Jumat, 13 Februari 2009

Berkelana Lagi ke Jakarta

Oleh Randi Kurniawan
(Kabid Kajian dan Riset)

Tanggal 29 Januari 2009 – 1 Februari 2009, HMI komisariat ekonomi mengadakan Muhibah. Kota yang dipilih adalah Jakarta. Kota yang saya sendiri belum terlalu paham seluk beluknya, terutama mengenai lokasi dan petunjuk jalannya. Yang saya tahu tentang Jakarta adalah kota yang dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit, ibu kota Indonesia, dan kota yang tiap tahunnya terkena banjir. Untung saja banjir menghampiri kota metropolitan ini setelah kami mengucapkan sayonara terhadap Jakarta. Kami hanya bisa menonton bencana yang menimpa ibu kota ini lewat TV dan baca di koran. Sungguh tragis. Tapi tulisan ini tidak bermaksud bercerita tentang nasib yang dialami warga Jakarta karena musibah banjir ini. Tulisan ini akan bercerita tentang secuil pengalaman saya saat Muhibah ke Jakarta.

Muhibah merupakan program kerja tahunan HMI Komisariat Ekonomi UGM yang dimaksudkan sebagai ajang silaturrahim pengurus dengan alumni. Bagi pengurus, silaturrahim ini sangatlah penting di samping karena dapat memperoleh masukan-masukan berharga dari alumni, transfer pengetahuan dan pengalaman, dan juga kesediaan alumni untuk memberi bantuan baik berupa buku-buku, likuiditas, dan lain-lain untuk komisariat. Tentunya, segala apa yang diperoleh dari alumni sangat bermanfaat bagi kelangsungan komisariat. Bagi alumni, manfaat yang diperolehnya adalah dapat mengetahui informasi tentang organisasi terkini di mana dia pernah juga bergelut di dalamnya. Bila saya menempatkan diri sebagai alumni, tentunya sangat senang bila bernostalgia lagi dengan pengalaman-pengalaman masa lalu yang indah.

Lantas mengapa memilih Jakarta? Memang tak dapat dimungkiri bahwa dari alumni yang terdata, jumlah alumni HMI paling banyak di Jakarta. Sehingga, pengurus bisa dengan mudah bertemu dengan banyak alumni. Selain itu, Jakarta bisa jadi pilihan (jujur saja-red) karena merupakan ajang rekreasi bagi teman-teman yang belum pernah menginjakkan kaki di Jakarta. Penulis sendiri baru dua kali ke Jakarta, dan semuanya itu karena maksud Muhibah. Bila Muhibah tidak ada, maka sampai saat ini saya belum pernah menginjakkan kaki di Jakarta. Memilih Jakarta, tentunya kita tahu pula risikonya, sebab semua teman-teman yang berangkat Muhibah tahun ini masih awam tentang lokasi dan transportasi di Jakarta. Karena itu, mau tidak mau, kami harus banyak mencari tahu dari orang-orang yang tahu (Terima kasih buat mas Hohok yang sudah sangat membantu pencarian lokasi dan masalah transportasi). Namun itulah seni tersendiri dari Muhibah ke Jakarta. Rasanya tidak puas bila tidak ada pengalaman-pengalaman unik (sedikit bodoh), entah itu salah bus, tersesat, atau peristiwa unik lainnya.

Saya juga mengalami hal yang sulit selama perjalanan kemarin, terutama ketika mengunjungi kediaman bapak Abbas Ghozali yang terletak di Jagakarsa Jakarta Selatan. Dari kediaman Rudjito, kami harus menumpang sebanyak tiga kali bus sebelum sampai di kediaman beliau. Kesulitan kami temui saat bermaksud menumpang bus yang kedua karena tidak tahu menahu tentang bus yang mana yang akan ditumpangi. Sementara, HP saya sedang kehabisan pulsa, HP lizam lagi error sim card-nya. Beruntunglah ada HP Iqbal yang masih bisa digunakan. Sekitar 30 menit lamanya menunggu, akhirnya dapat menghubungi Abbas Ghozali. Komunikasi pertama sempat membuat bingung karena saking panjang penjelasannya, kami lupa jadinya. Akhirnya kami meminta untuk meng-SMS saja alamatnya. Dengan keberanian bertanya pada orang lain, akhirnya dapat juga sampai di kediaman beliau.

Pengalaman yang paling mengesankan saat balik ke Jogja. Karena naik dari stasiun Jatinegara, kereta Progo sudah tidak menyediakan tempat duduk bagi kami berempat (saya, Adib, Lizam, dan Fanani). Akhirnya kami memilih berada di gerbong belakang. Setelah itu, Adib mencari tempat kosong di depan karena di gerbong belakang sudah penuh. Saya sangat gembira karena Adib meng-SMS saya bahwa di depan masih ada yang kursi kosong sehingga sebaiknya berpindah ke sana saja. Bayangkan, dari gerbong belakang sampai gerbong paling depan, begitu panjang perjalanan itu harus kami lalui dengan beban tas yang cukup berat. Apalagi, di jalanan sepanjang gerbong itu, dipenuhi dengan ratusan orang. Tentu saja, kami harus bekerja keras untuk melewati orang-orang tersebut. Malam itu saya merasa tenaga saya habis.

Sampai di gerbong paling depan, Adib menyambut dengan senyum sambil mengatakan bahwa kursi yang kosong telah dipenuhi orang-orang. Adib menyangka bahwa orang-orang tersebut mungkin sudah memiliki nomor kursi sesuai yang tertera di tiket mereka (sebetulnya dia juga tidak bertanya dan melepaskan begitu saja kursi kosong bila ada penumpang yang mau duduk). Akhirnya, kami harus duduk di lorong-lorong gerbong. Yang paling menyiksa adalah banyaknya orang yang lalu lalang untuk menjajakan barang dagangannya. Saking tersiksanya malam itu, saya berjanji tidak mau naik kereta ekonomi lagi. Kalaupun naik kereta ekonomi, saya harus memastikan bahwa saya punya tempat duduk.
Inilah pengalaman Muhibah saya. SEKIAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar