Selasa, 31 Maret 2009

Tidak Sesingkat Membalikkan Tangan

Oleh Iqbal Kautsar

Seputar Indonesia, 14 Maret 2009
Pada 4 Maret lalu, Bank Indonesia mengumumkan penurunan BI Rate sebesar 50 basis poin menjadi 7,75%. Pemangkasan BI Rate hingga 200 basis poin dalam empat bulan terakhir ini merupakan salah satu upaya memperkuat perekonomian nasional dalam rangka mencegah imbas yang lebih dalam dari krisis global saat ini.

Ketika BI Rate diturunkan, tentu alur yang diharapkan adalah sektor perbankan ikut pula menurunkan suku bunga kreditnya. Jika perbankan telah menurunkan suku bunga kreditnya, ini akan berdampak pada peningkatan minat masyarakat mengajukan kredit ke bank. Ketika kredit usaha yang diminta banyak, maka sektor ekonomi riil pun akan bergairah. Implikasinya, penciptaan lapangan kerja akan semakin meningkat karena dunia usaha diringankan dengan penyediaan modal yang bersuku bunga lebih rendah. Ancaman keterpurukan ekonomi Indonesia pun bisa dihindari dengan inisiasi kebijakan penurunan BI Rate ini.

Idealnya, jika suku bunga acuan BI 7,75%, suku bunga kredit perbankan bisa turun sekitar 4% dari kisaran yang ada saat ini, 14-16%. Namun, tidaklah mudah bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga dari kisaran itu. Ini dikarenakan kemungkinan terjadinya penurunan pendapatan yang besar dari usaha pemberian kredit ke masyarakat. Selama ini, diketahui bahwa penyumbang terbesar pendapatan perbankan adalah usaha pemberian kredit.

Padahal, sebenarnya tidak ada alasan lagi suku bunga kredit untuk tidak turun. Di tengah hantaman krisis, kemampuan kredit masyarakat tentu tidak sekuat ketika sebelum krisis. Jika suku bunga kredit tidak turun, dikhawatirkan akan terjadi peningkatan kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Ini tentu akan membuat bank-bank dalam kondisi berbahaya karena tidak adanya atau kurangnya kredit yang kembali.

Ini lah yang membuat perbankan dalam kondisi dilematis. Oleh karena itu, perbankan membutuhkan waktu transisi antara penurunan BI Rate dengan suku bunga kredit. Masa transisi itu pun bervariasi tergantung dengan kemampuan likuiditas masing-masing bank.
Paling tidak dibutuhkan jeda waktu satu bulan untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit. Jeda waktu ini digunakan perbankan untuk menyesuaikan dengan tingkat suku bunga dananya, seperti: giro, deposito dan tabungan. Bank yang memiliki likuiditas yang baik tentu lebih mudah menurunkan suku bunga dananya. Jelasnya, dalam menurunkan suku bunga kredit perlu diikuti dengan penurunan suku bunga dana perbankan, agar tetap terjadi margin yang rasional bagi likuiditas perbankan.

Memang, kebijakan yang dilakukan oleh BI adalah bertujuan untuk menyelamatkan keadaan ekonomi Indonesia, utamanya sektor riil, tetapi mengaplikasikan kebijakan ini perlu proses dan waktu yang tidak sesingkat membalikkan tangan. Sektor perbankan tentu mempunyai aturan dan syarat tersendiri dalam menurunkan suku bunga kreditnya. Semua harus dipikirkan secara bijaksana agar jangan sampai terjadi masalah yang menyengsarakan rakyat di kemudian hari.

Mengutamakan Aspek Kemanusiaan

Oleh Iqbal Kautsar

Seputar Indonesia, 17 Januari 2009
Tak bisa dipungkiri, kebiadaban agresi militer Israel ke Jalur Gaza yang telah berlangsung sejak 27 Desember 2008 lalu telah memberikan duka teramat dalam bagi 1.4 juta rakyat Palestina di jalur Gaza. Sudah lebih dari 1200 nyawa rakyat Palestina, termasuk 410 anak-anak, melayang sia-sia. Lebih dari 5000 korban cedera akibat tindakan tak berperikemanusiaan Israel .

Kondisi infrastruktuar di Jalur Gaza pun hancur lebur. Jalan-jalan, sekolah, masjid, jaringan gardu listrik, saluran air bahkan rumah sakit banyak tak luput dari sasaran serangan Israel. Jaringan listrik, air bersih dan telepon sudah tidak tersedia lagi. Bahkan, sekitar 14 persen dari total bangunan di Jalur Gaza tak bisa lagi digunakan. Menurut Biro Pusat Statistik Palestina (17/1), kerugian infrastruktur diperkirakan telah mancapai Rp 5,235 triliun.

Melihat kondisi seperti itu, bisa dibayangkan betapa menderitanya rakyat Gaza saat ini. Rakyat Gaza yang masih hidup mengalami tekanan psikologis dan psikis karena setiap menit dihantui bom-bom dan rudal-rudal Israel. Di tambah lagi, keinginan mereka untuk keluar dari ‘medan pembantaian’ ini tidak bisa dilaksanakan karena adanya tembok pembatas yang dibangun Israel. Bantuan kemanusiaan untuk menolong rakyat Gaza juga tidak leluasa masuk karena kontrol dan pembatasan yang ketat dari Israel. Rakyat Gaza mau tidak mau harus menerima kenyatan pahit ini.

Jujur saja, saya yang di sini melihat saja, merasakan betapa perihnya perang ini, apalagi rakyat Gaza yang mengalaminya. Daripada kita memikirkan siapa yang salah atau yang benar, entah itu Israel atau Hamas, lebih baik kita lebih memperhatikan usaha penyelamatan rakyat Gaza. Faktor kemanusiaan adalah hal terpenting untuk dipenuhi.

Menurut hemat penulis, ada tiga usaha yang mendesak dilakukan untuk menyelamatkan rakyat Gaza. Pertama, penghentian agresi militer Israel ke jalur Gaza yang dibarengi dengan penghentian serangan roket Hamas ke wilayah Israel. Usaha ini merupakan yang paling utama dilakukan agar rakyat Gaza bisa tenang menjalani kehidupan seperti sedia kala.
Kedua, baik Israel maupun Mesir sebagai negara yang berbatasan dengan Jalur Gaza, harus membuka seluas-luasnya pintu perbatasannya untuk memberikan akses masuk bagi relawan dan bantuan kemanusiaan internasional. Rakyat Gaza saat ini sangat mengharapkan bantuan seperti obat-obatan, makanan dan pakaian untuk bisa bertahan hidup.

Ketiga, ini yang semestinya harus dilakukan oleh setiap bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sebagai sesama umat manusia, khususnya muslim, harus melakukan jihad untuk membantu rakyat di jalur Gaza. Jihad di sini bukan dimaksudkan dengan jalur kekerasan, tetapi kita melakukan jihad melalui harta dan doa kita.

Mari kita mendonasikan harta kita lewat jalur-jalur bantuan yang resmi dan terpercaya. Mari pula kita berdoa demi ketegaran dan ketabahan rakyat Gaza dalam menghadapi cobaan ini. Sahabat kita di Gaza tidak butuh tentara untuk melawan Israel, tetapi mereka lebih membutuhkan bantuan materi dan spiritual dari kita

Sikap ‘Malu-Malu Kucing’ Pemerintah

Oleh Iqbal Kautsar

Seputar Indonesia, 25 Februari 2009
Ketika kondisi perekonomian internasional terguncang krisis, hal yang lazim dilakukan tiap negara adalah proteksionisme. Setiap negara akan berusaha melindungi perekonomian dalam negerinya dengan membangkitkan kekuatan ekonomi nasional tanpa tekanan impor. Salah satu alasan yang mendorong langkah proteksi adalah mempertahankan lapangan kerja bagi penduduk lokal untuk mencegah pengangguran.

Suara proteksionisme kini tengah keras didengungkan tiap negara setelah AS mengeluarkan kebijakan “buy American” sebagai satu upaya mengatasi ambruknya perekonomiannya. Langkah penggunaan produk lokal yang disertai hambatan produk impor ditengarai disebabkan oleh gencarnya serbuan produk dari China, Jepang dan lainnya yang membuat kondisi ekonomi AS kian terpuruk. Langkah ini menuai kecaman karena berimbas pada negara lain yang menggantungkan tujuan ekspornya pada AS.

Parahnya, negara-negara lain pun berupaya meniru langkah proteksi AS untuk menyelamatkan perekonomian dalam negerinya. Kondisi ini dapat memperparah resesi global yang terjadi sekarang jika negara lain tidak dapat menjual produknya ke luar negeri. Babak baru Great Depression terancam terjadi karena pada tahun 1930-an, negara-negara menutup pasar mereka dan Great Depression semakin dalam.

Indonesia pun akhirnya terlibat dalam upaya yang menjurus pada proteksionisme. Kebijakan pemerintah yang melegalkan impor hanya masuk dari pelabuhan tertentu, guna mencegah impor ilegal, adalah upaya yang temasuk melindungi produk dalam negeri. Alasannya, karena maraknya “serangan”produk impor Cina yang sebagian besar ternyata produk illegal.
Walaupun demikian, Indonesia tidak berani mengatakan secara jelas bahwa telah melakukan proteksionisme. Ada ketakutan dari pemerintah bahwa jika Indonesia melakukan proteksi maka barang-barang ekspor Indonesia tidak akan diterima oleh negara lain. Ini merupakan dampak dari globalisasi sekarang, perdagangan harus saling terbuka dan menguntungkan tiap negara.

Sebagai ‘anak emas’ IMF, Indonesia masih bersikap malu-malu kucing pada kondisi seperti ini. Padahal jika sadar, Indonesia merupakan sasaran empuk bagi produk-produk Amerika, Jepang dan China karena memiliki jumlah penduduk yang besar. Apakah tidak ironis, jika kedai kopi Starbucks yang baru saja 61 dari total 84 gerainya di Australia akibat krisis global, malah di Indonesia semakin meningkat jumlah gerainya. Hal ini disebabkan Indonesia sudah terlalu sangat terbuka dengan produk-produk asing

Seharusnya, dengan upaya proteksi dalam negeri maka kesempatan produsen dalam negeri menjadi raja di rumah sendiri menjadi lebih besar. Jika perlindungan atas produk impor memang kuat, secara otomatis kesejahteraan rakyat akan meningkat karena produk dalam negeri dikonsumsi oleh masyarakatnya sendiri yang membuat para produsen pun bisa memacu produktivitasnya. Seharusnya pemerintah tidak perlu malu terhadap kemampuan produk dalam negeri.

Otoritarian Pemerintah SBY

Oleh Iqbal Kautsar

Seputar Indonesia, 17 Juli 2008
Ketika aktivis penegakan suara keadilan diburu dan ditangkap, sejarah kembali terulang. Model Orba yang represif mengekang kebebasan berpendapat telah jadi acuan ‘lagi’ bagi pemerintah dalam penyelesaian masalah menyangkut anarkisitas demonstrasi.

Kasus penangkapan aktivis yang diduga dalang kerusuhan 24 Juni dapat kita lihat sebagai kegamangan dan kepanikan pemerintah dalam menghadapi demonstrasi yang membesar. Pemerintah ‘kepepet’ sehingga melakukan cara lama yang ‘tidak etis’ dengan menangkapi para aktivis. Alasan yang dibuat pun sangatlah miris untuk diungkapkan dalam penegakan demokrasi, yaitu melanggar ketertiban sosial.

Pemerintah sangat tidak bijak dalam hal ini karena terus mengkambinghitamkan para aktivis. Pemerintah tidak berkaca pada kebijakan-kebijakan yang menjadi penyulut api demonstrasi. Kebijakan kenaikan BBM adalah hal kontroversial yang jelas-jelas ditolak oleh masyarakat. Apa yang dilakukan aktivis adalah perjuangan untuk memperjuangkan suara penderitaan rakyat kecil.

Tindakan anarkis dalam demonstrasi tidak akan muncul jika tidak ada provokasinya. Saat ini kita selalu terpaku bahwa kerusuhan diprovokasi oleh orang yang menghasut melakukan pengrusakkan. Namun, jika aktivis yang notabene adalah kaum berpendidikan dan pejuang sosial kerakyatan sampai terlibat dalam kerusuhan, tentu dapat dibayangkan betapa tiraninya suatu pemerintah di negeri ini. Pemerintah dengan kekuasaannya sebenarnya adalah provokator setiap kerusuhan lewat kebijakan yang tidak prorakyat.

Otoritarian penguasa adalah suatu kenangan buruk bagi negara ini. Stigma itu perlahan-lahan melekat pada pemerintahan rezim SBY sekarang. Penguasa terlihat tidak bisa bertindak persuasif dan aspiratif atas gerakan anti pemerintah. Penangkapan aktivis 24 Juni adalah contoh aktualnya. Padahal tindakan unjuk rasa telah sepenuhnya dijamin konstitusi sebagai wujud penghargaan negara atas HAM. Realita penangkapan itu menegaskan bahwa dalam era ini hukum mengabdi pada tirani kekuasaan.

Sayangnya lagi, kezaliman pemerintah berlanjut pada bidang non-politik. Rizal Ramli yang menjabat sebagai komisaris utama BUMN PT Semen Gresik dicopot dari jabatannya. Ada dugaan beliau dicopot bukan karena kinerjanya di PT Semen Gresik melainkan keterkaitannya sebagai inisiator kerusuhan 24 Juni. Kebetulan beliau adalah Ketua KBI (Komite Indonesia Bangkit) yang dituduh sebagai organisasi penggerak kerusuhan.

Jika dugaan itu benar, maka jelas benar kalau pemerintah tidak bersikap profesional karena mencampuradukkan kepentingan politik dengan ekonomi. Kita tahu sendiri bahwa Rizal Ramli adalah tokoh yang sangat vokal dalam penolakan kenaikan BBM. Visi Rizal Ramli sangat bertentangan pemerintah dengan dalam memajukan ekonomi Indonesia. Namun, apa lantas karena perbedaan pendapat, pemerintah sebagai pihak berkuasa dengan enaknya asal copot jabatan. Pemerintah dinilai tidak mampu memberikan ruang bagi perbedaan pendapat dalam hal ini.

Penangkapan aktivis juga dapat kita urut benang merahnya dengan ’mencla-menclenya’ legislatif dalam mengimplementasikan sikap tidak mendukung pemerintah. DPR terkesan sangat lambat dalam upaya meloloskan hak angket penolakan kenaikan harga BBM. Sampai-sampai DPR memerlukan semacam shock therapy berupa cara kasar dengan kekerasan agar dewan menggunakan hak angketnya. Fakta ini secara eksplisit menyuratkan jika DPR akan bertindak pro rakyat karena telah ada stimulus keras yang menyertainya.

Betapa malangnya negeri ini andaikan setiap kebijakan antirakyat keluar, perlu sikap keras untuk merespon dan menentang kebijakan itu. Lagi-lagi aktivis yang akan dikambinghitamkan karena kita dan pemerintah tidak siap untuk beda pendapat. Pemerintah cenderung memaksakan kekuasaannya sebagai perisai atas rasa ketidakbersalahan kebijakan-kebijakannya.

Kisruh DPT dan Perilaku Politikus

Oleh Randi Kurniawan (Kabid Kajian dan Riset HMI Ekonomi UGM)

Harian Jogja, Selasa 31 Maret 2009

Pemilu legislatif makin dekat. Namun pemilu yang akan berlangsung pada 9 April mendatang ini tampaknya masih menyisakan berbagai masalah. Salah satu masalahnya adalah ketidakberesan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ditemukan sejumlah fakta yang menunjukkan bahwa terdapat orang-orang yang belum memiliki hak memilih, tapi sudah terdaftar menjadi pemilih. Pun, terdapat penggelembungan DPT di sejumlah daerah yang tidak sesuai dengan jumlah DPT yang sebenarnya. Bila pemilu tetap dilaksanakan tanpa pembenahan terhadap DPT, nantinya kualitas pemilu dipertanyakan. Kualitas partai politik, caleg-caleg, serta presiden yang terpilih akan dipertanyakan keabsahan kemenangannya.

Dengan masalah validitas DPT, ditambah berbagai masalah lainnya, sejumlah tokoh nasional mengusulkan agar pemilu 2009 ditunda. Penundaan ini akan menghindari kecurangan dalam pemilu dan nantinya diharapkan akan muncul pemimpin yang berasal dari suara mayoritas rakyat, tanpa manipulasi suara. Namun tampaknya pemerintah menutup kemungkinan menunda pemilu ini dengan berbagai macam pertimbangan. Di satu sisi, KPU menganggap masalah DPT sebetulnya bisa diselesaikan. KPU percaya bahwa data-data DPT sudah dianggap valid. Bahkan kasus penggelembungan DPT di Jawa Timur, seperti yang diberitakan di media akhir-akhir ini, dianggap tidak benar oleh KPU.

Namun meski KPU menganggap data DPT valid, kenyataan di lapangan tetap menunjukkan bahwa terdapat keanehan dalam DPT yang tercatat di KPU, misalnya kasus seorang balita memperoleh status sebagai DPT. Bisa saja kejadian ini banyak terjadi di Indonesia, hanya saja tidak terekspos media massa. Fenomena kisruh DPT ini sebetulnya menunjukkan bahwa kinerja KPU belum optimal. Pencatatan orang-orang yang berhak memilih belum diperhatikan secara serius oleh KPU (atau KPUD). Sehingga tak heran bila muncul DPT yang aneh di berbagai daerah karena memang sistem pencatatan yang amburadul. Selain itu, fenomena ini juga tidak terlepas dari perilaku para politikus dan simpatisan partai yang sangat berhasrat untuk memperoleh kekuasaan melalui cara-cara yang melanggar aturan. Lemahnya pengawasan KPU, serta dari Panwaslu tampaknya menjadi peluang bagi para “perusak” ini melancarkan aksi-aksi dengan tujuan menggelembungkan suara.

Tentu saja, kita menginginkan pemilu yang bukan hanya damai dan tertib, tapi juga fair. Partai politik, caleg-caleg, dan bahkan presiden yang terpilih dari pemilu yang tidak fair nantinya hanya akan berbuat kerusakan, bukan berbuat kebaikan. Logikanya sederhana saja, bila untuk memperoleh kekuasaan saja sudah berbuat curang, maka terlebih lagi bila kekuasaan itu sudah diperoleh. Karena itu, kita tidak menginginkan kondisi ini terjadi di negeri kita. Adalah tugas seluruh pihak untuk bekerja sama menyukseskan pemilu legislatif dan presiden ini. KPU dan Panwaslu mesti menjalankan perannya dengan optimal. Terkait dengan masalah DPT, KPU wajib memperjelas DPT yang benar-benar valid, serta memusnahkan DPT yang terbukti tidak valid. Sementara Panwaslu mesti memastikan apa yang dilakukan oleh KPU berjalan sesuai dengan prosedur serta memberikan masukan-masukan. Selain KPU dan Panwaslu, pihak aparat keamanan juga harus proaktif membantu KPU dan Panwaslu untuk memberantas kecurangan-kecurangan dalam pemilu ini. Dan yang tak kalah pentingnya adalah peran masyarakat. Pengawasan masyarakat terhadap lingkungan di sekitar bisa meminimalkan terjadi kecurangan, serta yang terpenting adalah memilih pemimpin dan partai secara cerdas. Karena itu, merupakan tugas kita semua untuk menyukseskan pemilu kali ini. []

Sabtu, 28 Maret 2009

Mengubah Paradigma Berpolitik

Seputar Indonesia, 23 Maret 2009

Oleh Randi Kurniawan

Pemilu legislatif tinggal beberapa hari lagi. Di masa kampanye terbuka seperti yang berlangsung saat ini, partai politik berlomba-lomba berkampanye untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu legislatif yang berlangsung 9 April mendatang. Pemilu legislatif ini sangat penting, sebab hasil pemilu ini sedikitnya banyak mempengaruhi pemilu presiden yang berlangsung tiga bulan setelah pemilu legislatif usai. Karena syarat mengajukan presiden dari partai politik atau gabungan partai politik, yaitu 25 persen suara sah nasional dan 20 persen kursi di legislatif (DPR), maka partai politik, terutama partai-partai besar, berlomba-lomba memenangkan pemilu legislatif ini. Tak heran bila kampanye digelar sebesar mungkin agar bisa memperoleh simpati dan suara rakyat di pemilihan nanti.

Berpolitik memang terkait erat dengan kampanye. Melalui kampanye, partai politik bisa menyosialisasikan visi dan misi atau janji-janjinya pada rakyat. Tentunya hal tersebut wajar dalam berpolitik. Namun bisa lain ceritanya bila kampanye partai politik berisi janji-janji yang sebetulnya tidak realistis tercapai atau hanya sekedar menggombal rakyat. Pengamatan penulis terhadap berbagai kampanye yang digelar partai politik, terlihat jelas isi kampanye yang mengobral janji-janji manis kepada rakyat.

Menurut penulis, fenomena demikian tidak lepas dari paradigma berpikir para politisi yang menganggap kekuasaan sebagai tujuan, bukan alat mencapai tujuan. Sehingga, tak heran bila para politisi tersebut mendesain janji-janji seindah mungkin agar rakyat bisa tergombal dengan janji tersebut. Memang dalam kampanye tersebut para politisi tidak secara eksplisit menyatakan kalau tujuannya adalah meraih kekuasaan, tapi sangat kentara dari kualitas janji-janji yang diobral. Kalau realitas seperti ini terus terjadi, nantinya rakyat Indonesialah yang menjadi korban.

Berbeda halnya bila paradigma berpikir yang menempatkan kekuasaan sebagai alat mencapai tujuan, sebagaimana tujuan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1994, yaitu (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia, (2) Memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia. Kalau menggunakan paradigma demikian, tentunya politisi akan berhati-hati dalam berjanji. Pasalnya, bagi politisi yang memiliki paradigma demikian, berjanji merupakan utang, sementara bila utang tidak dibayar maka konsekuensinya negatifnya bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat kelak.

Karena itu, ciri khas politisi seperti ini adalah mendesain janji-janjinya sedemikian rupa agar janji tersebut tampak realistis di mata rakyat. Janji-janjinya tidak perlu yang muluk-muluk atau menjanjikan sesuatu yang indah pada rakyat. Politisi semacam ini akan mengukur dan menimbang kemampuan dirinya sebelum berjanji, serta bertanya apakah mampu memenuhi janji tersebut. Selain itu, politisi seperti ini sadar betul bahwa kekuasaan merupakan amanah dari rakyat yang harus dipertanggung jawabkan, bukan merupakan tujuan yang nantinya malah menyebabkan rakyat makin menderita. Semoga saja karakter politisi seperti ini, dapat segera terlahir di kancah perpolitikan Indonesia.[]

Perbankan, Suku Bunga, dan Sektor Riil

Seputar Indonesia, 11 Maret 2009

Oleh Randi Kurniawan

Logikanya, perbankan akan menurunkan suku bunga kredit bila Bank Indonesia atau BI menurunkan suku bunga acuan (BI rate). Namun logika ini tampaknya belum berlaku di Indonesia. Terbukti, meski BI rate turun, perbankan belum menurunkan suku bunga kredit.

Secara teoritis, BI rate merupakan salah satu instrumen BI untuk mempengaruhi dinamika moneter dan perbankan di Indonesia. Bila BI rate diturunkan, ini mengindikasikan kebijakan moneter yang longgar, artinya BI menginginkan adanya stimulus untuk menggerakkan perekonomian. Biasanya dalam kondisi resesi atau terjadinya perlambatan ekonomi, BI rate diturunkan. Sementara bila booming, BI rate dinaikkan. Selain BI rate, terdapat instrumen lain seperti penetapan Giro Wajib Minimum, Operasi Pasar Terbuka, dan Moral Suasion. Instrumen tersebut digunakan BI dalam salah tugasnya, yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.

Dalam merespons lambatnya pertumbuhan ekonomi, BI turut ambil peran untuk menggairahkan ekonomi domestik. Pada 3 Maret 2009, BI menurunkan kembali BI rate ke posisi 7,75% dari posisi 8,25%. Langkah ini diambil setelah melihat perkembangan ekonomi domestik dan internasional, khususnya menyangkut terjadinya krisis global yang masih berlangsung hingga saat ini. Perlambatan ekonomi global berdampak pada menurunnya aktivitas produksi domestik, terutama melalui perdagangan internasional. Memang dampak yang dialami Indonesia tidak sebesar dampak yang dialami negara Malaysia dan Singapura karena rasio ekspor terhadap PDB hanya 29% (tahun 2007), sementara Malaysia dan Singapura masing-masing sebesar 110% dan 230%. Namun tetap saja, perlambatan tersebut menekan industri di dalam negeri.

Turunnya BI rate diharapkan menjadi stimulus untuk menggerakkan ekonomi domestik melalui peningkatan investasi. Diakui sektor swasta, khususnya di sektor riil sangat membutuhkan bantuan kapital sebagai tambahan untuk tetap menggerakkan usahanya. Karena itu, pengusaha membutuhkan dana segar agar dapat membiayai aktivitas produksi, sehingga tenaga kerja dapat terus bekerja dan perusahaan tetap menghasilkan produk. Bila sektor riil tetap menghasilkan produk, terlebih lagi bila meningkat, secara umum akan tetap menggerakkan perekonomian domestik.

Perbankan sebagai penyuplai dana, memegang peran penting dalam menyelamatkan sektor riil. Pasalnya dalam kondisi ekonomi yang kurang normal seperti saat ini, pengusaha membutuhkan kemudahan kredit melalui penurunan tarif bunga. Artinya, biaya yang dikeluarkan pengusaha karena meminjam bunga di bank dapat diminimalkan agar total biaya menjadi minimal. Bagi perbankan, terbuka peluang menurunkan suku bunga kredit karena BI rate juga telah turun. Saat BI rate 8,25%, suku bunga kredit perbankan berkisar 14 – 15%. Namun suku bunga kredit tetap bertahan di posisi tersebut meski BI rate sudah di posisi 7,75%. Tentunya, penurunan BI rate ini tidak akan berdampak pada sektor riil kalau perbankan tidak menurunkan suku bunga kredit. Mestinya, suku bunga kredit sudah bisa diturunkan ke level 12 – 13%.

BI memang tidak punya kekuatan lebih untuk mempengaruhi suku bunga kredit, selain melalui penetapan BI rate. Karena itu, bila BI rate kurang signifikan pengaruhnya, mestinya pemerintah sebagai pemilik bank, terutama bank berplat merah memberikan himbauan kepada manajemen bank agar menurunkan suku bunga. Insentif dapat diberikan pada bank BUMN yang berani menurunkan suku bunga kredit. Tentunya, pemerintah bisa mendesain insentif yang tepat bagi bank-bank yang menurunkan suku bunga kredit. []

Rabu, 11 Maret 2009

Meniru Kreativitas Tuhan (Menulis Sebagai Mukjizat Bagi Kaum Muslim)

Oleh M.Iqbal Dawami

“Apabila ingin mengubah dunia, pertama kali yang harus dilakukan adalah mengubah diri sendiri”
“Allah tidak akan mengubah suatu masyarakat, sampai masyarakat sendiri yang mengubahnya”
“Apa yang anda wariskan dalam hidup saat anda sudah mati?”

Disadari atau tidak, peradaban Islam sebenarnya adalah peradaban buku. Hal itu bisa dibuktikan lewat sejarah. Pertama adalah ditandai dengan turunnya ayat al-Qur’an yang pertama kali, berbunyi: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (S.Al-‘Alaq: 1-5).

Pada masa Nabi Muhammad SAW Al-Qur’an mulai ditulis oleh masing-masing sahabat. Setelah Nabi wafat, Umar bin Khattab kemudian menggagas agar Al-Qur’an dijadikan satu mushaf. Dari situ, jadilah Al-Qur’an yang kita lihat saat ini. Ketika Islam menyebar ke luar Mekkah dan Madinah, tuntutan tafsir/interpretasi atas Al-Qur’an menjadi keniscayaan. Hal di disebabkan masyarakat di luar Makkah dan Madinah mempunyai konteks yang berbeda. Dari situ, mulai bermunculan tafsir-tafsir Al-Qur’an. Seiring dengan itu, ilmu-ilmu keislaman--yang terinspirasi dari pokok-pokok Al-Qur’an--mulai bermunculan, sesuai dengan kapasitas keilmuan ulama dan kebutuhan masyarakat pada waktu itu, seperti kitab-kitab fiqih, tasawuf, sejarah, sastra, politik, ekonomi, filsafat, kedokteran, dan lain-lain.

Dari fenomena di atas, tak aneh kemudian ilmu pengetahuan dalam Islam berkembang pesat, dan puncaknya adalah meraih peradabannya. Hampir semua lini mengalami kemajuan: filsafat, politik, ekonomi, arsitektur, dan lain-lain. Warisan-warisan para ulama terdahulu masih dapat kita saksikan pada saat ini. Salah satu warisannya adalah karya tulis (alias buku/kitab).

Jika anda berkunjung ke perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, anda akan mendapatkan deretan kitab-kitab klasik yang ditulis pada abad-abad silam. Kitab-kitab tersebut lazim dijuluki dengan “kitab kuning” (lantaran kertasnya sudah termakan usia, meski tidak mesti berwarna kuning). Sebut saja misalnya, tafsir at-Thabari, tafsir ar-Razy, tafsir az-Zamakhsari, di mana semua kitab itu masing-masing lebih dari sepuluh jilid. Belum lagi, kitab Muqaddimah karya Ibnu Khaldun, Ihya ‘Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, al-Qanun fi ath-Thib karya Ibnu Sina, dan masih banyak lagi.

Pada tulisan ini saya hendak mengatakan bahwa tulisan mempunyai dua manfaat: 1) dapat mengubah seseorang dan masyarakat, dan 2) sifatnya abadi dan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.

Pertama, tulisan dapat mengubah seseorang dan masyarakat. Berbagai karya tulis para ulama adalah salah satu bukti konkritnya. Karya-karya tulis mereka secara tidak langsung telah mengantarkan umat Islam pada kejayaannya. Dengan kata lain, karya tulis mereka mampu mengubah dan menggerakkan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik.

Sisi lain, karya tulis pun mampu mengubah penulisnya sendiri. Beberapa penelitian dan pengalaman orang-orang membuktikan hal itu, bahwa menulis benar-benar memberikan efek sugesti yang baik bagi diri kita, dari berbagai sisi, misalnya kesehatan dan melejitkan potensi, serta merencanakan hidup sukses dan bahagia. (Lebih detailnya silakan baca karangan saya, The True Power of Writing: Menulis itu Menyembuhkan, 2007).

Kedua, tulisan mempunyai sifat yang abadi dan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Bukti konkrit dalam hal ini adalah Al-Qur’an. Bisa kita bayangkan bagaimana jadinya jika Al-Qur’an tidak ditulis, dengan jarak yang yang terbentang begitu jauh baik ruang dan waktu, apakah bisa sampai kepada kita saat ini? Begitu juga dengan karya-karya tulis para ulama terdahulu, jika saja mereka tidak menulis dapatkah mereka mewariskan sesuatu yang abadi kepada generasi mereka berikutnya, yaitu kita? Pun dengan tokoh-tokoh Indonesia, mereka tetap dikenang lantaran terekam dalam buku-buku sejarah, apalagi mereka yang menulis karya tulis (baik fiksi, non-fiksi, maupun memoar/diary).

Dari kedua manfaat menulis di atas, apa yang bisa kita petik hikmah/pelajarannya bagi kita, sebagai umat muslim generasi saat ini dan mendatang?

Nabi bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi”. Dari sabda nabi ini secara tidak langsung mengingatkan bahwa kita (sebagai ulama; ilmuwan/cendekiawan) harus meneruskan tradisi para nabi, yaitu membawa misi kebaikan kepada dunia ini. Lebih-lebih kita sebagai muslim intelektual dan akademis.

Hal itu bisa dilakukan salah satunya adalah melalui tulis menulis. Dengan tulis menulis kesempatan kita amatlah besar. Melalui tulis menulis, benih-benih kebaikan dapat kita sebarkan kepada orang lain, paling tidak kepada diri kita sendiri. Menulis akan mengabadikan kita sepanjang adanya dunia, meski kita telah lama mati. Menulis pula dapat kita wariskan pada anak cucu kita, lebih-lebih pada dunia. Menulis pula—mudah-mudahan—akan dapat menjadi amal baik kita yang akan terus menerus mengalir pahalanya kepada kita, lantaran dibaca dan bermanfaat bagi orang lain, sehingga hal itu menjadi doa bagi kita.

Selamat menulis (apa saja), asal bermanfaat bagi diri sendiri, lebih-lebih bagi orang lain. Scripta manent verba volant! Yang tertulis akan abadi yang terucap akan hilang.

Disampaikan pada LK I HMI Komisariat Ekonomi UGM, Senin 9 Maret 2009

Minimnya Pendidikan Budi Pekerti

Oleh Randi Kurniawan
(Kepala Bidang Kajian dan Riset)

Seputar Indonesia, pada Senin 2 Maret 2009

Akhir-akhir ini, kita kerap dipertontonkan dengan fenomena kekerasan baik yang terjadi di dunia pendidikan, pentas politik, dan kehidupan bermasyarakat di sekitar kita. Kasus penganiayaan yang berujung pada kematian Ketua DPRD Sumatra Utara tampaknya merupakan kisah tragis dari efek buruk diagungkannya kekerasan dalam bertindak. Kasus perkelahian antar gen siswa menunjukkan borok dunia pendidikan kita yang makin jauh dari budi pekerti. Pun, tak terhitung banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di sekitar kita, tak terkecuali di rumah tangga. Lantas, mengapa hal seperti ini terjadi?

Budaya Indonesiai bukanlah budaya kekerasan. Artinya, kekerasan timbul bukan karena akar budaya yang mendorong orang melakukannya. Menurut penulis, penyebabnya adalah makin hari makin minimnya pendidikan budi pekerti di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah.

Anak akan mencontoh apa yang terjadi di keluarganya, sebab di situlah pertama kali dia bersosialisasi. Bila kondisi keluarganya dipenuhi dengan kekerasan, kemungkinan besar anak juga akan senang kekerasan. Apalagi bila anak sering memperoleh tindakan kekerasan dari orang tua atau saudaranya, perilaku yang sama kemungkinan besar akan dilakukan pada lingkungan di luar keluarganya.

Selain di rumah, tempat pendidikan anak yang paling utama adalah sekolah. Hampir sepertiga waktu anak dihabiskan di sekolah. Namun kurikulum pendidikan sekolah yang makin mengurangi porsi pendidikan budi pekerti berimplikasi makin rendahnya budi pekerti siswa. Karena minimnya pendidikan budi pekerti, siswa-siswa tidak mendapat asupan norma-norma yang bisa menjadi guide line dalam bergaul sesama siswa dan bergaul dengan masyarakat. Tak heran bila siswa-siswa tumbuh tanpa pegangan budi pekerti.

Karena itu, sebagai tindakan pencegahan, merupakan kewajiban orang tua dan guru untuk menanamkan pendidikan budi pekerti baik di rumah maupun sekolah. Di rumah, orang tua harus menunjukkan sikap yang jauh dari unsur kekerasan. Kerap kali orang tua kontraproduktif dalam bersikap. Mereka menganggap bahwa kekerasan adalah bentuk didikan pada anak. Perlu dibedakan antara ketegasan dan kekerasan. Ketegasan terhadap anak, bukan berarti harus bersikap keras, seperti menghukum secara fisik, dan lain-lain, sebab tindakan semacam itu sudah tergolong kekerasan. Tapi, ketegasan dimaksudkan sebagai pendidikan yang mengedepankan aturan-aturan, dan bila si anak melanggar maka ada sanksi yang harus dijalani. Bentuk sanksi inilah yang membedakan antara ketegasan dengan kekerasan. Sanksi dalam bentuk ketegasan akan membuat anak sadar terhadap kesalahannya dan dari sanksi tersebut ada manfaat yang diperolehnya. Sementara, sanksi dalam bentuk kekerasan, kemungkinan kecil akan membuat anak sadar dan jelas sekali tidak ada manfaat yang diperoleh dari sanksi tersebut.

Di sekolah, guru harus menanamkan budi pekerti yang baik bagi siswa. Meski, porsi pendidikan budi pekerti makin kurang, seyogianya seorang guru harus kreatif dalam mendidik murid. Di sela-sela penyampaian pelajaran, guru juga harus menyampaikan nilai-nilai dan norma-norma. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya dibekali dengan keilmuan, tapi juga budi pekerti. Seorang guru juga harus menampakkan budi pekerti yang baik karena sikap seorang guru terhadap muridnya merupakan pula pendidikan bagi murid. Bila hal ini dilakukan, maka potensi munculnya kekerasan di masyarakat Indonesia akan berkurang seminimal mungkin. []

Mahasiswa Ilmu Ekonomi UGM

Minggu, 01 Maret 2009

Media dalam Kendali Kapital

ToR Diskusi, Rabu 4 Maret 2009

Siapa sangka, seorang Prabowo Subianto, yang dulunya dikenal sebagai pelanggar HAM, kini dikenal sebagai sosok yang membela hak petani Indonesia. Siapa kira, seorang Osama Bin Laden benar-benar menjadi musuh internasional, padahal sebetulnya dia hanya melawan kebiadaban Amerika Serikat. Setidaknya jawaban yang bisa melegakan adalah karena faktor media.

Dalam masa kampanye seperti saat ini, media berperan besar untuk membangun citra seorang tokoh yang ingin bersaing merebut kursi kekuasaan. Media bisa mengubah citra seorang yang buruk, menjadi baik. Pun mengubah citra orang yang baik menjadi buruk. Media bisa membuat tenar seorang yang awalnya tidak tenar.

Akan tetapi, ada biaya untuk menggunakan media. Sejumlah tertentu materi harus dikeluarkan untuk membayar publikasi media. Karena itu, yang bisa membayar lebih banyak, akan mendapat kesempatan pencitraan yang lebih banyak pula dari media. Yang punya kapitallah yang akan menguasai media. Bahkan, pemilik kapital bisa saja mendirikan media agar bisa dimanfaatkan untuk pencitraan diri.

Dalam kondisi demikian, media dijadikan alat oleh pemilik kapital untuk meraih apa yang diinginkan. Media dapat mengubah opini publik, padahal belum tentu yang diopinikan tersebut benar adanya. Karena itu, media bukan lagi menjadi alat pendidikan bagi rakyat, tapi berubah menjadi alat provokasi rakyat.

Pertanyaan-pertanyaan yang dapat menjadi guide line diskusi kali ini adalah:
1. Apa peran media dalam pembangunan bangsa?
2. Benarkah media telah dikendalikan oleh kapital? Apa fakta-faktanya?
3. Apa dampak dari dikendalikannya media oleh pemilik kapital?
4. Bagaimana jalan keluar atau menempatkan kembali posisi media dalam pembangunan bangsa?