Oleh Lizamul Widad (Kabid Perkaderan dan PTK)
Subuh dua hari yang lalu menjadi subuh yang unik bagi Dalijo, saudaraku. Niat hendak pulang ke komisariat sehabis perjalanan jauh terhalang oleh peristiwa unik nan pantas untuk dibicarakan lebih lanjut. Rencana memotong jalan melalui D3 ekonomi-Masjid Kampus-Pertanian UGM sebelum mencapai komisariat dihalangi oleh keramaian di portal selatan jalan itu.
Sebenarnya keputusan melalui jalan itu memang logis karena portal-portal UGM dibuka sekitar pukul 04:30 pagi. Namun, tak dinyana, dengan melewati jalan tersebut, Dalijo justru terhambat oleh portal yang belum terbuka dan sedikit keramaian di sekitarnya. Ia menengok jam untuk memastikan keputusannya adalah benar. Karena merasa ada keganjilan yang terjadi ia pun ingin memastikan apa yang terjadi. Hasilnya, rasa miris, ingin tertawa, ungkapan setengah marah, keinginan misuhi UGM dan segala kecerdikan yang dilakukannya.
Sesampainya di Komisariat, dia bercerita pada Fanani yang selanjutnya akan diceritakan kepada saya. Inti cerita dari fenomena di portal selatan dekat D3 ekonomi tersebut adalah kerja keras SKK UGM untuk membuka portal. Mereka menemukan portal yang dikunci oleh “pemilik lain” dengan rantai sebesar ibu jari tangan dan gemboknya segenggaman tangan. Melihat gelagat “pemilik lain” yang belum bangun dari tidurnya, linggis pun jadi alat SKK untuk membuka portal itu. Menurut mereka langkah itu akan cukup efektif walau harus menghabiskan banyak waktu dan keringat. Tapi yakinlah mereka merasa sangat santai karena di sekelilingnya ditemani, ditonton, dilihat, dan mugkin juga didoakan oleh masyarakat sekitar yang rela keluar rumah untuk menjadi bagian dari fenomena tersebut.
***
Dari Muhammad SAW untuk Abu Bakar As-Syiddiq
Sebelum membahas lebih lanjut fenomena di atas, mari kita ingat sedikit risalah yang menceritakan tentang Khalifatul Ula, Abu Bakar As-Syiddiq. Setelah beberapa lama sang khalifah melakukan semua pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah semasa hidupnya, ia pergi ke hadapan Siti Aisyah. Belau bertanya, “Apakah masih ada segala amalan Rasulullah yang belum dilaksanakan olehnya?”, Siti Aisyah menjawab,”Engkau sudah mengamalkan semua yang dilakukan oleh Rasulullah wahai Abu Bakar. Kecuali satu hal yaitu menyuapi seorang pengemis tua dan buta di sebuah pasar.”
Maka segera berangkatlah Abu Bakar ke tempat itu sambil sepotong roti yang nantinya akan disuapkan kepada pengemis tersebut. Sesampainya di sana, Abu Bakar sangat terkejut ketika ia mendapati keadaan sang pengemis. Pengemis itu memiliki perangai yang jelek. Suka menggunjing, menuduh, mengatakan yang tidak sebenarnya kepada setiap orang yang jalan di dekatnya. Lebih parah lagi karena semua hal yang di gunjingkan berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW. Ia bilang Muhammad penipu, pembohong, istrinya banyak dan ada dimana-mana. Padahal ia tidak mengetahuinya. Termasuk perihal telah berpulangnya rasulullah.
Kemudian tibalah saatnya Abu Bakar yang dipanggil oleh pengemis tersebut. Ia berkata, “Hai fulan, kemarilah. Kuberi tahu bahwa Muhammad itu pembohong, istrinya banyak,…..” Satu hal yang ada di benak Abu Bakar adalah bagaimana bisa rasulullah menyuapi makanan orang yang selalu menfitnahnya. Tidak hanya itu, rasulullah melakukannya setiap hari. Terdiamlah Khalifatullah ini. Di dalam kediaman itu pula ia memotong rotinya untuk disuapkan pada sang pengemis.
Respon si pengemis pun di luar dugaan. Ia meludahkan kembali makanan yang telah ada di mulutnya seraya berkata, “Siapa kamu? Kau bukan orang yang biasanya menyuapiku. Kemana orang yang setiap hari menyuapiku?” Abu Bakar menjawab, “Bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku bukan orang yang biasanya menyuapimu sedangkan engkau tidak dapat melihat?” Pengemis berkata, “Orang yang setiap hari menyuapiku dengan makanan tahu bahwa aku sudah tidak memiliki gigi yang kuat, ia mengunyahkan makananku hingga lembut sebelum memasukkan ke mulutku” Akhirnya Abu Bakar menjawab, “Orang yang setiap hari menyuapmu telah menginggal.”
Dengan hati berat pengemis pun bertanya siapakah nama orang itu dan dijawab oleh Abu Bakar namanya adalah Muhammad. Maka seketika itu pula sang pengemis langsung menyatakan beriman kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah sebelum akhirnya ia meninggal di pangkuan Abu Bakar As-Syiddiq.
***
UGM, Karang Malang, dan Kuningan
Keberadaan UGM dan berbagai perkampungan manusia di sekitarnya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sejarahnya, dinamika sosiologinya, proses penciptaan sistemnya bahkan sampai pada pola interaksinya. Kalau diandaikan sebagaimana idiom persuami-istrian miilik Emha Ainun Nadjib akan tampak kecocokan diantara keduanya. Seperti halnya persuami-istrian pada lelaki dan perempuan, alam diperistri oleh manusia selaku khalifah, dan pemerintah dipersuami oleh rakyatnya sebagai pelindung. Dalam kasus ini, UGM dan segala perangkatnya bertindak sebagai suami yang memiliki tanggung jawab penuh pada istri ar-rahmannya yaitu perkampungan disekitarnya. Tentu saja termasuk manusia-manusia yang tinggal di dalamnya. Maka dari itu, UGM selaku institusi pendidik memiliki tanggung jawab memahamkan, mengajarkan, mengarahkan, membenarkan mentransfer ilmu kepada mereka.
Dewasa ini, saya sangat yakin betul bahwa UGM sangat konsen terhadap isu-isu kesehatan, kelancaran kegiatan belajar-mengajar, keindahan tata letak, keamanan, kelestarian lingkungan dan ketatatertiban. Konsen itu salah satunya diwujudkan melalui pembuatan portal di beberapa titik di wilayah UGM. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah menjaga keamanan kampus, mengatur ketertiban dan mengelola kadar polusi yang cukup membeludak.
Namun kalau ujung-ujungnya adalah peristiwa penggembokan portal oleh orang yang tidak tahu juntrungannya seperti yang saya ceritakan di atas, apalah arti sebuah tata ketertiban, pengelolaan polusi, penjagaan keamaanan kampus. Langkah yang ditujukan untuk mengurangi permasalahan justru menimbulkan permasalahan baru.
Nampaknya UGM lupa pada pesan Muhammad SAW pada Abu Bakar. Pesan yang berskala luas juga berarti ditujukan pada umatnya. UGM juga lupa bagaimana Muhammad mengatasi pengemis yang setiap hari memakinya. Untuk itu mari ingatkan UGM bahwa Muhammad sebagai rasul yang membawa risalah menyampaikan risalahnya dengan menyentuhkan nilai-nilai risalah itu pada objeknya. Muhammad menyentuhkan nilai kasih sayang islam pada pengemis melalui suapan-suapan makanan setiap harinya. Muhammad menyentuhkan nilai toleransi islam pada pengemis dengan cara mendengarkan segala ocehannya. Muhammad tidak merubah nilai pada risalahnya. Muhammad tidak merubah islam agar bisa diterima oleh sang pengemis.
Mari dibuat praktis seperti pada kasus UGM di atas. Saya ibaratkan UGM dalam artian Rektor dan perangkatnya, Dekan dan Perangkatnya, serta SKK sebagai penyampai risalah. UGM dalam artian nilai-nilai yang dijunjung, dianut dan dilakukan sebagai sebuah risalah. Masyarakat Karangmalang, Kuningan, Sagan, Karanggayam dan Karangwuni sebagai objek penyampaian risalah. Kalau memang rektorat ingin sebuah lingkungan yang aman, nyaman, dan sehat, sampaikanlah risalah itu tanpa merubah inti risalah. Sampaikan rasa aman, nyaman, sehat dalam nilai UGM tanpa merubah nilai-nilai tersebut. Tidak perlu merubah UGM dari kampus terbuka menjadi kampus tertutup dengan menambahkan pembatas-pembatas didalamnya hanya untuk mendapatkan pemahaman nilai aman, nyaman, dan sehat dari masyarakat sekitarnya.
Saya sangat yakin usaha UGM menyampaikan nilai aman, nyaman dan sehat melalui pembuatan portal-portal tersebut akan gagal karena masyarakat disekitar UGM tidak tersentuh oleh nilai-nilai itu apalagi memahami, menerima, dan merasakan nilai tersebut. Saya tunjukkan buktinya bahwa masyarakat tersebut belum merasakan nilai-nilai di atas. Pertama, masyarakat itu tidak mengerti nikmatnya sehat karena daerahnya menjadi endemik DB dan setiap tahunnya pasti ada korban DB. Kedua, mereka tidak mengerti nikmatnya “nyaman” karena di daerahnya gersang. Tidak ada pohon pun yang merindangi lingkungan mereka. Artinya, mereka sudah lupa akan arti kesejukan. Terakhir, mereka lupa akan nilai aman karena di benak mereka hanya ada rasa was-was. Yang terlintas di pikiran mereka adalah “Kapan UGM akan melakukan relokasi lagi? Jangan-jangan giliran saya jadi korban.”
Pada akhirnya, kata-kata orang-orang bijaklah yang akan menutup. siapapun dia alangkah baiknya jika berfikir positif dalam melakukan sebuah penilaian. Untuk itu, dari sini, penilaian mengenai salah-benar kebijakan UGM saya serahkan kepada pembaca tulisan ini. Termasuk pada solusi apa yang bisa diusulkan untuk membenahi polemik antara warga dan UGM. Penulis yakin ranah-ranah tersebut adalah ranah produktif, ranah imaginatif, dan ranah kreasi pembaca. (Wallahu a’lam bis shawaf)
(Ditulis, 30 September 2009)
Subuh dua hari yang lalu menjadi subuh yang unik bagi Dalijo, saudaraku. Niat hendak pulang ke komisariat sehabis perjalanan jauh terhalang oleh peristiwa unik nan pantas untuk dibicarakan lebih lanjut. Rencana memotong jalan melalui D3 ekonomi-Masjid Kampus-Pertanian UGM sebelum mencapai komisariat dihalangi oleh keramaian di portal selatan jalan itu.
Sebenarnya keputusan melalui jalan itu memang logis karena portal-portal UGM dibuka sekitar pukul 04:30 pagi. Namun, tak dinyana, dengan melewati jalan tersebut, Dalijo justru terhambat oleh portal yang belum terbuka dan sedikit keramaian di sekitarnya. Ia menengok jam untuk memastikan keputusannya adalah benar. Karena merasa ada keganjilan yang terjadi ia pun ingin memastikan apa yang terjadi. Hasilnya, rasa miris, ingin tertawa, ungkapan setengah marah, keinginan misuhi UGM dan segala kecerdikan yang dilakukannya.
Sesampainya di Komisariat, dia bercerita pada Fanani yang selanjutnya akan diceritakan kepada saya. Inti cerita dari fenomena di portal selatan dekat D3 ekonomi tersebut adalah kerja keras SKK UGM untuk membuka portal. Mereka menemukan portal yang dikunci oleh “pemilik lain” dengan rantai sebesar ibu jari tangan dan gemboknya segenggaman tangan. Melihat gelagat “pemilik lain” yang belum bangun dari tidurnya, linggis pun jadi alat SKK untuk membuka portal itu. Menurut mereka langkah itu akan cukup efektif walau harus menghabiskan banyak waktu dan keringat. Tapi yakinlah mereka merasa sangat santai karena di sekelilingnya ditemani, ditonton, dilihat, dan mugkin juga didoakan oleh masyarakat sekitar yang rela keluar rumah untuk menjadi bagian dari fenomena tersebut.
***
Dari Muhammad SAW untuk Abu Bakar As-Syiddiq
Sebelum membahas lebih lanjut fenomena di atas, mari kita ingat sedikit risalah yang menceritakan tentang Khalifatul Ula, Abu Bakar As-Syiddiq. Setelah beberapa lama sang khalifah melakukan semua pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah semasa hidupnya, ia pergi ke hadapan Siti Aisyah. Belau bertanya, “Apakah masih ada segala amalan Rasulullah yang belum dilaksanakan olehnya?”, Siti Aisyah menjawab,”Engkau sudah mengamalkan semua yang dilakukan oleh Rasulullah wahai Abu Bakar. Kecuali satu hal yaitu menyuapi seorang pengemis tua dan buta di sebuah pasar.”
Maka segera berangkatlah Abu Bakar ke tempat itu sambil sepotong roti yang nantinya akan disuapkan kepada pengemis tersebut. Sesampainya di sana, Abu Bakar sangat terkejut ketika ia mendapati keadaan sang pengemis. Pengemis itu memiliki perangai yang jelek. Suka menggunjing, menuduh, mengatakan yang tidak sebenarnya kepada setiap orang yang jalan di dekatnya. Lebih parah lagi karena semua hal yang di gunjingkan berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW. Ia bilang Muhammad penipu, pembohong, istrinya banyak dan ada dimana-mana. Padahal ia tidak mengetahuinya. Termasuk perihal telah berpulangnya rasulullah.
Kemudian tibalah saatnya Abu Bakar yang dipanggil oleh pengemis tersebut. Ia berkata, “Hai fulan, kemarilah. Kuberi tahu bahwa Muhammad itu pembohong, istrinya banyak,…..” Satu hal yang ada di benak Abu Bakar adalah bagaimana bisa rasulullah menyuapi makanan orang yang selalu menfitnahnya. Tidak hanya itu, rasulullah melakukannya setiap hari. Terdiamlah Khalifatullah ini. Di dalam kediaman itu pula ia memotong rotinya untuk disuapkan pada sang pengemis.
Respon si pengemis pun di luar dugaan. Ia meludahkan kembali makanan yang telah ada di mulutnya seraya berkata, “Siapa kamu? Kau bukan orang yang biasanya menyuapiku. Kemana orang yang setiap hari menyuapiku?” Abu Bakar menjawab, “Bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku bukan orang yang biasanya menyuapimu sedangkan engkau tidak dapat melihat?” Pengemis berkata, “Orang yang setiap hari menyuapiku dengan makanan tahu bahwa aku sudah tidak memiliki gigi yang kuat, ia mengunyahkan makananku hingga lembut sebelum memasukkan ke mulutku” Akhirnya Abu Bakar menjawab, “Orang yang setiap hari menyuapmu telah menginggal.”
Dengan hati berat pengemis pun bertanya siapakah nama orang itu dan dijawab oleh Abu Bakar namanya adalah Muhammad. Maka seketika itu pula sang pengemis langsung menyatakan beriman kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah sebelum akhirnya ia meninggal di pangkuan Abu Bakar As-Syiddiq.
***
UGM, Karang Malang, dan Kuningan
Keberadaan UGM dan berbagai perkampungan manusia di sekitarnya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sejarahnya, dinamika sosiologinya, proses penciptaan sistemnya bahkan sampai pada pola interaksinya. Kalau diandaikan sebagaimana idiom persuami-istrian miilik Emha Ainun Nadjib akan tampak kecocokan diantara keduanya. Seperti halnya persuami-istrian pada lelaki dan perempuan, alam diperistri oleh manusia selaku khalifah, dan pemerintah dipersuami oleh rakyatnya sebagai pelindung. Dalam kasus ini, UGM dan segala perangkatnya bertindak sebagai suami yang memiliki tanggung jawab penuh pada istri ar-rahmannya yaitu perkampungan disekitarnya. Tentu saja termasuk manusia-manusia yang tinggal di dalamnya. Maka dari itu, UGM selaku institusi pendidik memiliki tanggung jawab memahamkan, mengajarkan, mengarahkan, membenarkan mentransfer ilmu kepada mereka.
Dewasa ini, saya sangat yakin betul bahwa UGM sangat konsen terhadap isu-isu kesehatan, kelancaran kegiatan belajar-mengajar, keindahan tata letak, keamanan, kelestarian lingkungan dan ketatatertiban. Konsen itu salah satunya diwujudkan melalui pembuatan portal di beberapa titik di wilayah UGM. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah menjaga keamanan kampus, mengatur ketertiban dan mengelola kadar polusi yang cukup membeludak.
Namun kalau ujung-ujungnya adalah peristiwa penggembokan portal oleh orang yang tidak tahu juntrungannya seperti yang saya ceritakan di atas, apalah arti sebuah tata ketertiban, pengelolaan polusi, penjagaan keamaanan kampus. Langkah yang ditujukan untuk mengurangi permasalahan justru menimbulkan permasalahan baru.
Nampaknya UGM lupa pada pesan Muhammad SAW pada Abu Bakar. Pesan yang berskala luas juga berarti ditujukan pada umatnya. UGM juga lupa bagaimana Muhammad mengatasi pengemis yang setiap hari memakinya. Untuk itu mari ingatkan UGM bahwa Muhammad sebagai rasul yang membawa risalah menyampaikan risalahnya dengan menyentuhkan nilai-nilai risalah itu pada objeknya. Muhammad menyentuhkan nilai kasih sayang islam pada pengemis melalui suapan-suapan makanan setiap harinya. Muhammad menyentuhkan nilai toleransi islam pada pengemis dengan cara mendengarkan segala ocehannya. Muhammad tidak merubah nilai pada risalahnya. Muhammad tidak merubah islam agar bisa diterima oleh sang pengemis.
Mari dibuat praktis seperti pada kasus UGM di atas. Saya ibaratkan UGM dalam artian Rektor dan perangkatnya, Dekan dan Perangkatnya, serta SKK sebagai penyampai risalah. UGM dalam artian nilai-nilai yang dijunjung, dianut dan dilakukan sebagai sebuah risalah. Masyarakat Karangmalang, Kuningan, Sagan, Karanggayam dan Karangwuni sebagai objek penyampaian risalah. Kalau memang rektorat ingin sebuah lingkungan yang aman, nyaman, dan sehat, sampaikanlah risalah itu tanpa merubah inti risalah. Sampaikan rasa aman, nyaman, sehat dalam nilai UGM tanpa merubah nilai-nilai tersebut. Tidak perlu merubah UGM dari kampus terbuka menjadi kampus tertutup dengan menambahkan pembatas-pembatas didalamnya hanya untuk mendapatkan pemahaman nilai aman, nyaman, dan sehat dari masyarakat sekitarnya.
Saya sangat yakin usaha UGM menyampaikan nilai aman, nyaman dan sehat melalui pembuatan portal-portal tersebut akan gagal karena masyarakat disekitar UGM tidak tersentuh oleh nilai-nilai itu apalagi memahami, menerima, dan merasakan nilai tersebut. Saya tunjukkan buktinya bahwa masyarakat tersebut belum merasakan nilai-nilai di atas. Pertama, masyarakat itu tidak mengerti nikmatnya sehat karena daerahnya menjadi endemik DB dan setiap tahunnya pasti ada korban DB. Kedua, mereka tidak mengerti nikmatnya “nyaman” karena di daerahnya gersang. Tidak ada pohon pun yang merindangi lingkungan mereka. Artinya, mereka sudah lupa akan arti kesejukan. Terakhir, mereka lupa akan nilai aman karena di benak mereka hanya ada rasa was-was. Yang terlintas di pikiran mereka adalah “Kapan UGM akan melakukan relokasi lagi? Jangan-jangan giliran saya jadi korban.”
Pada akhirnya, kata-kata orang-orang bijaklah yang akan menutup. siapapun dia alangkah baiknya jika berfikir positif dalam melakukan sebuah penilaian. Untuk itu, dari sini, penilaian mengenai salah-benar kebijakan UGM saya serahkan kepada pembaca tulisan ini. Termasuk pada solusi apa yang bisa diusulkan untuk membenahi polemik antara warga dan UGM. Penulis yakin ranah-ranah tersebut adalah ranah produktif, ranah imaginatif, dan ranah kreasi pembaca. (Wallahu a’lam bis shawaf)
(Ditulis, 30 September 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar