Kamis, 05 Februari 2009

Apa Kabarmu Hari Ini?


Oleh Sita Rahmi BS
Ketua Umum Komisariat Ekonomi UGM 2006-2007

Kesetiaan itu bukan diukur apakah seseorang berkhianat atau tidak, melainkan apakah ia kembali lagi atau tidak. (Arswendo Atmowiloto)

Dingin. Belakangan, mimik itu kerap kudapati tiap kali bersua denganmu di sela gerimis rintik yang menggelitik kotamu, Jogja. Ada gurat luka yang seolah berbicara mengenai kisah-kisah indah yang mulai luntur dari pustaka memorimu. Coba kau sembunyikan, lalu kau lipat rapi dibalik garis senyum yang dipaksakan. Tatapanmu nanar.

Kau kini lebih seperti seorang renta yang terkubur oleh kepingan-kepingan kenangan masa lalu. Tidak seperti ini kau dulu. Melihatmu kini, aku jadi teringat bagaimana album tua di sudut ruang kerjamu berebut mencakapkan nama besarmu, menjelajahi naskah keberanianmu, menyanjungi kegagahanmu dulu. Atau gurauan kecil yang menghiasi dialog mimpi kita tentang sebuah rumah peradaban yang hendak kita bangun bersama. Akh, bagaimana bisa aku lupa dengan itu semua?

Sejujurnya, Aku (sudah) memutuskan untuk mencintaimu! Tepat tiga tahun yang lalu ketika kau tidak sengaja meminangku. Kita berkenalan dipersimpangan jalan gelap. Kau nyalakan lilin itu dengan buku-buku tua di perpustakaan rumahmu, sambil mendendangkan dongeng Zarathustra sebelum aku terlelap dan terbawa dalam rimbanya. Gerah! kalau sudah begitu kau pasti menyelipkan cerita Muhammad, Isa dan Ibrahim untuk menghiburku. Sampai akhirnya kau mampu menjadi candu bagi jiwaku. Dan sejak itu, aku selalu mendatangimu, lagi dan lagi.

Hingga suatu ketika aku tahu bahwa aku bukan satu-satunya bagimu. Ada yang sudah sangat mencintaimu sebelum aku. Ada yang telah dengan setia membuatkan kopi susu di pagi harimu, membacakan koran untukmu, menyalakan air ledeng, mengirimimu bunga mawar, atau sekedar mampir di berandamu, ngobrol ngalor-ngidul tentang kesebelasan yang menang tadi malam. Kata mereka: begitulah semestinya wujud setia.

Maaf. Aku sendiri hanya sesekali menjengukmu dengan membawa sepotong martabak yang sudah mulai mendingin. “Aku sibuk, sayang...tapi bukan berarti melupakanmu!” Kau hanya tersenyum. Aku tahu kau bahkan sudah bosan dengan alasanku. “Toh, sudah banyak yang memanjakanmu bukan?”. Dan kau menjawab “Sebagaimana yang lain, aku hanya perlu kau duduk di sampingku. Itu saja.”

Sekarang, katakanlah padaku, bagaimanakah sebuah cinta harus diekspresikan: semua berjejal ingin mencintaimu, sementara aku terus saja terbuai di rumah-rumah yang lain.

Kini kau risau disebabkan tak ada lagi yang menemanimu melihat bintang. Hari-harimu dipenuhi dengan kegundahan apakah masih ada yang bisa mewarisi khayalmu akan negeri yang gemah ripah loh jinawi, akan manusia-manusia unggul yang selalu muncul di setiap zaman?

Aku hanya ingin bilang; tak perlu kau sedu sedan karena akan selalu ada yang menjumpaimu di persimpangan jalan, kemudian menyusun kembali album-album untuk kau jadikan kenangan. Tidak harus dengan membuatkanmu kopi susu, membacakan koran untukmu, atau mengirimimu bunga mawar. Mereka punya cara sendiri walau sekedar membukakan pintu untukmu, hanya saja berilah mereka waktu.

Komisariat, akhirnya kau hanya sebuah rumah singgah yang akan tetap senyap jika nyawa-nyawa perjuangan tak lagi bersemayam. Maka hidupkanlah dia dengan keyakinan. Keyakinan bahwa dibalik yang fisik ada sesuatu yang lebih menggetarkan. Di mana adamu bukan sekedar tumpukan batu bata dan jendela-jendela yang terbuka, namun bilik kecil tempat spirit perubahan bermula. Berawal dari Himpunan kita.

Komisariat, apa kabarmu hari ini?

1 komentar:

  1. Alhamdulillah, kabar komisariat baik-baik saja hari ini. Kabar kamu bagaimana mbk?

    BalasHapus