Oleh Iqbal Kautsar
Seputar Indonesia, 17 Juli 2008
Ketika aktivis penegakan suara keadilan diburu dan ditangkap, sejarah kembali terulang. Model Orba yang represif mengekang kebebasan berpendapat telah jadi acuan ‘lagi’ bagi pemerintah dalam penyelesaian masalah menyangkut anarkisitas demonstrasi.
Kasus penangkapan aktivis yang diduga dalang kerusuhan 24 Juni dapat kita lihat sebagai kegamangan dan kepanikan pemerintah dalam menghadapi demonstrasi yang membesar. Pemerintah ‘kepepet’ sehingga melakukan cara lama yang ‘tidak etis’ dengan menangkapi para aktivis. Alasan yang dibuat pun sangatlah miris untuk diungkapkan dalam penegakan demokrasi, yaitu melanggar ketertiban sosial.
Pemerintah sangat tidak bijak dalam hal ini karena terus mengkambinghitamkan para aktivis. Pemerintah tidak berkaca pada kebijakan-kebijakan yang menjadi penyulut api demonstrasi. Kebijakan kenaikan BBM adalah hal kontroversial yang jelas-jelas ditolak oleh masyarakat. Apa yang dilakukan aktivis adalah perjuangan untuk memperjuangkan suara penderitaan rakyat kecil.
Tindakan anarkis dalam demonstrasi tidak akan muncul jika tidak ada provokasinya. Saat ini kita selalu terpaku bahwa kerusuhan diprovokasi oleh orang yang menghasut melakukan pengrusakkan. Namun, jika aktivis yang notabene adalah kaum berpendidikan dan pejuang sosial kerakyatan sampai terlibat dalam kerusuhan, tentu dapat dibayangkan betapa tiraninya suatu pemerintah di negeri ini. Pemerintah dengan kekuasaannya sebenarnya adalah provokator setiap kerusuhan lewat kebijakan yang tidak prorakyat.
Otoritarian penguasa adalah suatu kenangan buruk bagi negara ini. Stigma itu perlahan-lahan melekat pada pemerintahan rezim SBY sekarang. Penguasa terlihat tidak bisa bertindak persuasif dan aspiratif atas gerakan anti pemerintah. Penangkapan aktivis 24 Juni adalah contoh aktualnya. Padahal tindakan unjuk rasa telah sepenuhnya dijamin konstitusi sebagai wujud penghargaan negara atas HAM. Realita penangkapan itu menegaskan bahwa dalam era ini hukum mengabdi pada tirani kekuasaan.
Sayangnya lagi, kezaliman pemerintah berlanjut pada bidang non-politik. Rizal Ramli yang menjabat sebagai komisaris utama BUMN PT Semen Gresik dicopot dari jabatannya. Ada dugaan beliau dicopot bukan karena kinerjanya di PT Semen Gresik melainkan keterkaitannya sebagai inisiator kerusuhan 24 Juni. Kebetulan beliau adalah Ketua KBI (Komite Indonesia Bangkit) yang dituduh sebagai organisasi penggerak kerusuhan.
Jika dugaan itu benar, maka jelas benar kalau pemerintah tidak bersikap profesional karena mencampuradukkan kepentingan politik dengan ekonomi. Kita tahu sendiri bahwa Rizal Ramli adalah tokoh yang sangat vokal dalam penolakan kenaikan BBM. Visi Rizal Ramli sangat bertentangan pemerintah dengan dalam memajukan ekonomi Indonesia. Namun, apa lantas karena perbedaan pendapat, pemerintah sebagai pihak berkuasa dengan enaknya asal copot jabatan. Pemerintah dinilai tidak mampu memberikan ruang bagi perbedaan pendapat dalam hal ini.
Penangkapan aktivis juga dapat kita urut benang merahnya dengan ’mencla-menclenya’ legislatif dalam mengimplementasikan sikap tidak mendukung pemerintah. DPR terkesan sangat lambat dalam upaya meloloskan hak angket penolakan kenaikan harga BBM. Sampai-sampai DPR memerlukan semacam shock therapy berupa cara kasar dengan kekerasan agar dewan menggunakan hak angketnya. Fakta ini secara eksplisit menyuratkan jika DPR akan bertindak pro rakyat karena telah ada stimulus keras yang menyertainya.
Betapa malangnya negeri ini andaikan setiap kebijakan antirakyat keluar, perlu sikap keras untuk merespon dan menentang kebijakan itu. Lagi-lagi aktivis yang akan dikambinghitamkan karena kita dan pemerintah tidak siap untuk beda pendapat. Pemerintah cenderung memaksakan kekuasaannya sebagai perisai atas rasa ketidakbersalahan kebijakan-kebijakannya.
Seputar Indonesia, 17 Juli 2008
Ketika aktivis penegakan suara keadilan diburu dan ditangkap, sejarah kembali terulang. Model Orba yang represif mengekang kebebasan berpendapat telah jadi acuan ‘lagi’ bagi pemerintah dalam penyelesaian masalah menyangkut anarkisitas demonstrasi.
Kasus penangkapan aktivis yang diduga dalang kerusuhan 24 Juni dapat kita lihat sebagai kegamangan dan kepanikan pemerintah dalam menghadapi demonstrasi yang membesar. Pemerintah ‘kepepet’ sehingga melakukan cara lama yang ‘tidak etis’ dengan menangkapi para aktivis. Alasan yang dibuat pun sangatlah miris untuk diungkapkan dalam penegakan demokrasi, yaitu melanggar ketertiban sosial.
Pemerintah sangat tidak bijak dalam hal ini karena terus mengkambinghitamkan para aktivis. Pemerintah tidak berkaca pada kebijakan-kebijakan yang menjadi penyulut api demonstrasi. Kebijakan kenaikan BBM adalah hal kontroversial yang jelas-jelas ditolak oleh masyarakat. Apa yang dilakukan aktivis adalah perjuangan untuk memperjuangkan suara penderitaan rakyat kecil.
Tindakan anarkis dalam demonstrasi tidak akan muncul jika tidak ada provokasinya. Saat ini kita selalu terpaku bahwa kerusuhan diprovokasi oleh orang yang menghasut melakukan pengrusakkan. Namun, jika aktivis yang notabene adalah kaum berpendidikan dan pejuang sosial kerakyatan sampai terlibat dalam kerusuhan, tentu dapat dibayangkan betapa tiraninya suatu pemerintah di negeri ini. Pemerintah dengan kekuasaannya sebenarnya adalah provokator setiap kerusuhan lewat kebijakan yang tidak prorakyat.
Otoritarian penguasa adalah suatu kenangan buruk bagi negara ini. Stigma itu perlahan-lahan melekat pada pemerintahan rezim SBY sekarang. Penguasa terlihat tidak bisa bertindak persuasif dan aspiratif atas gerakan anti pemerintah. Penangkapan aktivis 24 Juni adalah contoh aktualnya. Padahal tindakan unjuk rasa telah sepenuhnya dijamin konstitusi sebagai wujud penghargaan negara atas HAM. Realita penangkapan itu menegaskan bahwa dalam era ini hukum mengabdi pada tirani kekuasaan.
Sayangnya lagi, kezaliman pemerintah berlanjut pada bidang non-politik. Rizal Ramli yang menjabat sebagai komisaris utama BUMN PT Semen Gresik dicopot dari jabatannya. Ada dugaan beliau dicopot bukan karena kinerjanya di PT Semen Gresik melainkan keterkaitannya sebagai inisiator kerusuhan 24 Juni. Kebetulan beliau adalah Ketua KBI (Komite Indonesia Bangkit) yang dituduh sebagai organisasi penggerak kerusuhan.
Jika dugaan itu benar, maka jelas benar kalau pemerintah tidak bersikap profesional karena mencampuradukkan kepentingan politik dengan ekonomi. Kita tahu sendiri bahwa Rizal Ramli adalah tokoh yang sangat vokal dalam penolakan kenaikan BBM. Visi Rizal Ramli sangat bertentangan pemerintah dengan dalam memajukan ekonomi Indonesia. Namun, apa lantas karena perbedaan pendapat, pemerintah sebagai pihak berkuasa dengan enaknya asal copot jabatan. Pemerintah dinilai tidak mampu memberikan ruang bagi perbedaan pendapat dalam hal ini.
Penangkapan aktivis juga dapat kita urut benang merahnya dengan ’mencla-menclenya’ legislatif dalam mengimplementasikan sikap tidak mendukung pemerintah. DPR terkesan sangat lambat dalam upaya meloloskan hak angket penolakan kenaikan harga BBM. Sampai-sampai DPR memerlukan semacam shock therapy berupa cara kasar dengan kekerasan agar dewan menggunakan hak angketnya. Fakta ini secara eksplisit menyuratkan jika DPR akan bertindak pro rakyat karena telah ada stimulus keras yang menyertainya.
Betapa malangnya negeri ini andaikan setiap kebijakan antirakyat keluar, perlu sikap keras untuk merespon dan menentang kebijakan itu. Lagi-lagi aktivis yang akan dikambinghitamkan karena kita dan pemerintah tidak siap untuk beda pendapat. Pemerintah cenderung memaksakan kekuasaannya sebagai perisai atas rasa ketidakbersalahan kebijakan-kebijakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar