Kamis, 20 Agustus 2009

Memaknai Kemerdekaan

Oleh Randi Kurniawan

Benarkah kita sudah merdeka? Pertanyaan ini bisa jadi merupakan pertanyaan bodoh, tapi bisa pula menjadi pertanyaan cerdas. Dianggap bodoh karena jawaban dari pertanyaan tersebut sudah pasti bisa dijawab, bahkan oleh anak SD sekalipun. Namun bisa pula menjadi pertanyaan cerdas, sebab makna kemerdekaan yang dimaksud bisa jadi memiliki ukuran yang berbeda dibanding yang dipahami secara umum, sehingga pantas dipertanyakan.

Berangkat dari hal tersebut, penulis menggunakan pertanyaan di atas pada konteks yang kedua. Namun penulis tidak berpretensi bahwa siapapun orang yang bertanya demikian bisa dipastikan cerdas. Pertanyaan tersebut diniatkan untuk menjadi pertanyaan cerdas, bukan pertanyaan bodoh. Penulis yakin bahwa di satu sisi kita sudah merdeka, tapi di sisi lain, ternyata kita belum merdeka. Apa sisi-sisi itu?

Bung Karno, seperti dikutip HS Dillon, mengatakan bahwa kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia pada 1945 merupakan kemerdekaan di bidang politik. Artinya, kedaulatan Indonesia sebagai negara, memperoleh pengakuan baik secara de jure maupun de facto. Kemerdekaan tersebut merupakan berkah dari Allah SWT, sekaligus merupakan hasil perjuangan segenap rakyat Indonesia yang harus dibayar dengan harta, pikiran, tenaga, waktu, bahkan nyawa. Tentu kita patut mengingat jasa-jasa rakyat Indonesia yang telah berkorban demi meraih kemerdekaan.

Namun kemerdekaan itu, lagi-lagi dimaknai sebatas kemerdekaan politik. Bangsa Indonesia sudah tidak dijajah lagi oleh Belanda ataupun Jepang. Bangsa ini tidak perlu berjuang di medang perang karena memang sudah tidak ada peperangan militer lagi. Kini bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, yakni suatu bangsa yang bebas menentukan nasibnya sendiri. Namun apakah kemerdekaan itu cukup?

Cukup atau tidaknya capaian dari kemerdekaan tersebut sangat tergantung pada ukuran atau indikator apa yang kita gunakan dalam mengukur makna kemerdekaan. Dalam perspektif penulis, indikator kemerdekaan yang sesungguhnya, terlalu sempit bila hanya dimaknai sebagai kemerdekaan politik, melainkan kemerdekaan di berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial dan budaya, dan lain-lain.

Dalam bidang ekonomi, kita masih berkubang di dalam sarang kemiskinan. Berdasarkan data BPS, pada Februari 2009, anak bangsa yang berada di bawah garis kemiskinan, yakni yang pengeluaran konsumsinya di bawah Rp 10.000 per hari masih berjumlah 32,5 juta jiwa. Bayangkan bila kita hidup dengan uang Rp 10.000, apakah kita bisa hidup dengan layak? Jawabnya, kemungkinan besar tidak. Kalau manusia belum bisa hidup layak, penulis anggap belum masuk dalam kategori merdeka. Mereka masih dijajah oleh penderitaan ekonomi. Tragis.
Di bidang sosial dan budaya, kita juga masih tercengkeram oleh dominasi budaya barat. Pemikiran-pemikiran dari barat mendominasi cara berpikir kita, bahkan ada anak bangsa yang cara berpikirnya lebih barat dibanding orang barat. Budaya-budaya barat kita anggap lebih unggul dibanding budaya lokal, sehingga kita cenderung menanggalkan identitas diri kita yang sesungguhnya. Uniknya, tercerabutnya kita dari identitas yang sesungguhnya, bukannya membawa kemajuan, tapi justru membawa keterbelakangan. Benarkah? Sebagian orang tidak setuju, terutama bagi kalangan yang terlalu melebih-lebihkan budaya barat. Orang seperti ini juga kerap kali menggunakan indikator-indikator kemajuan yang kita capai setelah mengabdi pada budaya barat, tanpa melihat ekses negatif dari pilihan tersebut. Namun apakah ini pilihan yang menarik? Tentu saja tidak, sebab pilihan tersebut telah mengantarkan kita pada suatu kondisi yang hampir sama dengan masa penjajahan sebelum tahun 1945. Mau tidak mau, kita harus memaknai kemerdekaan sebagai suatu pilihan untuk terbebas dari segala macam penindasan dan penjajahan, baik fisik maupun non fisik. Bila kita masih dijajah, tentu kita masih berada dalam keterbelakangan. Karena itu, tantangan ke depan adalah terbebas dari penjajahan non fisik tersebut. [Disampaikan pada Diskusi Rutin HMI Komisariat Ekonomi, Rabu, 19/8/2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar