M Lizamul Widad
Kabid Perkaderan HMI Komisariat Ekonomi UGM
Muhibah, entah sebuah kata yang bermakna seperti apa, aku pun tidak tahu benar tentang hal itu. Di benak hanya timbul makna perjalanan ke Jakarta sebagai upaya silaturahmi, menuntut ilmu, dan membuka cakrawala berpikir. Salah atau betul bangunan niat itu, kira-kira itulah yang didapat dari acara berdurasi empat hari ini.
Disadari atau tidak, senyumku sedikit merekah ketika mengetahui bahwa kita (para peserta muhibah-red) akan menggunakan kereta api ekonomi menuju Jakarta dalam acara muhibah tahun ini. Angan pun melayang pada era tahun 90-an, tepatnya tahun 1994. Ketika mengendarai kereta api ekonomi dari Jakarta ke Surabaya, pada waktu itu baru umurku kurang lebih baru 6 tahun, lebih memilih tidur di bawah kursi duduk dari pada di pangkuan orang tua. Tentu saja dengan alas tidur koran. Ungkapan selanjutnya yang timbul di hati adalah “yes, bernostalgia, mungkinkah aku akan merasakan ketenteraman hati seperti kala itu”. dan akhirnya kesempatan yang memang saya tunggu setelah gagal pada acara muhibah cabang, bisa terlaksana saat ini.
Sore itu, 29 Desember 2008, para punggawa komisariat yang mengikuti muhibah (kloter 1 karena kloter selanjutnya direncanakan berangkat hari esoknya) berkumpul di sekretariat untuk berangkat bersama ke stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Kami sengaja memilih menggunakan kereta Bengawan karena tidak ingin tiba terlalu pagi di Jakarta. Terlukis di wajah seluruh peserta perasaan menggebu, seolah haus akan sebuah pengalaman baru yang menanti di depan. Perjalanan diawali dengan berdoa bersama di stasiun sebelum akhirnya kita naik ke singgasana gerbong kereta.
***
Pukul 5 pagi, kita sampai di kediaman Gunawan Sumodiningrat, tempat transit sebelum memulai berkeliling Jakarta guna menampung semua petuah. Mata sembab akibat kurangnya tidur, rasa lega, penasaran dan perasaan lain menyelimuti kami semua. Lega karena lepas dari penderitaan semalaman tidur tak nyenyak, penasaran karena memang di antara kami semua tidak ada yang tahu tentang seluk-beluk kota Jakarta. Bagi saya, satu perasaan mengganjal lainnya adalah sebuah kekecewaan. Yah, saya gagal bernostalgia. Karena memang pada malam harinya kami semua menemukan tempat duduk di kereta, walaupun di gerbong paling buncit. Tapi sedikit terhibur karena setidaknya ada kesempatan lagi di perjalanan pulang.
Setelah kami selesai mandi dan sarapan pagi, sekitar pukul 9, kami bergegas menuju kompleks GBK untuk menemui Anwar Zawawi pada pukul 10. Dilanjutkan Helmi pukul 13 di LIPI dan Chandra Ismail di bilangan Jakarta utara pada sore harinya. Tidak ada hal yang menggelegarkan jiwa pada hari ini, tapi paling tidak ada dua peristiwa yang cukup menarik untuk diingat. Pertama, ketika berbincang-bincang dengan Helmi di sebuah ruangan di gedung LIPI. Kebetulan pada saat itu kami (Saya, Randi, dan Iqbal karena empat teman yang lain menuju ke kuningan untuk memastikan base camp) tidak hanya ditemani oleh Helmi tapi juga teman-temannya lain yang juga lulusan FEB UGM. Di tengah pembicaraan sebelum kami berpamitan timbul pernyataan dari salah seorang teman Helmi, Beti namanya.
“Habis Lulus dari FE mau ke mana?” celetuk Beti.
Kami bertiga saling memandang. Seolah mengetahui bahwa pertanyaan menjurus ke mau kerja di mana, dan isyarat ini sudah dipahami oleh Beti.
“Ah, jangan di LIPI, gak enak lah pokoknya. Tapi kenapa kita masih di sini ya”, sambil melirik ke arah teman sebelahnya, juga Helmi. Dan ditutup dengan gelak tawa mereka.
Yang menjadi pikiran saya, kenapa mereka masih “setia” terhadap pekerjaannya? Walaupun itu tidak menimbulkan kebahagiaan bagi nurani mereka. Inikah fenomena yang dinamakan alienasi dalam pekerjaan oleh Karl Marx? Di lain sisi, inikah akibat dari pergeseran hierarki kehidupan masyarakat Indonesia? (pergeseran hierarki kehidupan, dahulu hierarki itu berada pada status sosial. Berupa kalangan ningrat, pedagang dan petani. Sekarang hierarki itu berada pada status pekerjaan. Berupa pekerja kantoran yang berdasi, berseragam dianggap baik, sekalipun hanya buruh. Serta petani dan peternak dianggap buruk) Hingga mereka bekerja menuruti pandangan umum bahwa pekerja “kantoran” seperti mereka adalah orang yang wah. Tanpa melihat kepuasan sanubari yang ditimbulkan oleh sebuah pekerjaan. Entahlah, hati saya membisu untuk kasus ini, karena tidak ada data valid lain yang bisa dijadikan referensi. Walaupun begitu pikiran ini berkecamuk sepanjang perjalanan dari LIPI ke Base Camp.
Fenomena kedua, sesaat sebelum shalat magrib berjamaah di kediaman Chandra Ismail. Beliau menjelaskan bahwa terkadang orang-orang shalat berjamaah itu meremehkan. Terbukti dari bagaimana ia membentuk barisan yang mencang-menceng dan tidak rapat¬¬. Maka bersamaan dengan itu ia pun menjelaskan beberapa cara yang menurutnya tepat. Cara berdiri dengan memosisikan kaki berbentuk 90 derajat dan menempelkan kaki kita dan lengan kita dengan jama’ah di sampingnya menjadi hal yang menarik bagi saya. Yah, di satu sisi kita dapat memahami bahwa membentuk barisan yang tidak lurus dan rapat adalah suatu bentuk peremehan. Itu jika diasumsikan bahwa membentuk barisan yang benar adalah yang menempel antar kaki dan lengan. Namun saya sendiri diajarkan bahwa dengan jarak satu kepal tangan pun sudah bisa dikatakan rapat. Mana yang benar, saya belum melakukan penjelajahan lebih jauh.
Di lain sisi, ketika seseorang memang mendefinisikan kerapatan itu dengan menempelkan antar kaki, maka secara kontekstual memiliki kelemahan. Pertama, ketika bangun dari sujud di rakaat kedua konsentrasi kita akan teralih untuk merapatkan barisan dengan menempelkan kaki, bukan terhadap bacaan selanjutnya. Implikasi lain dari aktivitas ini adalah terkadang kita tidak sadar bahwa kita telah melakukan lebih dari tiga gerakan yang tidak perlu dalam salat. Padahal menurut pandangan saya, lebih dari tiga gerakan beruntun yang dilakukan dalam salat menggugurkan keabsahannya.
Kedua, tidak semua orang yang salat berjamaah di samping kita berpendapat bahwa rapat adalah menempelnya kaki tersebut. Dan ketika kita memaksakan pendapat itu maka bisa jadi orang di sebelah kita terganggu juga konsentrasinya. Saya sendiri adalah salah satunya, saya mudah sekali dan sangat sering kaget ketika kaki saya tersentuh oleh kaki jama’ah di sebelah saya. Dan tentunya mengacaukan konsentrasi saya di waktu salat. Siapa pun yang benar, belum terputuskan dan pikiran ini yang meracuni saya ketika makan malam sampai kepulangan kami dari kediaman beliau.
***
Hari kedua, dipayungi mendung tipis di langit, sejuta senyuman bibir dan kerutan dahi muncul di hari ini. dimulai dengan perjalanan ke kantor Bright Indonesia dan memang kami berencana bertemu dengan Awalil Rizky di sana. Pertemuan ini sesuai bayangan saya bahwa tidak ada hal formal di dalamnya. Bincang-bincang santai pun terjadi di antara kami dan Awalil Rizky. tidak lama di sana seolah kami sadar Anis Baswedan menunggu di Paramadina Pukul 9.30, kami bergegas menuju Paramadina seolah mengisyaratkan “ada kejutan besar di sana”.
Dan benar, saya dibuat terkagum-kagum dan lebih terbuka oleh berbagai macam fakta hingga pada perubahan pandangan dan orientasi. Selebihnya bisa terlihat seperti ini:
“HMI harus berubah”, mengaung di singgasana
serasa kembali di masa kanak, didongengkan cerita dan realita
Hey, ada apa di ufuk barat?
Cakrawala putih isyaratkan makna
Lihatlah dengan seksama wahai kaum jenaka
Saya tersadar dari tidur lama, ah benar juga ini yang membuat manusia menjadi hidup. Berfikir, berfikir, dan berfikir.
Selepas shalat Jumat, perihnya rasa malu ini tak tertahankan. Bagaimana tidak, dua orang di sebelah kiriku lebih tinggi dariku. Paling tidak terbukti dari kenyataan kehidupan sampai saat ini. Nasyid Majidi memperlihatkan itu. mereka berteriak:
“Nulis Le….”
“Ojo dolan Wae, endi hasilmu. Gak ngerti po Mesuji ngenteni awakmu”
Tak terelakkan, tak terbantahkan dan tak sanggup menolak sebuah janji besar yang sampai saat ini belum terlaksana. Biadab benar diriku!
Seperti yang tertera di bagian awal, hari ini penuh rekahan senyum dan kerutan dahi. Paling tidak sore itu mengerutkan dahi dan hatiku. (-tit- maaf disensor). Sampai akhir tak dapat kurapikan hal itu. Namun satu hal yang dapat kusimpulkan, kota ini indah, indah akan ribuan pemikiran, dan aku tidak lagi membenci kota ini selayaknya stereotype lama di benakku.
***
Hari ketiga dan keempat, tidak ada yang mencekam hati ini. Tidak dengan pertemuan itu, kebingungan di perempatan Lebak Bulus, tidak pula dengan pentingnya Islam yang dijelaskan Abbas Ghazali. Huh, hatiku benar-benar beku, tumpul, buta, dan entah apa lagi yang cocok untuk mengisyaratkan itu. Hingga pada waktu rombongan ini akan bertolak ke Yogyakarta, kesadaranku mulai timbul. Aku harus berterima kasih pada seluruh orang yang telah menempaku di kota ini. Entah sedikit, besar, jelas, ataupun kabur dan sulit kutangkap. Terutama terhadap Ayib yang telah merelakan kelonggarannya direnggut selama empat hari.
Perjalanan kereta api malam itu dimulai pulul 21.10 di stasiun Jatinegara. Kali ini kami tidak naik kereta Bengawan tetapi Progo. Alasan yang sama, tidak ingin datang terlalu pagi di Yogya. Sempat berpikir kita akan mendapatkan tempat duduk lagi karena menurut perhitungan kami hari ini tidaklah terlalu padat. Aku sedikit kaget ketika tiba di stasiun, berjubel sekali pada penumpang itu. Huh, perasaan kecewa datang. Dan aku belum sadar akan mimpi di masa keberangkatanku dari Yogya.
Berebut, sesaat setelah kereta datang menghampiri stasiun ini. kami memutuskan langsung ke gerbong belakang karena memang kita tidak bisa mengharapkan bangku kosong di bagian tengah. Masuk, kehabisan tempat, dan kita duduk di bawah. Barulah aku sadar bahwa ini saat yang tepat untuk bernostalgia. Egois memang, karena teman-teman semua sudak sangat kecapekan.
Kabar baik datang setelah Adib berhasil menemukan banyak bangku kosong di gerbong terdepan. Keputusannya, kita berjalan ke depan.
Sial, mengapa berhenti, ini stasiun apa? Ah, masih adakah bangku kosong itu? Paling tidak untuk teman-temanku. Berjalan dan berjalan, bayangan kursi empuk tak menghiraukan hiruk pikuk orang di sebelah kami.
***
Kunikmati setiap detik waktu, setiap derak roda kereta, setiap daya yang menggoyangkan tubuhku. Ditemani sebuah buku, “luka di Camp Alysses”, aku tak berniat terlelap malam itu, dan aku tak mengerti ke mana ketenangan hati ini datang lagi. Ketenangan yang sudah lama hilang, menyegarkan kegerahan ini. Tepat di depanku ada Fanani dan Randi di bagian depannya lagi. Aku tak mengerti seperti apa hati mereka, kecewakah? Mungkin seperti itu. karena sampai di gerbong terdepan kita sudah tidak mendapatkan tempat duduk, diisi oleh punggawa Bekasi, penuh tak tersisa. kumasukkan kaki ini ke bawah bangku duduk, persis seperti 13 tahun yang lalu. Namun tidak semua badanku karena ku sadar bangku itu sudah tidak dapat menutupi panjang tubuh ini. Seperti apa rautku saat itu, tak kumengerti, mungkin seperti raja yang tersenyum melihat kemakmuran rakyatnya. Malam itu seperti surga, setidaknya buat hatiku. []
Kabid Perkaderan HMI Komisariat Ekonomi UGM
Muhibah, entah sebuah kata yang bermakna seperti apa, aku pun tidak tahu benar tentang hal itu. Di benak hanya timbul makna perjalanan ke Jakarta sebagai upaya silaturahmi, menuntut ilmu, dan membuka cakrawala berpikir. Salah atau betul bangunan niat itu, kira-kira itulah yang didapat dari acara berdurasi empat hari ini.
Disadari atau tidak, senyumku sedikit merekah ketika mengetahui bahwa kita (para peserta muhibah-red) akan menggunakan kereta api ekonomi menuju Jakarta dalam acara muhibah tahun ini. Angan pun melayang pada era tahun 90-an, tepatnya tahun 1994. Ketika mengendarai kereta api ekonomi dari Jakarta ke Surabaya, pada waktu itu baru umurku kurang lebih baru 6 tahun, lebih memilih tidur di bawah kursi duduk dari pada di pangkuan orang tua. Tentu saja dengan alas tidur koran. Ungkapan selanjutnya yang timbul di hati adalah “yes, bernostalgia, mungkinkah aku akan merasakan ketenteraman hati seperti kala itu”. dan akhirnya kesempatan yang memang saya tunggu setelah gagal pada acara muhibah cabang, bisa terlaksana saat ini.
Sore itu, 29 Desember 2008, para punggawa komisariat yang mengikuti muhibah (kloter 1 karena kloter selanjutnya direncanakan berangkat hari esoknya) berkumpul di sekretariat untuk berangkat bersama ke stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Kami sengaja memilih menggunakan kereta Bengawan karena tidak ingin tiba terlalu pagi di Jakarta. Terlukis di wajah seluruh peserta perasaan menggebu, seolah haus akan sebuah pengalaman baru yang menanti di depan. Perjalanan diawali dengan berdoa bersama di stasiun sebelum akhirnya kita naik ke singgasana gerbong kereta.
***
Pukul 5 pagi, kita sampai di kediaman Gunawan Sumodiningrat, tempat transit sebelum memulai berkeliling Jakarta guna menampung semua petuah. Mata sembab akibat kurangnya tidur, rasa lega, penasaran dan perasaan lain menyelimuti kami semua. Lega karena lepas dari penderitaan semalaman tidur tak nyenyak, penasaran karena memang di antara kami semua tidak ada yang tahu tentang seluk-beluk kota Jakarta. Bagi saya, satu perasaan mengganjal lainnya adalah sebuah kekecewaan. Yah, saya gagal bernostalgia. Karena memang pada malam harinya kami semua menemukan tempat duduk di kereta, walaupun di gerbong paling buncit. Tapi sedikit terhibur karena setidaknya ada kesempatan lagi di perjalanan pulang.
Setelah kami selesai mandi dan sarapan pagi, sekitar pukul 9, kami bergegas menuju kompleks GBK untuk menemui Anwar Zawawi pada pukul 10. Dilanjutkan Helmi pukul 13 di LIPI dan Chandra Ismail di bilangan Jakarta utara pada sore harinya. Tidak ada hal yang menggelegarkan jiwa pada hari ini, tapi paling tidak ada dua peristiwa yang cukup menarik untuk diingat. Pertama, ketika berbincang-bincang dengan Helmi di sebuah ruangan di gedung LIPI. Kebetulan pada saat itu kami (Saya, Randi, dan Iqbal karena empat teman yang lain menuju ke kuningan untuk memastikan base camp) tidak hanya ditemani oleh Helmi tapi juga teman-temannya lain yang juga lulusan FEB UGM. Di tengah pembicaraan sebelum kami berpamitan timbul pernyataan dari salah seorang teman Helmi, Beti namanya.
“Habis Lulus dari FE mau ke mana?” celetuk Beti.
Kami bertiga saling memandang. Seolah mengetahui bahwa pertanyaan menjurus ke mau kerja di mana, dan isyarat ini sudah dipahami oleh Beti.
“Ah, jangan di LIPI, gak enak lah pokoknya. Tapi kenapa kita masih di sini ya”, sambil melirik ke arah teman sebelahnya, juga Helmi. Dan ditutup dengan gelak tawa mereka.
Yang menjadi pikiran saya, kenapa mereka masih “setia” terhadap pekerjaannya? Walaupun itu tidak menimbulkan kebahagiaan bagi nurani mereka. Inikah fenomena yang dinamakan alienasi dalam pekerjaan oleh Karl Marx? Di lain sisi, inikah akibat dari pergeseran hierarki kehidupan masyarakat Indonesia? (pergeseran hierarki kehidupan, dahulu hierarki itu berada pada status sosial. Berupa kalangan ningrat, pedagang dan petani. Sekarang hierarki itu berada pada status pekerjaan. Berupa pekerja kantoran yang berdasi, berseragam dianggap baik, sekalipun hanya buruh. Serta petani dan peternak dianggap buruk) Hingga mereka bekerja menuruti pandangan umum bahwa pekerja “kantoran” seperti mereka adalah orang yang wah. Tanpa melihat kepuasan sanubari yang ditimbulkan oleh sebuah pekerjaan. Entahlah, hati saya membisu untuk kasus ini, karena tidak ada data valid lain yang bisa dijadikan referensi. Walaupun begitu pikiran ini berkecamuk sepanjang perjalanan dari LIPI ke Base Camp.
Fenomena kedua, sesaat sebelum shalat magrib berjamaah di kediaman Chandra Ismail. Beliau menjelaskan bahwa terkadang orang-orang shalat berjamaah itu meremehkan. Terbukti dari bagaimana ia membentuk barisan yang mencang-menceng dan tidak rapat¬¬. Maka bersamaan dengan itu ia pun menjelaskan beberapa cara yang menurutnya tepat. Cara berdiri dengan memosisikan kaki berbentuk 90 derajat dan menempelkan kaki kita dan lengan kita dengan jama’ah di sampingnya menjadi hal yang menarik bagi saya. Yah, di satu sisi kita dapat memahami bahwa membentuk barisan yang tidak lurus dan rapat adalah suatu bentuk peremehan. Itu jika diasumsikan bahwa membentuk barisan yang benar adalah yang menempel antar kaki dan lengan. Namun saya sendiri diajarkan bahwa dengan jarak satu kepal tangan pun sudah bisa dikatakan rapat. Mana yang benar, saya belum melakukan penjelajahan lebih jauh.
Di lain sisi, ketika seseorang memang mendefinisikan kerapatan itu dengan menempelkan antar kaki, maka secara kontekstual memiliki kelemahan. Pertama, ketika bangun dari sujud di rakaat kedua konsentrasi kita akan teralih untuk merapatkan barisan dengan menempelkan kaki, bukan terhadap bacaan selanjutnya. Implikasi lain dari aktivitas ini adalah terkadang kita tidak sadar bahwa kita telah melakukan lebih dari tiga gerakan yang tidak perlu dalam salat. Padahal menurut pandangan saya, lebih dari tiga gerakan beruntun yang dilakukan dalam salat menggugurkan keabsahannya.
Kedua, tidak semua orang yang salat berjamaah di samping kita berpendapat bahwa rapat adalah menempelnya kaki tersebut. Dan ketika kita memaksakan pendapat itu maka bisa jadi orang di sebelah kita terganggu juga konsentrasinya. Saya sendiri adalah salah satunya, saya mudah sekali dan sangat sering kaget ketika kaki saya tersentuh oleh kaki jama’ah di sebelah saya. Dan tentunya mengacaukan konsentrasi saya di waktu salat. Siapa pun yang benar, belum terputuskan dan pikiran ini yang meracuni saya ketika makan malam sampai kepulangan kami dari kediaman beliau.
***
Hari kedua, dipayungi mendung tipis di langit, sejuta senyuman bibir dan kerutan dahi muncul di hari ini. dimulai dengan perjalanan ke kantor Bright Indonesia dan memang kami berencana bertemu dengan Awalil Rizky di sana. Pertemuan ini sesuai bayangan saya bahwa tidak ada hal formal di dalamnya. Bincang-bincang santai pun terjadi di antara kami dan Awalil Rizky. tidak lama di sana seolah kami sadar Anis Baswedan menunggu di Paramadina Pukul 9.30, kami bergegas menuju Paramadina seolah mengisyaratkan “ada kejutan besar di sana”.
Dan benar, saya dibuat terkagum-kagum dan lebih terbuka oleh berbagai macam fakta hingga pada perubahan pandangan dan orientasi. Selebihnya bisa terlihat seperti ini:
“HMI harus berubah”, mengaung di singgasana
serasa kembali di masa kanak, didongengkan cerita dan realita
Hey, ada apa di ufuk barat?
Cakrawala putih isyaratkan makna
Lihatlah dengan seksama wahai kaum jenaka
Saya tersadar dari tidur lama, ah benar juga ini yang membuat manusia menjadi hidup. Berfikir, berfikir, dan berfikir.
Selepas shalat Jumat, perihnya rasa malu ini tak tertahankan. Bagaimana tidak, dua orang di sebelah kiriku lebih tinggi dariku. Paling tidak terbukti dari kenyataan kehidupan sampai saat ini. Nasyid Majidi memperlihatkan itu. mereka berteriak:
“Nulis Le….”
“Ojo dolan Wae, endi hasilmu. Gak ngerti po Mesuji ngenteni awakmu”
Tak terelakkan, tak terbantahkan dan tak sanggup menolak sebuah janji besar yang sampai saat ini belum terlaksana. Biadab benar diriku!
Seperti yang tertera di bagian awal, hari ini penuh rekahan senyum dan kerutan dahi. Paling tidak sore itu mengerutkan dahi dan hatiku. (-tit- maaf disensor). Sampai akhir tak dapat kurapikan hal itu. Namun satu hal yang dapat kusimpulkan, kota ini indah, indah akan ribuan pemikiran, dan aku tidak lagi membenci kota ini selayaknya stereotype lama di benakku.
***
Hari ketiga dan keempat, tidak ada yang mencekam hati ini. Tidak dengan pertemuan itu, kebingungan di perempatan Lebak Bulus, tidak pula dengan pentingnya Islam yang dijelaskan Abbas Ghazali. Huh, hatiku benar-benar beku, tumpul, buta, dan entah apa lagi yang cocok untuk mengisyaratkan itu. Hingga pada waktu rombongan ini akan bertolak ke Yogyakarta, kesadaranku mulai timbul. Aku harus berterima kasih pada seluruh orang yang telah menempaku di kota ini. Entah sedikit, besar, jelas, ataupun kabur dan sulit kutangkap. Terutama terhadap Ayib yang telah merelakan kelonggarannya direnggut selama empat hari.
Perjalanan kereta api malam itu dimulai pulul 21.10 di stasiun Jatinegara. Kali ini kami tidak naik kereta Bengawan tetapi Progo. Alasan yang sama, tidak ingin datang terlalu pagi di Yogya. Sempat berpikir kita akan mendapatkan tempat duduk lagi karena menurut perhitungan kami hari ini tidaklah terlalu padat. Aku sedikit kaget ketika tiba di stasiun, berjubel sekali pada penumpang itu. Huh, perasaan kecewa datang. Dan aku belum sadar akan mimpi di masa keberangkatanku dari Yogya.
Berebut, sesaat setelah kereta datang menghampiri stasiun ini. kami memutuskan langsung ke gerbong belakang karena memang kita tidak bisa mengharapkan bangku kosong di bagian tengah. Masuk, kehabisan tempat, dan kita duduk di bawah. Barulah aku sadar bahwa ini saat yang tepat untuk bernostalgia. Egois memang, karena teman-teman semua sudak sangat kecapekan.
Kabar baik datang setelah Adib berhasil menemukan banyak bangku kosong di gerbong terdepan. Keputusannya, kita berjalan ke depan.
Sial, mengapa berhenti, ini stasiun apa? Ah, masih adakah bangku kosong itu? Paling tidak untuk teman-temanku. Berjalan dan berjalan, bayangan kursi empuk tak menghiraukan hiruk pikuk orang di sebelah kami.
***
Kunikmati setiap detik waktu, setiap derak roda kereta, setiap daya yang menggoyangkan tubuhku. Ditemani sebuah buku, “luka di Camp Alysses”, aku tak berniat terlelap malam itu, dan aku tak mengerti ke mana ketenangan hati ini datang lagi. Ketenangan yang sudah lama hilang, menyegarkan kegerahan ini. Tepat di depanku ada Fanani dan Randi di bagian depannya lagi. Aku tak mengerti seperti apa hati mereka, kecewakah? Mungkin seperti itu. karena sampai di gerbong terdepan kita sudah tidak mendapatkan tempat duduk, diisi oleh punggawa Bekasi, penuh tak tersisa. kumasukkan kaki ini ke bawah bangku duduk, persis seperti 13 tahun yang lalu. Namun tidak semua badanku karena ku sadar bangku itu sudah tidak dapat menutupi panjang tubuh ini. Seperti apa rautku saat itu, tak kumengerti, mungkin seperti raja yang tersenyum melihat kemakmuran rakyatnya. Malam itu seperti surga, setidaknya buat hatiku. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar