menjadi tidak semangat dan antusias dalam menanggapi program-program pemerintah ini. Dalam hal kesehatan,upaya peningkatan nya juga mendapat perhatian dari pemerintah seiring meningkatnya anggaran kesehatan di RAPBN 2010.

Departemen kesehatan mendapatkan alokasi Rp20,8 triliun yang akan difokuskan untuk peningkatan kualitas dan perluasan pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat. Namun, anggaran sebesar itu masihlah terlampau kecil untuk menjadikan lebih dari 220 juta rakyat Indonesia sehat secara ideal.Menurut WHO, idealnya anggaran kesehatan minimal mencapai 5% dari PDB suatu negara.

Untuk Indonesia,anggaran kesehatannya masih jauh dari ideal,hanya sebesar kurang dari 1% PDB. Dengan kondisi anggaran yang terbatas ini, tentu kita tidak akan mampu menciptakan manusia Indonesia yang berkualitas.Pembangunan manusia Indonesia pada akhirnya akan terhambat oleh keterbatasan anggaran kesehatan.

Padahal,kita tahu bersama bahwa biaya menciptakan kesehatan yang ideal tidaklah murah. Akhirnya, menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakatnya. Upaya penciptaan kesejahteraan tidak akan terlepas pada komitmennya dalam membangun manusia secara ideal dan berkualitas.

Pemerintah perlu menyadari hal ini bahwa terlalu banyak berorientasi ekonomi bukanlah suatu hal yang relevan dalam peningkatan kesejahteraan.Maka, mulailah dari pembangunan manusianya untuk mencapai kesejahteraan rakyat![]

Sabtu, 08 Agustus 2009

Lomba Penulisan Esai tentang Jepang

Suka dan tertarik dengan segala hal yang berbau Jepang? The Japan Foundation mengundang para mahasiswa yang menyukai pengetahuan umum tentang Negeri Sakura tersebut untuk mengikuti lomba penulisan esai.
Bertema “Jepang di Mata Orang Indonesia”, kegiatan ini diperuntukkan bagi mahasiswa warga negara Indonesia yang berusia berusia antara 18 dan 23 tahun. Peserta harus mengirimkan karya esainya berbentuk print-out dan soft copy dengan format CD.
Namun, bukan hanya uang yang akan menjadi penyemangat mengikuti lomba. Panitia juga akan memilih lima karya terbaik untuk dikumpulkan dan diterbitkan dalam sebuah buku. Buku terbitan The Japan Foundation ini kemudian akan dibagikan ke berbagai perpustakaan dan taman bacaan di seluruh Indonesia.
Bagi yang tertarik, karya tulis harus dikirimkan ke The Japan Foundation di Gedung Summitmas I Lantai 3 di Jalan Jenderal Sudirman Kavling 61-62, Jakarta kode pos 12190 atas nama Dipo Siahaan. Karya diterima paling lambat pada 5 Oktober 2009. Pemenang akan diumumkan pada 6 November 2009 di Aula The Japan Foundation, Jakarta.
Informasi lebih lanjut bisa menghubungi Dipo melalui email dipo@jpf.or.id atau telepon di 021-5201266.

Lomba Resensi Buku

Panitia lomba menulis resensi buku "Jurnalisme Masa Kini" karya Nurudin, Rajawali Pers, Jakarta, 2009 mengundang masyarakat umum untuk mengikuti lomba:
Syarat-syarat:
1.Terbuka untuk umum.
2.Naskah yang dilombakan harus pernah dimuat di media cetak Indonesia antara bulan Juli-September 2009.
3.Akan dipilih 3 pemenang oleh dewan Juri.
4.Keputusan dewan Juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat menyurat berkaitan dengan lomba.
5.Pengumuman pemenang akan diumumkan sekitar bulan Oktober-Nopember 2009.
Pemenang akan mendapatkan:
1.a. Juara I mendapatkan honorarium Rp. 300.000,-
b. Juara II mendapat honorarium Rp. 200.000,-
c. Juara III mendapat honorarium Rp. 100.000,-
2.Juara juga akan mendapatkan piagam penghargaan.
3.Hak cipta tulisan resensi ada pada penulis masing-masing.
4.Hadiah akan dikirim ke alamat pemenang.
Kirimkan karya Anda ke:
Panitia Penulisan Resensi Buku:
Jalan Ulil Abshar no. 47, Mulyoagung, Dau, Malang 65151
Dengan melampirkan:
1.Bukti naskah resensi asli yang sudah dimuat di media cetak.
2.Menyertakan alamat lengkap, nomor telepon, e-mail dan nomor rekening.

Minggu, 02 Agustus 2009

Lomba Karya Ilmiah Bank Indonesia

Latar Belakang
Sistem keuangan memiliki peran yang sangat strategis dalam perekonomian, yakni melakukan fungsi intermediasi, transmisi kebijakan moneter, penyedia instrumen keuangan, pengelolaan aset (wealth management), sumber pembiayaan sektor riil, serta sistem pembayaran dan setelmen (Hadad, 2009). Sistem keuangan yang terdiri atas unsur-unsur pasar, instrumen, pelaku, peraturan dan regulasi, serta kontrol dan pengawasan dalam menjalankan fungsinya, memerlukan landasan hukum yang efektif, peraturan yang memadai, dan secara politis independen agar memiliki kredibilitas, reputasi dan dapat dipercaya (Arani,2009).
Terjadinya krisis keuangan di berbagai belahan dunia terutama sejak tahun 1990 menelan biaya yang sangat besar baik secara sosial maupun politik. Hal ini mengakibatkan muncul fungsi baru yang menjadi perhatian utama bank sentral mengenai pentingnya menjaga stabilitas sistem keuangan. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa stabilitas sistem keuangan dan perekonomian memiliki korelasi yang positif. Selain itu, dalam menghadapi krisis keuangan bank sentral memiliki peran strategis untuk memitigasi terjadinya instabilitas sistem keuangan. Melalui instrumen dan kebijakan yang dimiliki, bank sentral dapat segera mengurangi tekanan likuiditas sehingga mempercepat pemulihan kepercayaan masyarakat, dan menetapkan kebijakan yang tepat atas dasar hasil monitoring dan suveillance terhadap sistem keuangan. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, pada tahun 2003 Bank Indonesia menetapkan misi berupa “mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang berkesinambungan”.
Pengalaman krisis membuktikan bahwa semakin kompleks dan terintegrasinya sistem keuangan mengandung konsekuensi semakin meningkatnya risiko di sistem keuangan yang bersifat sistemik. Kegagalan sistem keuangan pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan perekonomian. Dengan demikian, merupakan tantangan bagi Bank Indonesia dalam pencapaian misinya dimaksud. Sehubungan dengan hal itu, dengan tujuan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat khususnya akademisi dan masyarakat umum untuk berperan aktif dalam pengembangan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia menyelenggarakan lomba karya ilmiah dengan tema “Stabilitas Sistem Keuangan dan Tantangan Peran Bank Indonesia ke Depan”. Adapun peserta dapat memilih sub tema yang terkait dengan :
1. Stabilitas Sistem Keuangan dan Struktur Sistem Keuangan
2. Stabilitas Sistem Keuangan dan Pengembangan Sistem Deteksi Dini
3. Stabilitas Sistem Keuangan dan Sistem Pengawasan
Ketentuan Lomba
1. Peserta terbuka untuk masyarakat umum, baik perorangan maupun kelompok. Perlombaan ini tertutup bagi karyawan Bank Indonesia dan pihak yang terafiliasi dengan Bank Indonesia.
2. Naskah asli, bukan saduran/terjemahan, dan merupakan hasil pemikiran penulis sendiri atau kelompok yang belum pernah dipublikasikan di media massa.
3. Judul bebas sepanjang mengacu pada tema.
4. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
5. Tulisan paper harus mengikuti petunjuk penulisan yang disyaratkan panitia.
6. Peserta lomba diwajibkan mengisi formulir registrasi dan pernyataan keaslian karya ilmiah, sebagaimana terlampir.
7. Karya ilmiah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Diharuskan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.
8. Karya ilmiah dikirimkan dalam bentuk softcopy (file pdf dan MS word) dan dalam bentuk hardcopy sebanyak 1 (satu) eksemplar, beserta CV, formulir registrasi dan pernyataan keaslian karya ilmiah (terlampir) dalam 1 amplop tertutup dan dipojok kiri atas ditulis Lomba Karya Ilmiah SSK 2009.
9. Tata cara penyampaian karya ilmiah tersebut di atas adalah sebagai berikut :
- Dalam bentuk softcopy (file pdf dan word) paling lambat 14 September 2009 dapat dikirimkan ke alamat email: dpnp.bssk@gmail.com.
- Dalam bentuk hardcopy melalui pos paling lambat tanggal 14 September 2009 (cap pos) atau di antar langsung paling lambat tanggal 14 September 2009 pukul 16.00, ke alamat :
Panitia Lomba Karya Ilmiah SSK 2009
BIRO STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia
Gedung A, Lt. 9, JI. M.H. Thamrin No.2
Jakarta Pusat, 10350
10. Beberapa hasil riset terkait topik Stabilitas Sistem Keuangan dapat dilihat di:
http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Perbankan+Stabilitas+Keuangan
http://w4.stern.nyu.edu/news/news.cfm?doc_id=101000
http://www.cepr.org/pubs/new-dps/dplist.asp?dpno=6984.asp
11. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi lkissk09@bi.go.id
Petunjuk Penulisan
1. Tulisan adalah orisinil dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya baik pada publikasi internal maupun eksternal.
2. Tulisan dibatasi maksimum 25 halaman, spasi 1, font Times New Roman ukuran 12.
3. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation.
4. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi ditulis dalam Bahasa Inggris dan sebaliknya.
5. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal of Economic Literature (JEL). Klasifikasi JEL dapat dilihat pada : http://www.aeaweb.org/journal/jel_class_system.html
6. Penulisan paper mengikuti garis besar sistematika sebagai berikut:
I. Latar Belakang
II. Landasan Teori (Literature Review)
III. Metodologi dan Data
IV.Hasil Analisa
V. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Penambahan judul bab maupun sub bab atas sistematika tersebut di atas dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
I. Bab
I.1. Sub Bab
I.1.1. Sub Sub Bab
7. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote.
Contoh:
…Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2004 diperkirakan sebesar 4,2-4,7 persen (Bank Indonesia, 2004).
…Dalam model ekonometrinya, Cox dan Japelli (1993, hal.201) menggunakan variabel boneka-laten yang hanya dapat terobservasi jika permintaan kredit konsumsi adalah positif dan rumah tangga tidak memiliki kendala kredit.
8. Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut:
a. Publikasi buku: John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch. 1940. Business Forecasting. New Jersey: Prentice Hall. hal. 330-332.
b. Artikel dalam jurnal: Duca, John V. dan Stuart S. Rosenthal. 1992. Borrowing Constraints, Household Debt, and Racial Discrimination in Loan Markets. Journal of Financial Intermediation, hal. 3, 77-103.
c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K. 1995. “Empirical Research on Nominal Exchange Rates”, dalam Gene Grossman dan Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, hal. 1689-1729.
d. Kertas kerja (working papers): Kremer, Michael dan Daniel Chen. 2000. Income Distribution Dynamics with Endogenous Fertility. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper No. 7530.
e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Magri, S. 2002. Italian households’ debt: determinants of demand and supply. Mimeo. Rome: Bank of Italy.
f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Alan W. Heston. 1997. Penn World Table, Version 5.6. http://pwt.econ.unpenn.edu/
g. Artikel di Koran, majalah, dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. April 12, 1993. “Killed by Kindness.” Newsweek, hal. 50-56.
Penentuan Pemenang dan Penghargaan
1. Dewan Juri adalah wakil dari akademisi.
2. Kriteria penjurian antara lain kesesuaian riset yang dilakukan dengan topik yang dipilih, metodologi riset yang digunakan, sistematika penulisan, penguasaan masalah dan rekomendasi kebijakan.
3. Bank Indonesia akan mengundang maksimum 8 (delapan) finalis untuk melakukan presentasi kepada dewan juri.
4. Bank Indonesia akan menanggung biaya transportasi dan akomodasi di wilayah Indonesia bagi finalis yang terpilih (maksimal 2 orang peserta bagi peserta kelompok).
5. Keputusan akhir pemenang setelah finalis mempresentasikan karyanya.
6. Keputusan Dewan Juri bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat.
7. Pemenang akan diumumkan melalui website BI, dan pemenang juga akan dihubungi melalui e-mail, surat atau telepon.
8. Hak cipta karya ilmiah yang telah dikirimkan tetap menjadi hak cipta penulis, namun Bank Indonesia berhak menyimpan salinan karya ilmiah sebagai arsip.
9. Hak cipta karya ilmiah pemenang tetap menjadi hak cipta penulis, namun Bank Indonesia berhak mempublikasikannya.
Hadiah
Bank Indonesia menyediakan total hadiah senilai Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)* bagi para penulis karya ilmiah terbaik berikut trofi dan sertifikat dengan rincian sebagai berikut :
- Pemenang I Rp. 40.000.000,-
- Pemenang II Rp. 25.000.000,-
- Pemenang III Rp. 15.000.000,-
- 2 ( dua) Pemenang Nominasi Utama @ Rp. 10.000.000,-
* Pajak Hadiah ditanggung pemenang

Kompetisi Esai Mahasiswa

Ajang Kompetisi Esai Mahasiswa 2009 dengan tema “Menjadi Indonesia” yang digelar oleh Tempo Institute dalam rangka memperingati delapan windu Indonesia merdeka diperpanjang tenggat waktunya yaitu sampai dengan 30 September 2009 (Cap Pos). Berikut ini adalah informasi lebih lengkap mengenai Kompetisi Esai Mahasiswa 2009:

Kompetisi Esai Mahasiswa 2009

Nasionalisme hanyalah kata-kata kosong sampai kita mengisinya dengan gagasan, sikap kritis, pengalaman, dan harapan.

Kompetisi Esai untuk Mahasiswa 2009 “Menjadi Indonesia” digelar TEMPO INSTITUTE dalam rangka memperingati delapan windu Indonesia merdeka.

TEMA: “Nasionalisme di Mata Saya”

Pastikan memulai esaimu dengan menggambarkan kondisi lokal. Berikut ini contoh sudut pandang yang bisa dipilih:

1. BUDAYA
Budaya adalah keseluruhan sistem sosial masyarakat. Bagaimana membangun Indonesia yang punya kebanggaan, keteguhan, tidak rendah diri, malu korupsi?

2. EKONOMI
2009 adalah tahun ekonomi kreatif. Bagaimana menjadikan ekonomi kreatif sebagai bagian dari mendefinisikan kembali nasionalisme secara mutakhir?

3. KEPEMIMPINAN
Nilai-nilai kepemimpinan, terutama melayani masyarakat, dewasa ini tidak mendapat tempat yang baik. Apa yang mestinya dilakukan kaum muda yang nota bene adalah pemimpin masa depan?

4. SOSIAL
Indonesia adalah negara yang bhinneka. Namun, belakangan ini kebanggaan pada keragaman perlahan terkikis. Apa yang bisa kamu lakukan untuk menumbuhkan kembali kebanggaan akan keragaman?

PESERTA:
Mahasiswa program D3, S1.

DEWAN JURI:
Terdiri dari akademisi, budayawan, aktivis sosial dari berbagai kalangan.

MENTOR:
Peserta dipersilakan berdiskusi, konsultasi, dengan mentor yang disediakan panitia.

PERSYARATAN:

* Panjang esai 5—10 halaman kuarto, spasi ganda.
* Belum pernah dipublikasikan.
* Dikirimkan kepada panitia melalui surat elektronik ke:
menjadi-indonesia@mail.tempo.co.id
* Dikirimkan via pos ke alamat sekretariat “Menjadi Indonesia”, Jalan Proklamasi 72, Jakarta 10320.

KRITERIA PENILAIAN

* Mengemukakan gagasan kreatif yang memberi kontribusi bagi masyarakat.
* Orisinalitas gagasan mendapat porsi penilaian lebih dibanding keindahan tata bahasa.

TENGGAT DIPERPANJANG SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009 (CAP POS)

HADIAH:
Pemenang I: Laptop dan uang tunai Rp 6.000.000
Pemenang II: Laptop dan uang tunai Rp 4.000.000
Pemenang III: Laptop dan uang tunai Rp 2.000.000

Pengumuman pemenang: 10 Oktober 2009. Dua puluh peserta terbaik akan mendapat kesempatan mengikuti “Kemah Menulis” di Jakarta, Oktober 2009.

KONTAK:
Ikhwanul Huda (Iwan)
021-3916160 ext. 220
HP. 021-98371997

INFO LENGKAP: http://www.tempoinstitute.org

Kabinet SBY-Boediono

Oleh Randi Kurniawan
(Sekretaris Umum HMI Ekonomi UGM)

Dimuat di Seputar Indonesia, 28 Juli 2009
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil perhitungan suara pemilihan presiden 2009. Hasilnya, SBY-Boediono menempati urutan pertama dengan perolehan suara 60,8 persen, sementara Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto menempati urutan kedua dan ketiga dengan perolehan suara masing-masing 26,79 persen dan 12,41 persen. Dengan hasil ini, SBY memenangkan pilpres dengan satu putaran saja. Kemenangan ini membuktikan legitimasi yang sangat besar dari rakyat untuk SBY-Boediono. Ini merupakan modal yang besar bagi SBY dalam memimpin bangsa ini 5 tahun ke depan.

Setelah terpilih, tugas presiden adalah menentukan orang-orang yang menduduki kursi kabinet. Dalam politik, penentuan menteri ini sangat penting sebab mereka lah yang nantinya menerjemahkan janji-janji presiden dalam bentuk program-program konkret. Dengan kata lain, keberhasilan SBY dalam memimpin bangsa ini selama 5 tahun ke depan sangat tergantung pada keberhasilan menteri-menterinya menerjemahkan visi dan misi yang disampaikan saat kampanye. Karena itu, wajar bila pemilihan menteri ditentukan sepenuhnya oleh presiden, di mana dapat dipilih orang yang tepat sesuai dengan kriteria yang diinginkan.

Namun, ternyata pembentukan kabinet tidak bisa tidak harus dikompromikan dengan partai-partai yang mengusungnya menjadi presiden. Kita tahu, SBY-Boediono didukung sejumlah partai politik yang lolos ke parlemen. Koalisi ini ditujukan untuk memenangkan pasangan SBY-Boediono, serta mendukung pemerintahan/eksekutif di parlemen sampai 2014 nanti. Bila pasangan ini menang, wajar bila kader-kader partai pendukung dimasukkan dalam kabinet, sebagai salah satu strategi presiden untuk tetap mengikat dukungan partai koalisi pemerintahan. Dukungan ini ditujukan untuk memudahkan disetujui kebijakan-kebijakan pemerintah yang sering kali dihadang parlemen karena pertimbangan politik praktis. Bila pendukung pemerintah di parlemen lebih besar dibanding yang tidak mendukung, dipastikan lebih mudah bagi pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak.

Namun kelemahannya, menteri yang berasal dari partai politik biasanya tidak menjalankan tugasnya secara optimal, karena dihadang berbagai kepentingan, terutama bila mereka menempati posisi yang memunculkan banyak vested interest, misalnya di bidang ekonomi. Posisi tersebut, seperti menteri keuangan, perindustrian, pertanian, perdagangan, serta meneg BUMN. Selain itu, posisi seperti menteri pertahanan juga seyogianya tidak diisi oleh partai politik, melainkan dari kalangan profesional yang kompeten di bidang tersebut. Kalau toh ada dari kalangan partai yang mumpuni pula, sebaiknya juga tetap diserahkan pada kalangan non-partai, sebab kepentingan politik praktis tidak boleh dimasukkan dalam pengambilan kebijakan di kementrian tersebut. Ini dimaksudkan untuk menghindari pencitraan politik dari golongan tertentu dengan pengambilan kebijakan-kebijakan yang populis, tapi mengabaikan rasionalitas kebijakan.

Karena itu, untuk urusan-urusan yang memunculkan vested interest yang besar, seyogianya diserahkan pada kalangan profesional yang kompeten, berintegritas, serta memiliki loyalitas. Kalangan profesional yang dipilih mestinya pula merupakan orang-orang yang punya pengetahuan politik, serta memiliki kemampuan negosiasi dan membentuk jaringan di parlemen. Sebab, kalangan profesional yang memiliki hubungan baik dengan anggota dewan, serta diakui keahliannya oleh publik, bisa mereduksi pertentangan antara kepentingan politik praktis dengan kepentingan kementrian itu sendiri dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan publik, bukan kepentingan golongan politik tertentu. []